Kamis, 28 April 2011

Rintik Air tanpa Hujan di Green Canyon







SEBELUM menginjakkan kaki di Green Canyon, tempat wisata air di Desa Kertayasa, Kecamatan Cijulang, Ciamis, Jawa Barat (Jabar), seorang wisatawan asal Banyumas, Jawa Tengah (Jateng), Jarot Sarwo Sembodo, 27, sempat ragu-ragu.

Apakah pada musim penghujan seperti sekarang, air di Sungai Cijulang masih tetap hijau. “Jangan-jangan sampai ke sana namanya bukan lagi Green Canyon, mungkin sudah Brown Canyon atau mungkin malah Black Canyon. Karena ini kan musim penghujan, biasanya airnya berubah warna menjadi coklat atau menghitam akibat banyaknya lumpur yang terbawa arus sungai,”ujarnya.

Senyumnya sontak mengembang, tatkala warna air di Sungai Cijulang tidak berubah. Warnanya tetap menghijau, sama seperti saat musim kemarau. “Wah, jadi tidak rugi saya ke sini. Karena dulu sewaktu beberapa tahun silam saya ke sini, warna airnya juga sama, hijau,”katanya.

Jarak dari Pantai Pangandaran dengan Green Canyon atau biasa disebut warga lokal sebagai Cukang Taneuh hanya sekitar 31 kilometer, atau dengan perjalanan darat ditempuh dalam waktu sekitar 30 hingga 45 menit. Sesampai di dermaga tempat perahu-perahu compreng mangkal, para pengunjung ke tempat itu bisa menyewanya dengan harga Rp75 ribu untuk lima orang penumpang.

Petualangan dengan perahu dimulai. Awal perjalanan memang hanya basa saja, seperti sungai lain. Hanya memang, warna airnya yang tidak berubah pada musim penghujan menjadi salah satu kekhasan tersendiri Green Canyon. Setelah berjalan kurang lebih satu kilometer, mulai nampak di kanan kiri sungai tidak lagi dibatasi oleh tanah, melainkan batu-batu besar seperti tebing. Batu-batu hitam tersebut menjadi salah satu pemandangan eksotik, apalagi di sela-sela batu muncul tanaman yang membuat wilayah sekitarnya sejuk.

Melewati Sungai Cijulang sebetulnya tidak terlalu memacu adrenalin, karena sungainya cukup tenang. Hingga sekitar 15 menit perjalanan, adrenalin agak terasa naik. Karena perah memasuki sebuah gua yang relatif besar, sementara meski hujan tidak turun, tetapi air dari atap guna menetes seperti hujan rintik-rintik. Di tempat itulah, suasana sungguh mempesona.

Para pengunjung di tempat itu dapat menikmati keindahan guna alam yang masih perawan. Stalaktit dan stalakmitnya begitu eksotik. Bahkan, udaranya di sekityar guna tersebut juga dingin.

Di situlah hulu Sungai Cijulang yang menawan. Hanya saja, di hulu tersebut banyaknya perahu yang disewa oleh pengunjung membuat kemacetan. Perahu-perahu saling berebutan mengantarkan tamunya agar dapat meniti batu besar yang ada di tempat tersebut. Tak mengherankan, kalau antarpemilik perahu saling meminta pengertian supaya tidak tabrakan.

Bagi yang ingin turun meniti batu besar yang berada di hulu sungai harus berjalan di antara perahu yang parkir di tempat itu. Suasanya benar-benar nyaman, seperti berada d dunia lain. Suara air dan susana alam di tempat itu benar-benar menakjubkan. Pengunjung bisa merasakan dinginnya air baik yang berada di sungai atau sengaja menanti tetesan air dari gua yang menitikkan air ke bawah.

