Pulau Nusakambangan di Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) tidak hanya menjadi pulau bui, tetapi di dalamnya menyimpan kekayaan berbagai gua yang masih alami.
“Mau ke Karangbolong? Biaya sewa perahunya murah, hanya Rp15 ribu pulang balik. Nanti kalau sudah puas jalan-jalan, tinggal telepon saja,”kata Narno, 48, tukang perahu di Teluk Penyu, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng).
Karangbolong adalah pantai, sama seperti Teluk Penyu. Hanya saja, Pantai Karangbolong berada di Pulau Nusakambangan sebelah timur, sehingga kalau ingin ke tempat itu harus naik perahu kecil. Cukup membuat adrenalin naik saat melewati Segara Anakan, apalagi kalau gelombang tinggi. Namun, para tulang perahu menjamin selamat asal tidak panik dan perahu telah dilengkapi dengan kayui penyeimbang.
Perjalanan memakan waktu sekitar 15 menit. Begitu sampai ke pantai di Pulau Nusakambangan itu, suasana dan kondisinya memang berbeda dengan pantai di Cilacap. Di tempat itu, pantainya berpasir putih, berbeda dengan di Cilacap yang pasirnya berwarna hitam. Selepas pantai, perjalanan langsung melewati hutan belantara. Hanya jalan setapak dari tanah yang ada di Nusakambangan timur. Sekitar 1 km dari pantai, mulai ada gua-gua yang masih alami.
Dari jalan utama tidak kelihatan, karena jalan berbatu yang naik sekitar 100 meter dan kemudian turun sekitar 50 meter. Gua itu bernama Eyang Wiryalodra. Stalaktit dan stalakmitnya cukup menakjubkan. Hanya saja, gua tersebut tidak terlalu dalam, hanya masuk sekitar limaa meter. Sementara ketinggiannya mencapai lima meter. Namun yang unik, di antara stalaktit dan stalakmit ada sebuah batu seperti tempat duduk. Itulah yang biasanya digunakan orang untuk menyepi.
Juru kunci gua di Nusakambangan Timur, Mardiyono, mengatakan di dekat pantai timur, ada dua gua yakni Eyang Wiryalodra dan Eyang Nagaraja. “Kedua gua ini bisanya dipakai untuk menyepi. Banyak sudah yang datang ke sini. Biasanya mereka mengajukaan permohonan. Permintaannya macam-macam, tergantung mereka. Saya hanya mengantarkan saja,”ujarnya.
Selama ini, katanya, gua-gua tersebut memang dibiarkan tetap seperti apa adanya. Bahkan, ada dinding gua yang ambrol dan sampai sekarang juga masih teerlihat sisa-sisanya. “Memang gua tersebut belum disentuh oleh pihak yang berwenang dijadikan objek wisata yang kemersial. Paling-paling yang datang ke sini adalah peziarah saja,”ungkap laki-laki yang sejak kecil hidup di Nusakambangan itu.
Gua yang ada di Nusakambangan timur tidak hanya itu, masih ada sejumlah gua-gua kecil lainnya. Misalnya ada Gua Singabarong, Gua Kepatihan dan lainnya. Bahkan, di Pulau Majeti, pulau kecil di seberang Nusakambangan juga ada gua. Biasanya di pulau yang merupakan tempat tumbuh bunga Wijaya Kusuma itu digunakan sebagai ritual larungan pada Sedekah Laut nelayan Cilacap.
“Setiap gua di Nusakambangan mempunyai makna masing-masing sesuai dengan karakter gua. Semuanya juga memiliki cerita kesejarahan tersendiri. Pada umumnya memang gua di Nusakambangan lebih banyak dipakai untuk kegiatan menyepi dibandingkan sebagai tempat wisata,”tambahnya.
Selain gua di Nusakambangan timur, di bagian barat pulau bui itu juga banyak memiliki gua yang masih alami. Salah satu gua yang terkenal adalah Gua Masigitsela. Dari cerita-cerita masyarakat yang berkembang dan kemudian direkam oleh Dinas Pariwisata Cilacap menyebutkan kalau Gua Masigitsela dipercaya sebagai tempat ibadah Sunan Kalijaga. Bahkan disebutkan juga Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono. Bentuk guanya memang cukup unik, selain menjulangnya stalaktit dan stalakmitnya, di dalam gua juga ada mata air yang digunakan untuk membersihkan diri atau wudlu.
Untuk sampai ke Gua Masigitsela, memakan waktu cukup lama, karena harus ditempuh dengan perahu dari Cilacap sekitar dua jam. Setelah sampai ke Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, berjalan kaki melewati jalan setapak sekitar setengah jam. “Umumnya yang datang memang para peziarah yang berdoa memohon sesuatu. Sementara ini, bagi peziarah yang baru pertama kali datang bisa meminta tolong warga Klaces menjadi guide,”kata Agus, 37, warga Desa Klaces.
Masih di sekitar Nusakambangan barat, ada juga Gua Bendung. Gua tersebut, berdasarkan penuturan warga dan juga disebutkan oleh Dinas Pariwisata Cilacap, pernah digunakan untuk ibadah umat Nasrani pada abad ke-16 ketika Belanda menguasai Indonesia. Kini, gua yang memiliki lorong 150 meter dan lebar 10 meter tersebut dikenal sebagai Gua Maria. Disebut Gua Maria karena di dalamnya ada altar tempat berkhotbah dan stalaktit yang bentuknya seperti Bunda Maria. Biasanya yang datang adalah para peziarah umat Katholik dan ramai pada waktu-waktu menjelang Paskah.
“Saya dua kali berziarah di Gua Maria Nusakambangan barat. Memang berbeda dengan gua-gua Maria yang lainnya karena Gua Maria di sini lebih allami,”tutur Robertus Sudibya, 37, warga Cilacap.
Sebetulnya masih banyak gua-gua lainnya yang ada di Nusakambangan, namun sejauh ini memang tidak digarap secara komersial. Sebab, Pulau Nusakambangan tetap diputuskan sebagai pulau tertutup sebagai pulau bui yang kaya gua alami. (liliek dharmawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar