Kamis, 30 Oktober 2014

Blusukan Demi Perdesaan



                                                       Anak-anak desa tersenyum bahagia



Siang awal Mei 2012 silam, ibu-ibu anggota PKK Kabupaten Gorontalo, Pemprov Gorontalo bersama petugas dari Puskesmas Limboto 'blusukan' ke Kelurahan Tilihuwa. Mereka sengaja datang karena ada laporan dari dasawisma setempat kalau ada anak yang terdeteksi mengalami gizi buruk. Blusukan untuk melacak keberadaan anak gizi buruk membuahkan hasil. Ternyata benar, ada 12 anak yang diidentifikasi menderita gizi buruk. Penemuan itu langsung ditindaklanjuti dengan aksi nyata. Mereka yang mengalami gizi buruk dan kurang mendapat perawatan intensif dai Puskesmas Limboto.



Kami memang bekerja seperti ini. Ibu-ibu PKK di Gorontalo harus bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan yang ada di pedesaan. Terutama anak-anak yang mengalami gizi buruk,”kata Wakil Ketua PKK Gorontalo Venny Anwar seperti dikutip dalam situs resmi PKK Gorontalo.



Berbagai upaya itu dilakukan, karena Kabupaten Gorontalo membutuhkan upaya luar biasa untuk memajukan daerah setempat. Kerja keras berbagai macam elemen, tidak hanya pemkab, nyata hasilnya. Misalnya saja, pada tahun 2006 silam, kasus kurang gizi mencapai 18,8%. Berkat kerja keras, di tahun 2008 silam, angka kurang gizi menurun tajam, menjadi 7,8%.



Blusukan memang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Kabupaten Gorontalo, terutama setelah bupati dijabat oleh David Bobihoe Akib. Ia memang “nyentrik”, karena memiliki pemikiran yang “out the box”. Ketika orang lain hanya berfikir jika pemerintah hanya diam di tempat, tidak dengan David. Dia pun benar-benar mengejawantahkan kalau sesungguhnya pejabat adalah pelayan masyarakat. Makanya, sejak memangku jabatan tahun 2005, Bupati David langsung blusukan ke daerah-daerah terpencil. Ia tidak sendiri, melainkan membawa seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD).



Dalam wawancara di acara Kick Andy maupun Mata Najwa, David menyatakan kalau gaya kepemimpinannya yang seperti itu untuk mendekatkan dengan persoalan-persoalan nyata di masyarakat. “Saya punya ide yang namanya ”Goverment Mobile” (GM). GM ini sesungguhnya merupakan pemerintahan yang langsung turun melayani masyarakat di pelosok. Kita memang tidak hanya menjemput bola, tetapi merampas bola,”katanya seraya tertawa.



GM inilah yang menjadi trigger bagi aparat pemerintahan, organisasi sosial maupun elemen lainnya di masyarakat. “Dengan adanya GM, maka berbagai persoalan di masyarakat dapat dilihat dan diselesaikan secepatnya. Pelayanannya juga terpadu, mulau masalah admisitrasi kependudukan, pendidikan maupun kesehatan. Pokoknya segala permasalahan yang ada di masyarakat akan kita atasi secepatnya,”tandas Bupati.



Pada sektor kesehatan, kata Bupati, Pemkab Gorontalo menelorkan berbagai program untuk menunjang visi Gorontalo dengan fokus pada visi masyarakat yang sehat dan cerdas. Program yang tercipta diberi nama unik, sehingga mudah diingat. Misalnya saja Pro WHO, yakni program warga harus berobat baik ke Poskesdes, Puskesmas Pembantu, Puskesmas dan Medical Center. Warga miskin diberikan biaya berobat gratis pada RSUD MM Dunda, sedangkan penderita gizi buruk dilayani di Mongolato Medical Center (MMC). Medical Center tersebut ditopang dengan sarana layanan kesehatan lengkap plus tenaga kesehatan terlatih.



Bahkan, Pemkab Gorontalo juga secara berkala memberikan sayembara kesehatan warga. Hal ini menarik, karena biasanya pemkab ada yang sengaja menyembunyikan data kasus gizi buruk agar tidak terdengar. Namun, Pemkab Gorontalo sebaliknya, justru memberikan reward bagi warga yang melaporkan adanya balita gizi buruk. Sebab, dengan adanya pelaporan tersebut, maka akan lebih cepat untuk menangani kasusnya.