Menurut Ujang, 37, penarik perahu di tempat itu, bagi yang suka berpetualang, biasa menyusuri terowongan dan sampai ke air terjun Palatar. “Biasanya yang sampai ke sana adalah anak-anak muda atau pecinta alam. Mereka menyusuri guna dan berenang di air tejun Palatar. Namun, kalau keluarga, lebih baik di sini saja, karena risikonya juga besar. Apalagi yang tidak bisa berenang. Namun petugas di sini juga siap melakukan
pendampingan,”katanya.

Ada dua versi mengapa tempat tersebut dinamakan Green Canyon. Dari sejumlah petugas di lokasi itu menyebutkan jika Green Canyon pada awalnya dikenalkan oleh seorang turis asal Amerika Serikat bernama Bill John. Dia menamakan Green Canyon karena wisata air Sungai Cijulang sama persis dengan Green Canal di Colorado, AS. Tetapi ada pula yang menyebutkan kalau Green Canyon merupakan istilah yang dinamai oleh wisatawan asal Prancis dan Swiss. Tetapi tidak terlalu penting dari mana awal istilah itu muncul. Yang pasti Green Canyon memang menjadi salah satu tempat yang memiliki sensasi tersendiri. (liliek dharmawan)

Rabu, 27 April 2011

Ciu Ala Banyumas



Desa Wlahar, Kecamatan Wangon tidak berbeda dengan desa-desa lainnya di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah (Jateng). Berada di wilayah dataran yang agak berbukit, berada sekitar 20 kilometer (km) arah barat Kota Purwokerto, Wlahar dikenal sebagai desa penghasil ciu, salah satu jenis minuman beralkohol tradisional. Barangkali hampir sama dengan penghasil ciu di Solo, yakni Bekonang.

Tetapi jangan salah, saat memasuki desa setempat, kesan sebagai desa penghasil ciu tidak tampak. Aroma alkohol seperti berada di diskotik atau cafe sama sekali tidak tercium. Maklum, sementara ini, industri tradisional di desa setempat tidak dilakukan secara terbuka, tetapi sembunyi-sembunyi. Sejauh ini juga sama sekali tidak ada izin sebagai tempat penghasil alkohol yang kadarnya bisa mencapai 40 persen hingga 50 persen.

Untuk masuk ke dapur pembuat ciu pun tidak sembarangan orang. Sebab, mereka juga takut kalau nantinya dia mendapat masalah. Makanya, mereka mau terbuka kalau orang yang datang benar-benar sudah dikenalnya atau dari aparat pemerintah yang tujuannya hanya meninjau saja.

Saat memasuki rumah Madari, 60, misalnya, sama sekali tidak nampak kalau rumah itu sebagai penghasil produk ciu. Tetapi ketika masuk ke dapur, ternyata ada pemandangan lain yang tidak biasanya. Ada alat penyulingan seperti membuat minyak atsiri. Alat penyulingan itulah yang digunakan untuk membuat ciu.

Untuk membuat ciu, Madari menuangkan cairan yang terdiri dari campuran gula kelapa, tape singkong, dan ‘laru’. Dengan tangan yang sudah terlihat mengeriput itu, dia memasukkan ke dalam panci di atas perapian yang dibakar dengan kayu. Cairan yang dituangkan tersebut volumenya sekitar lima liter. Setelah itu, ditutupnya panci tersebut. Di tengah tutupnya telah dibuat lubang yang ada semacam pipa dari bambu yang disalurkan melalui air dingin. Pada ujung bambu, ditempatkan gelas uikuran besar untuk menampung cairan tersebut. Kalau dicium, hmmmm....bau alkohol sudah sangat terasa. Itulah ciu hasil kerajinan tradisional warga Wlahar yang telah turun-temurun digelutinya.

Sudah puluhan tahun, Madari menggeluti profesi sebagai perajin ciu tradisional. Bahkan, katanya, kakeknya dulu pun menjadi perajin tersebut dan telah memulainya sejak zaman penjajahan Belanda. “Umur kerajinan ciu di sini, lebih tua dibandingkan dengan usia saya sekarang,”kata lelaki yang masih terlihat gesit tersebut.