Yang tidak kalah menarik, Pemkab Gorontalo melibatkan seluruh stakeholders untuk turun dan menjadi kader penyadaran kesehatan bagi masyarakat. Mereka terdiri dari pemdes, pemerintah kecamatan, Polsek dan Polres serta jajaran TNI dan masuk dalam G-Gas atau Gugus Tugas. Jadi seluruh elemen bergerak secara sinergis guna mencapai visi sehat dan cerdas.



Selain itu, Pemkab Gorontalo juga menggelar program Gemerlap Sehat atau Gerakan Menata Lingkungan. Gerakan ini merupakan bentuk penyadaran agar masyarakat menggalakkan pemanfaatan lahan pekarangan. Warga diminya untuk bertanam sayuran dan apotek hidup. Tujuannya mereka akan mendapatkan sayuran yang sehat, apalagi tak keluar biaya.



Komitmen kuat untuk menanggulangi masalah gizi di daerahnya terlihat dari meningkatnya anggaran. Alokasi anggaran untuk penjaringan kasus gizi buruk melalui kegiatan Pemantauan Status Gizi (PSG) sebesar Rp19 juta pada tahun 2007 dan Rp40 juta tahun 2008. Demikian juga untuk TFC tahun 2007 sebesar Rp100 juta dan tahun 2008 dialokasikan Rp309 juta.



Penghargaan pun muncul dari berbagai pihak di antaranya adalah ”Citra Pelayanan Prima” dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara serta dari MURI untuk Program Pelayanan Terpadu pada 3 Juni 2008. Tahun 2011 mendapat penghargaan dari Menteri Dalam Negeri ”Inovatif Goverment Awards ”. Bahkan, 8 Oktober 2014 lalu, GM telah terdaftar di Kemenkumham Republik Indonesia dan hak kekayaan intektualnya dimiliki Bupati David. “Sekarang bukan zamannya lagi pemerintah didatangi masyarakat, tetapi pemerintahlah yang harus mendekatkan dirinya kepada masyarakat,”tandasnya.



Apa yang menjadi konsep David, pas dengan gaya kepemimpinan Presiden Jokowi saat ini. Apalagi, presiden yang baru memangku jabatan beberapa pekan itu telah memulainya sejak menjadi Walikota Solo dan bahkan akan dilanjutkan ketika dirinya menjabat Presiden.



Sehingga model GM seperti yang dilakukan Pemkab Gorontalo dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah lain. Tak bisa menutup fakta, kalau warga di pedesaan membutuhkan perlakuan ekstra untuk mempercepat pengentasannya dari kemiskinan menuju hidup layak yang sehat. Barangkali konsep yang telah dipraktikkan dan dibuktikan di Gorontalo tidak dapat begitu saja menjadi model daerah lain. Karena memang setiap daerah memiliki karakteristik dan budaya masing-masing. Di sinilah peran dari Kementrian Daerah Tertinggal meramu kembali konsep bersama daerah lainnya, dengan disesuaikan karakter masing-masing wilayah.



Nun jauh dari Gorontalo, sekelompok mantan buruh migran di Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) yang tergabung dalam Seruni menyusun konsep pola asuh anak-anak yang ditinggal ibunya merantau ke luar negeri menjadi buruh migran atau TKI. Selama ini, anak-anak yang ditinggal orang tuanya mengalami berbagai macam persoalan, seperti masalah kesehatan dan pendidikan. “Dari penelitian yang kami lakukan, rata-rata usia anak yang ditinggal ke luar negeri usia balita hingga SD. Penelitian tersebut ingin memotret kondisi anak-anak yang umumnya berada di pedesaan. Dari hasil riset yang kami lakukan dapat disimpulkan kalau anak-anak buruh migran membutuhkan penanganan khusus, tidak hanya oleh keluarga, tetapi juga elemen lainnya,”ujar pegiat Seruni, Banyumas, Narsidah.



Menurutnya, buruh migran memang mendatangkan keuntungan bagi negara dan desa tempat mereka tinggal, karena ada pemasukan devisa. Tetapi di sisi lain, anak-anak TKI seakan kurang mendapat perhatian, terutama dari luar keluarganya. “Kami sudah memberikan cara-cara bagaimana konsep pola asuh anak-anak TKI yang umumnya di pedesaan berbasis komunitas. Kami bakal menggandeng berbagai elemen, agar persoalan anak-anak TKI di desa dapat diminimalkan,”tegasnya.



Beragam konsep inspiratif tersebut bisa menjadi model-model yang dikembangkan di daerah-daerah khususnya di perdesaan. Tidak ada jalan lain, kecuali dimulai dari blusukan, belanja masalah, yang kemudian dapat menjadi masukan penyusunan kebijakan. Dan tak perlu ragu untuk belajar dan mengadopsi dari daerah lain yang lebih dulu menginspirasi.(lilik darmawan)





















Selasa, 28 Oktober 2014

Tambora, Dulu Mengguncang Dunia, Kini Menyapa Dunia

                                          volcano.si.edu


Napoleon Bonaparte, 100 hari selepas hari kebebasannya atau 18 Juni 1815. Ia bergerak menggempur pasukan koalisi yang dipimpin Laksamana Wellington, di Waterloo atau 15 km selatan Brussels, Belgia. Ternyata perang yang disebut Pertempuran Waterloo tersebut merupakan babak pamungkas dari sepak terjang Napoleon.


Kekalahan Napoleon sebetulnya tidak diperhitungkan, karena dia dan pasukannya sangat siap. Sayang, cuaca yang tidak semestinya muncul. Pada saat penyerangan, terjadi hujan lebat yang menimbulkan banjir sehingga sulit baginya untuk membawa meriam-meriam berat. Napoleon memutuskan untuk menunggu tanahnya mengering, tetapi sayang hal itu tidak terjadi. Napoleon takluk dan kekaisaran Prancis juga tumbang.


Barangkali Napoleon tidak pernah membayangkan adanya hujan deras yang turun pada bulan Juni. Sebab, biasanya pada Juni sudah tidak ada hujan karena akan memasuki musim panas. Namun, kenyataan berkata lain. Karena nun jauh di sana, atau tiga bulan sebelumnya, ada peristiwa mahadahsyat yakni meletusnya Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat pada 10 April 1815. Meski tidak terdengar letusannya, tetapi abu letusan Tambora sampai ke lapisan stratosfir yang dimungkinkan menyublim di langit Eropa, sehingga hujan deras masih terjadi.


Bahkan, dalam catatan sejarah menyebutkan, tahun 1816, disebut sebagai “the year without summer”. Debu vulkanis Gunung Tambora telah menghalangi sinar matahari, sehingga tidak muncul musim panas. Dampaknya, musim dingin di Eropa dan Amerika Utara bertambah panjang. Sedangkan Australia dan Afrika Selatan turun salju saat musim panas.


Suhu bumi yang diperkirakan menurun sampai 0,5 derajat Celcius itu membuat perubahan yang dahsyat. Dampaknya gagal panen di mana-mana. Kelaparan dan wabah penyakit pun terjangkit di hampir seluruh belahan dunia.


Letusan Tambora dicatat paling dahsyat dalam sejarah manusia modern. Magnitudo letusan Tambora, berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI), berada pada skala 7 dari 8, hanya kalah dari letusan Gunung Toba (Sumatera Utara), sekitar 74.000 tahun lalu, yang berada pada skala 8.


Gunung yang sebelumnya memiliki ketinggian 4.200 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut terpotong hingga 1.500 mdpl menjadi 2.700 mdpl. Isi dari perut gunung juga dimuntahkan dengan meninggalkan kawah hingga sedalam 1.100 meter dan diameter 6,2 km. Total volume Tambora yang dikeluarkan mencapai 150 miliar meter kubik. Padahal, Gunung Merapi yang meletus tahun 2010 silam “hanya” memuntahkan 140 juta meter kubik. Abu yang dilontarkan terdeteksi hingga 1.300 km dari lokasi setempat. Jumlah total gabungan awan panas (piroklastik) dan batuan totalnya 874 kilometer persegi. Ketebalan awan panas rata-rata 7 meter, tetapi ada yang mencapai 20 meter. Dalam radius sekitar 600 km dari Tambora gelap gulita sepanjang hari hampir sepekan.