Baginya, meski sembunyi-sembunyi, hasil kerajinan itulah yang nyata-nyata memberikan penghasilan. Ciu hasil dari Desa Wlahar masih tetap diminati oleh pembeli, meski dia mengaku tidak tahu pembeli yang datang ke tempatnya menjual ke mana. “Biasanya pembeli yang datang ke sini sudah saling kenal. Begitu datang, langsung masuk dan tidak berapa lama pergi lagi. Yang penting tidak diminum di sini, itu syarat utamanya. Jangan sampai kami juga kena masalah,”katanya sambil terus memroses pembuatan ciu.

Dalam sehari, dia mampu membuat ciu sebanyak 30-40 liter dengan kadar alkohol sekitar 40-50 persen. Makanya tidak heran, jika mengecap saja, di mulut langsung terasa panas. Untuk membuatnya, tiap harinya Madari membutuhkan bahan-bahan gula merah dan tape singkong yang tidak terlalu sulit diperolehnya. Pembelinya tidak hanya berasal dari Banyumas, melainkan juga dari Wonosobo dan Cilacap. Dengan menggeluti pembuatan ciu tersebut, dia mendapatkan hasil Rp400 ribu per hari. Sebuah hasil yang sangat menggiurkan bagi warga desa. (liliek dharmawan)

Sabtu, 23 April 2011

Situs Megalitikum di Lereng Gunung Slamet





Memasuki Kompleks Situs Batur Agung di Dusun Pondok Lakah, Desa Baseh, Kecamatan Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) seperti masuk dalam hutan yang masih perawan. Padahal, kawasan itu sangat dekat dengan pemukiman penduduk. Namun, karena daerah itu dikeramatkan oleh penduduk setempat, maka pepohonan dibiarkan tumbuh seperti dalam rimba belantara.

Dengan berjalan kaki sepanjang 200 meter (m) dari jalan desa, atmosfer rimba mulai menyergap. Sinar matahari tak mampu sepenuhnya menyinari tanah lantaran terhalang dauun-daun dari pepohonan tinggi. Suara serangga terdengar dari berbagai arah. Setelah melewati jalan bebatuan menanjak, tibalah di sebuah tanah lapang di antara rerimbunan pohon.

Di tengah dari tanah lapang, berdiri sebuah bangunan denganm ukuran sekitar 4 x 5 meter. Di sampingnya, terlihat tatanan batu-batu yang rapi. Bebatuan itu sudah terlihat berwarna hijau karena lumut menutupi seluruh permukaannya. Tampak jelas kalau di zaman kuno area setempat dijadikan sebagai tempat pemujaan pada era prasejarah.

Bukti dari itu adalah adanya Menhir dan Punden Berundak. Dua jenis batu tersebut merupakan tempat pemujaan pada zaman megalithikum. Menhir adalah bangunan yang berupa tugu batu yang didirikan untuk upacara menghormati roh nenek moyang. Sedangkan Punden Berundak adalah bangunan dari batu yang bertingkat-tingkat dan fungsinya sebagai tempat pemujaan terhadap roh nenek moyang yang telah meninggal.

Hasil inventarisasi Balai Peninggalan Sejarah Purbakala wilayah Jateng menyebutkan Situs Batur Agung merupakan bantuan Punden Berundak dengan tiga teras yang berorientasi utara selatan dengan mengagungkan Gunung Slamet yang dianggapnya sebagai tempat persinggahan terakhir bersemayamnya para arwah nenek moyang.

Ada tiga buah patung batu dengan bahan dasar batu andesit yang menggambarkan lambang nenek moyang dengan bentuknya sangat sederhana, dengan ukuran rata-rata tinggi 80 sentimeter (cm) dan garis tengah 30 cm. Sebuah batu lumpang yang berbahan dasar batu andesit dengan ukuran tinggi 20 cm, garis tengah 17 cm, tebal 4 cm yang semuanya itu berada pada teras ketiga yang berfungsi sebagai sarana pelengkap upacara ritual pemujaan pada arwah nenek moyang dan disimpan di dalam bangunan rumah cagar budaya. Pada teras kedua terdapat satu buah menhir yang berbahan dasar batu andesit yang juga berfungsi sebagai sarana pelengkap upacara ritual pemujaan arawah nenek moyang dengan ukuran tinggi 57 cm, garis tengah 20 cm.

Setelah melewati beberapa abad, tempat tersebut tidak hanya terdapat bangunan zaman pra sejarah saja, tetapi area itu juga berubah menjadi tempat menyepi yang dimulai sejak zaman Kerajaan Padjajaran.

Juru kunci Situs Batur Agung, Sobirin, 61, mengungkapkan situs tersebut tidak hanya merupakan peninggalan zaman pra sejarah, tetapi juga dikeramatkan ketika memasuki zaman Kerajaan Padjajaran. "Situs Batur Agung merupakan tempat di mana Raden Kamandaka bersemedi di tempat ini. Kamandaka merupakan kerabat Keraton Padjajaran kala itu,"kata Sobirin kepada Media Indonesia.

Dijelaskan oleh Sobirin, sebelum tahun 1974, berbagai batu-batuan yang merupakan sisa situs zaman pra sejarah berserakan di luar. Termasuk di dalamnya ada sejumlah patung lain. Patung-patung yang ada di kompleks tersebut umumnya adalah tokoh dalam pewayangan. Di antaranya adalah Semar, Batara Guru, Togog, dan Begawan Narada. Tetapi ada juga patung Roro Jonggrang, alat musik Rebana tetapi terbuat dari batu serta lumpang atau tempat menumbuk padi.

Berbagai situs batu tersebut awalnya berserakan di luar, tetapi sejak tahun 1974 “dikandangkan” dalam rumah yang dibangun oleh warga. Jejak Raden Kamandaka sebagai pertapa di tempat itu ternyata juga diikuti oleh masyarakat umum. Mereka yang datang menyepi di Situs Batur Agung. Tampak berbagai sesajen yang tersisa, seperti jajanan pasar dan bunga. "Mereka umumnya menyepi memohon kepada Allah. Rata-rata mereka datang ke sini karena tempatnya memang sepi dan cocok untuk berdoa. Suasana yang hening membuat doa yang dipanjatkan menjadi sangat khusuk,"kata Sobirin.

Setiap setahun sekali, di tempat itu juga diadakan ritual yang dilaksanakan pada bulan Mulud dalan hitungan kalender Jawa. Ritualnya berupa tumpengan bersama oleh warga Dusun Pondok Lakah. Biasanya, warga juga menyembelih kambing di tempat itu.

Dalam perkembangannya, kini Situs Batur Agung dikolaborasikan dengan keindahan alam yang ada di tempat itu sebagai obyek wisata yang dikemas menjadi Batur Agung Mount Fun.

Project Manager Batur Agung Mount of Fun Muhammad Nur Yusuf mengatakan kalau hanya Situs Batur Agung saja dirasakan rugi. "Dalam perjalanan ke Situs Batur Agung, suasana sudah sangat menakjubkan. Di sepanjang jalan dapat dilihat pemandangan alam sawah dan pegunungan yang mempesona. Karena wilayah Baseh merupakan lereng selatan Gunung Slamet,"katanya.

Pihaknya, katanya, bakal mememadukan keindahan alam dengan situs bersejarah itu menjadi obyek wisata yang menarik. "Perpaduan antara wisata ritual dengan wisata alam. Selain alam yang menjanjikan keindahan, kami juga akan mengembangkan berbagai potensi lokal yang ada. Misalnya saja arung jeram dan kayak. Semuanya akan disatukan menjadi wisata,”ujarnya.