Dampak yang ditimbulkan sungguh dahsyat. Tiga kerajaan yang berjaya sebelum Tambora meletus seperti Kerajaan Sanggar, Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pekat, sama sekali tidak lagi tersisa. Korban tewas diperkirakan 91 ribu orang. Dari jumlah tersebut, 10 ribu di antaranya tewas akibat tersapu badai awan panas. Sisanya, sekitar 81 ribu lainnya adalah dampak sekunder akibat kelaparan dan penyakit yang muncul pascaletusan.


Empat tahun selepas letusan, ahli Botani asal Belanda, Junghuhn pernah menuliskan kalau sejauh mata memandang, yang terlihat di lautan hanya batu apung. Kepunahan benar-benar nyata di pelupuk mata. Bumi seakan menjadi kosong.


Waktu berjalan. Pelan-pelan, hancurnya peradaban akibat letusan Tambora mulai bergerak. Pulau Sumbawa, tempat Tambora, kembali menggeliat. Bahkan, selepas 200 tahun sejak letusan, Tambora telah menjadi gunung yang terus didatangi oleh pengunjung. Sejarah kedahsyatan letusannya, mampu menarik kunjungan warga domestik maupun manca. Alam di Tambora juga kaya akan fauna, seperti jenis burung kakaktua kepala putih, nuri merah, ayam hutan, elang dan gagak. Lainnya, adalah musang, biawak, landak, monyet dan sebagainya.


Untuk mendaki ke puncak Tambora, dapat melalui sejumlah pos pendakian. Di antaranya dari jalur barat dimulai dari Desa Pancasila sampai ke kaldera barat dengan membutuhkan waktu 2-3 hari. Sedangkan dari utara, melalui Desa Kawind Nae sampai ke kaldera utara. Jaraknya lebih pendek dan lebih cepat sampai. Sementara kalau melalui Desa Doropeti, bisa menggunakan mobil. Mobil dapat mencapai ketinggian hingga 1.200 mdpl dilanjutkan dengan jalan kaki 2-3 jam. Meski lelah, tetapi jika sampai di sana, sepertinya hilang segala penat. Dengan sapaan sinar matahari pagi yang sungguh luar biasa visualnya.


Wisata Tambora, di Nusa Tenggara Barat, menjadi magnet luar biasa, terutama bagi wisatawan manca negara. Apalagi, kesejarahan membuktikan jika Tambora memiliki misteri ilmu pengetahuan yang bisa diungkap. Inilah wisata kelas dunia. Wisata yang tidak saja melihat keindahan alam, tetapi juga mengungkap misteri masa lalu Tambora melalui perjalanan ke sana. Pengunjung bisa jadi bukan hanya warga awam semata, melainkan juga para ahli di bidangnya untuk menambah khazanah kelilmuan mereka.

Tak salah, jika kemudian Pemprov Nusa Tenggara Barat, telah memastikan ada satu acara dahsyat di Tamborsa yang bakal dihelat tahun 2015 mendatang. Sengaja, jauh-jauh hari rencana dimunculkan, agar pada puncaknya, 11 April 2015 atau dua abad kedahsyatan letusan Tambora, pengunjung dapat merasakan auranya. Tentu saja, bukan kedahsyatan letusan, tetapi aura Tambora yang menyapa dunia. Tambora yang siap dinikmati dan dieksplorasi dari berbagai disiplin keilmuan.


Di sana, anda ditunggu. Siapapun Anda. Warga biasa, petualang, backpacker, wisawatan, bahkan ilmuwan sekalipun. Itulah Tambora, yang siap menyatukan perbedaan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Yang pasti bukan rasa kekhawatiran, namun kesukacitaan bersama.