Menjadi tantangan tersendiri bagi Yusuf untuk menjadikan Situs Batur Agung dan keindahan alam Desa Baseh dijual menjadi obyek wisata. Sebab, untuk mencapai kawasan itu membutuhkan perjalanan cukup panjang karena jarak dari Kota Purwokerto mencapai sekitar 15 km dengan jalan sempit dan menanjak. Tetapi potensi pasarnya juga terbuka lebar, karena dapat dijadikan wisata edukasi bagi pelajar mengenai kesejarahan serta ecotourism bagai khalayak umum dengan alam yang masih terjaga keasliannya.(liliek dharmawan)

Rabu, 20 April 2011

Kehebohan Baturraden Bukan Jabal Magnet, Hanya Ilusi Optik




Tiga hari terakhir, jalanan sepi yang menghubungkan antara kawasan wisata Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah menuju Desa Limpakuwus, Kecamatan Sumbang, mendadak ramai. Jalanan itu biasanya hanya untuk warga yang keluar dari desa atau penduduk yang mencari rumput. Tetapi, jalanan beraspal dengan lebar 2 meter tersebut mengalami kemacetan.

Ratusan sepeda motor berjajar di jalan setempat. Selain itu, ada juga sejumlah kendaraan roda empat yang terparkir. Ada beberapa warga yang kemudian mencoba untuk mematikan motor di tengah jalan. Ternyata tiba-tiba motornya berjalan. “Ya, saya kaget, tiba-tiba saja, motor bisa jalan sendiri. Padahal kan jalan ini terlihat menurun, tetapi motor saya malah tertarik ke belakang. Ini yang aneh,”ujar Yamin, 21, seorang pemuda warga Desa Karangmangu, Baturraden.

Warga memang kemudian menyimpulkan kalau ada medan magnet. Kabar itu memang beredar luas, apalagi setelah televisi menayangkan liputannya. “Saya datang ke sini penasaran setelah melihat tayangan televisi. Ternyata ramai sekali di sini. Banyak yang mencoba. Memang motor yang dimatikan tertarik ke belakang. Kalau dilihat dari sini jalannya seakan-akan menurun, namun kok motor bisa tertarik ke belakang, padahal jalannya terlihat menanjak,”jelas Aris, 48, warga Desa Banjarsari Kulon, Sumbang.

Kehebohan memang semakin menjadi, setelah aparat kepolisian mencoba mobil di tempat itu. Apalagi setelah ditayangkan televisi. Warga memang menduga ada semacam medan magnet besar di daerah tersebut. Bahkan, ada yang bilang seperti Jabal Magnet di Kota Madinah, Arab Saudi.

Secara kasat mata, berdasarkan pemantauan Media Indonesia, jalan tersebut sebetulnya tidak terlihat menanjak, tetapi rata. Namun entah mengapa, warga seolah-olah melihat kalau jalan itu naik.

Atas fenomena tersebut, tim ahli dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) datang ke lokasi. Mereka terdiri dari ahli geologi dan fisika untuk membuktikan kehebohan yang telah berjalan berhari-hari tersebut. Peneliti dari jurusan Geologi, Fakultas Teknik dan Sains Muhammad Aziz mendatangi lokasi tersebut. Sebagai seorang yang berfikir ilmiah, ia memang tidak langsung heran dengan fenomena yang terjadi. Bahkan warga yang mendatangi tempat itu sempat “memprovokasi” kalau di wilayah tersebut memang ada medan magnet yang besar, sehingga motor dan mobil bisa tertarik.

Aziz kemudian mengeluarkan kompas. Alat sederhana itu pasti bakal bergerak kalau berdekatan dengan medan magnet besar. Begitu ia mengeluarkan kompas, jarumnya tidak ada pergerakan sama sekali, bahkan cenderung stabil. “Kalau ada medan magnetnya, maka jarum pada kompas ini pasti bakal bergerak. Ternyata ini kan tidak,”ujarnya.

Ia kemudian berjalan sepanjang 30 meter yang merupakan areal kehebohan tersebut. Sama saja, kompas sama sekali tidak ada gerakan. “Dengan demikian, kami memastikan kalau sebetulnya sama sekali tidak ada daya magnet yang besar di areal ini,”jelas Aziz.