Inilah Nusa Tenggara Barat. Wisata yang tersaji tak hanya sebatas alam indah yang mengasyikkan untuk dinikmati. Pantainya yang aduhai dipadu dengan kondisi alam yang eksotik, menjadi daya tarik bagi mereka yang datang. Keindahkan alam itu, kemudian dipadu dengan beragam adat istiadat yang budaya masyarakatnya. Imaji bakal tercipta dan diejawantahkan melalui tulisan dan rekam gambar. Eiittt...tidak hanya itu. Sejatinya yang lebih misteri dan mengguncang hati adalah ketika berziarah ke masa lampau, lewat wisata Tambora. (Lilik Darmawan)




Referensi


1. Harian Kompas
2. Majalah NGI
3. Majalah Ilmiah Populer: EKSPEDISI GEOGRAFI INDONESIA 2010 NUSA TENGGARA BARAT – BAKOSURTANAL





Senin, 13 Oktober 2014

Perjumpaan Tiga Peradaban di Atas Awan


Kabut putih tebal menyergap setiap tempat yang dilewati. Suhu udara yang
hanya 8 derajad Celcius menjadikan suasana seperti diguyur hujan. Di
mana-mana basah, udara menjadi embun. Begitulah kondisi Kompleks Candi
Arjuna, Dataran Tinggi Dieng, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah
(Jateng) yang berada pada ketinggian 2.093 meter di atas permukaan laut
(mdpl).



Dingin yang menyergap di “negeri atas awan” itu mulai terasa hangat begitu
alunan musik jazz mengalun. Beberapa waktu lalu, anak-anak muda di
Kawasan Dieng sengaja menggelar musik jazz dengan tajuk Jazz di Atas Awan.
Konsep itu memang cukup unik, meski bukanlah yang pertama. Musik jazz yang
biasanya dihelat secara ekslusif, mulai ditawarkan pada penduduk di
pegunungan.



Musik itu seperti dikembalikan ke khitah sebenarnya. Jazz yang berkembang
di Amerika abad 20 sejatinya memiliki akar musik Afrika dan Eropa.
Perpaduan musik itulah yang membuat jazz menjadi universal karena mampu
menyuguhkan dialoh antarkultur.  “Konsep pagelaran jazz di Dieng
sederhana. Kami ingin mengenalkan musik kepada khalayak di Dieng. Sungguh,
luar biasa atensi masyarakat, karena umumnya mereka baru pertama kali
menyaksikan pagelaran jazz,”ujar penggagas Jazz di Atas Awan, Budi
Hermanto.



Pagelaran yang sengaja berada di depan candi membuat mata akan melihat
komposisi dahsyat. Sebuah peradaban tampaknya telah bertemu. Jazz dari
Amerika dengan memadukan musik Afrika dan Eropa bertemu dengan mahakarya
candi khas Hindu yang berakar dari India. Barangkali tak pernah terfikir
oleh Wangsa Syailendra kalau peradaban yang dibangunnya akan bertemu
dengan peradaban lainnya.






Dieng telah lebih dulu menjadi pusat peradaban pada abad 9 hingga 13.
Selama 400 tahun, diyakini para ahli sejarah dan arkeologi kalau
candi-candi Dieng yang merupakan candi tertua di Jawa sebagai mahakarya
ahli arsitektur pada saat itu. Dieng juga dijadikan sebagai pusat pemujaan
kalangan Hindu. Bahkan, arkeolog asal Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta Jajang Agus Sonjaya mengatakan jika Dieng menjadi salah satu
pusat pendidikan arsitektur selain sebagai pusat agama.



Jika dilihat secara seksama, pahatan-pahatan yang ada di candi Dieng
terus mengalami perkembangan. Sentuhan kultur India yang masuk ke Dieng
dapat dilihat adanya  Arca Kudu di Candi Bima. Namun demikian, pahatan
atau arsitektur yang dibangun lebih kreatif, karena merupakan hasil
pengembangan pendidikan arsitek kala itu,”jelasnya.



Candi yang ditemukan oleh tentara Inggris tahun 1814 itu, berdiri dalam
lingkungan yang pas. Bagaimana tidak, sejak komunitas Hindu meninggalkan
candi dan digantikan oleh masyarakat Muslim, tidak lantas candi
dihancurkan. Masyarakat Dieng secara bijak tidak mengganggu. Bahkan, dalam
perkembangannya menjadikan Candi Dieng sebagai aset berharga bagi
masyarakat setempat.