Meski demikian, Aziz butuh pembuktian lainnya. Jalan yang dikira menanjak tersebut diukur ketinggiannya dengan menggunakan Global Positioning System (GPS). Dari pengukuran ketinggian, diperoleh kalau ketinggiannya mencapai 717 meter di atas permukaan laut (mdpl). Kemudian, dia bergerak ke arah jalan yang dikira lebih tinggi atau menanjak, ternyata di tempat itu ketinggiannya sama yakni 717 meter. “Jadi memang jalan ini sebetulnya tidak menanjak. Ketinggian tempat ini sama atau rata. Ini berdasarkan pengukuran alat GPS,”tegasnya.

Dijelaskannya, bahwa apa yang menjadi kehebohan warga ternyata tidak terbukti. Tidak ada medan magnet dan motor atau mobil memang tidak bergerak ke daerah yang lebih tinggi. “Fenomena ini hanya ilusi optik saja. Sama saja ketika ada cahaya yang masuk ke air. Kalau dilihat oleh mata, seolah-olah cahaya tersebut membelok, padahal sebetulnya lurus. Sama seperti yang terjadi di sini. Jalanan benar-benar rata, hanya kalau dilihat seolah-olah menanjak,”ungkapnya.

Lalu mengapa kalau jalanan datar, motor atau mobil bisa bergerak sendiri? Ahli Fisika dari Unsoed, Sukmaji, mengatakan bahwa meski datar, tetapi jalan setempat miring sekitar 2 derajat. Dengan kemiringan tersebut, maka motor dan mobil bisa bergerak ke belakang. Hal itu murni karena kemiringan bukan medan magnet. Sederhana saja, kalau itu medan magnet, tentu bukan hanya mobil dan motor yang bergerak, tetapi juga benda-benda lainnya yang mengandung logam. “Jadi masyakarat tidak perlu heboh, karena ini merupakan fenomena biasa. Tidak ada yang aneh sama sekali,”tandasnya.


Fenomena tersebut nyaris sama dengan yang terjadi di Gunung Kelud, Jawa Timur. Bukan medan magnet penyebabnya, hanya ilusi optik saja. (liliek dharmawan)


simak juga di alamat ini:

http://anax1a.pressmart.net/mediaindonesia/MI/MI/2011/04/20/ArticleHtmls/20_04_2011_006_027.shtml?Mode=0

Senin, 18 April 2011

Mangrove Hilang, Nelayan Meradang





Sebuah perahu jukung melintas di Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng). Si nelayan memelankan laju perahunya dan menambatkannya di sela-sela pepohonan mangrove di kawasan setempat. Dia kemudian mengeluarkan jaringnya untuk memperoleh ikan.

Sekali, dua kali sampai berkali-kali, jaring sengaja dilemparkan di Kawasan Segara Anakan itu. Lumayanlah, akhirnya dia mendapatkan juga. Bermacam ikan dan udang kecil diperolehnya dari hasil menjaring itu. “Sebetulnya hasil sekitar 5 kilogram (kg) ini jauh dibandingkan beberapa tahun lalu. Karena waktu itu, hasilnya bisa mencapai 15-20 kg. Akhir-akhir ini memang sulit mendapatkan ikan,”jelas Slamet, 48, nelayan asal Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut.

Penurunan hasil tangkapan ikan juga dikatakan oleh Ketua II Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Cilacap Indon Cahyono. Menurutnya, semakin sempitnya Segara Anakan serta kian menyusutnya hutan mangrove menjadikan ikan semakin sulit dicari selain perubahan iklim yang semakin tidak pasti.

“Memang saat ini semakin sulit nelayan mencari ikan. Selain musim yang sulit diterka dan kian seringnya cuaca buruk di laut membuat tidak kurang dari 30 ribu nelayan di Cilacap nasibnya semakin suram. Apalagi ditambah dengan kian rusaknya ekosistem mangrove dan menyempitnya Segara Anakan,”ujarnya.