Candi Dieng merupakan mahakarya dari peradaban Hindu. Namun, tidak lantas
warga Muslim tidak mau menjaganya. Masyarakat di sini toleran, apalagi
saat ini hampir tidak tersisa sama sekali masyarakat Hindu yang bermukim
di Dieng. Masyarakat justru menjadikan candi sebagai kekayaaan yang tidak
seluruh daerah memilikinya,”ujar Alif Rahman, seorang tokoh pemuda Desa
Dieng Kulon, Kecamatan Batur.





Pascaperadaban Hindu, di lingkungan masyarakat Dataran Tinggi Dieng muncul
fenomena unik yang hingga kini masih terus terjadi. Yakni munculnya
anak-anak berambut gimbal. Rambut gimbal itu tumbuh dengan sendirinya,
setelah anak-anak mengalami sakit panas. Secara medik, belum pernah
dilakukan riset. Hanya saja dipastikan, jika anak-anak berambut gimbal itu
pasti muncul dari keturunan masyarakat di Dieng. Memang tidak seluruh anak
di kawasan itu berambut gimbal, hanya pada anak-anak tertentu.



Pemangku adat di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Naryono, 63,
mengungkapkan jika rambut gimbal yang muncul pada anak-anak di Kawasan
Dieng telah ada sejak ratusan tahun silam. Anak-anak yang rambutnya gimbal
merupakan titipan Anak Bajang dari Samudra Kidul. Mereka merupakan titisan
dari Eyang Agung Kolotede bagi anak laki-laki dan perempuan merupakan
titisan dari Nini Dewi Roro Ronce.



Kalau ingin menghilangkan rambut gimbal harus diruwat. Mereka diminta
untuk mengajukan permintaan dan harus dipenuhi oleh keluarganya. Setelah
dipenuhi, mereka baru dipotong rambutnya dan rambut gimbal tidak tumbuh
lagi,”ujarnya.



Prosesi pencukuran rambut gimbal tersebut memberikan berkah bagi
masyarakat setempat, karena mampu mengundang ribuan wisatawan untuk datang
menyaksikan. Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dieng Pandawa Alif
Faozi mengungkapkan hampir setiap tahun sekali, anak-anak yang telah siap
dipotong rambutnya akan dikumpulkan. “Mereka diarak keliling desa bersama
tetua adat. Proses pemotongan dilakukan di Kompleks Candi Arjuna. Dalam
empat tahun terakhir, perhelatan itu telah dikemas menjadi wisata budaya,
Dieng Culture Festival (DCF). Orang tua yang memiliki anak dimudahkan
karena kami memfasilitasi dan prosesi itu menjadi wisata budaya karena
merupakan tontotan langka,”kata Alif.



Prosesi pemotongan rambut gimbal tersebut, sangat kental dengan nuansa
peradaban Jawa. Tidak hanya dari pakaian Kejawen yang mereka kenakan,
namun saat pemotongan rambut gimbal juga diiringi dengan tembang macapat,
Dandhanggula. Syair dari Dandhanggula itu sejatinya adalah doa permohonan
keselamatan untuk anak-anak yang diruwat.




Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Jateng Sri Ediningsih menyatakan
tidak ada masalah dengan kawasan cagar budaya digunakan untuk prosesi
pemotongan rambut gimbal. “Yang paling penting adalah masyarakat menjaga
keberadaan candi sebagai mahakarya peradaban masa lampau agar tetap bisa
dinikmati anak cucu mendatang. Termasuk ada gelaran Jazz di Atas Awan.
Karena sebetulnya perhelatan itu juga dikatakan sebagai “syiar” kekayaan
budaya besar yang pernah dimiliki bangsa ini,”ujar Sri.



Kekayaan budaya yang ada di Dieng sesungguhnya memang tidak ternilai
harganya. Dan ternyata, tak hanya mahakarya zaman Hindu yang berupa candi
atau kultur ruwatan pemotongan rambut gimbal saja. Tetapi musik jazz juga
bisa dibawa dan dinikmati masyarakat sekitar serta para wisatawan. Di
kawasan itu, tiga peradaban bertemu. Dan yang penting bukan untuk saling
berseteru. Sebaliknya, membuat pengkayaan kultur dalam membangun peradaban
masa depan. (lilik darmawan)