Kondisi mangrove memang memprihatinkan, karena saat sekarang hanya tinggal 8.000 hektare (ha) dari sebelumnya di tahun 1975 mencapai15 ribu ha. Demikian juga dengan Segara Anakan yang hanya tinggal memiliki luas 600 ha dari sebelumnya di tahun 1900-an mencapai 6.460 ha dan tahun 2000 silam masih 1.200 ha. Rusaknya mangrove salah satunya adalah pembalakan liar serta sedimentasi yang terus-menerus masuk Segara Anakan. Pengendapan lumpur dari berbagai sungai terutama Citanduy dan Cimeneng tiap tahunnya mencapai 760 ribu meter kubik. Dengan perubahan Segara Anakan menjadi daratan, maka ekosistem mangrove juga berubah dan menyebabkan kematian hutan bakau.

Padahal, menurut Kepala Kantor Pengelola Sumberdaya Segara Anakan (KPSSA) Cilacap Supriyanto menyatakan kombinasi laguna dan mangrove di Cilacap sebagai yang terunik di Kawasan Asia Pasifik dan menjadi wilayah penting bagi rantai kehidupan biota laut. “Kawasan itu juga merupakan tempat pemijahan ikan dan udang. Bahkan juga sebagai tempat perlidungan dan mencari makan bagi biota laut,”kata Supriyanto.

Dalam ekosistem itu juga berkembang 26 jenis pohon mangrove dan ratusan spesies udang dan ikan laut. Dari riset yang pernah dilakukan, setiap ha mangrove dengan biota laut yang ada, nilai ekonomisnya mencapai Rp17 juta. Jika penyusutan telah mencapai sekitar 7.000 ha, maka kerugian selama ini telah mencapai Rp119 miliar. Itu belum perhitungan berapa banyak penurunan hasil laut setelah terganggunya pemijahan biota laut.

Rusaknya mangrove memang tidak dapat dilepaskan dari pembalakan liar yang masih saja berlangsung. Administratur Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Barat Sangudi Muhamad menyatakan bahwa kondisi mangrove di sekitar Segara Anakan memang membutuhkan penanganan serius. “Pembalakan memang masih terjadi, karena kondisi ekonomi. Sulitnya mencari ikan, membuat sebagian warga kemudian beralih membabat kayu mangrove yang terdiri dari Rhizopora sp, Bruguera sp, dan Soneratia sp untuk dijadikan arang. Karena kayu mangrove paling cocok dijadikan arang karena kayunya keras,”ujarnya.

Upaya penyelamatan

Berbagai instansi, misalnya Perhutani dan KPSSA menaruh perhatian terhadap penyelamatan mangrove dan Segara Anakan. Bahkan, pemerintah pusat melalui Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra) juga turun tangan dan siap menanganinya.

Kemenkrokesra, misalnya, kata Supriyanto,telah mengagendakan guna mengooridinasikan penyelamatan Segara Anakan dari sedimentasi. “Pengerukan bakal dilakukan pada tahun 2011 mendatang, setelah sebelumnya didahului oleh kegiatan lainnya. Langkah itu akan menjadi salah satu solusi nyata,”tandasnya.

Langkah lainnya, tambah Supriyanto, adalah mencari format baru konservasi. Dalam program konservasi Segara Anakan, KPSSA tidak lagi hanya bagaimana menghijaukan mangrove kembali yang dalam tiga tahun terakhir telah mencapai sekitar 2.500 ha, tetapi mulai masuk pemberdayaan masyarakat secara ekonomi. “Kita mengajak masyarakat di Kecamatan Kampung Laut seperti Klaces, Mangunjaya, dan Lempungpucung untuk membudidayakan kepiting. Selanjutnya mereka juga kita minta untuk tanam mangrove,”tambah Supriyanto.

Perhutani KPH Banyumas Barat juga tidak mau ketinggalan. Instansi yang menangani kehutanan itu merintis pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) pada tahun 2009 ini terutama di lahan Perhutani yang kini dihuni oleh warga karena telah menjadi tanah timbul seluas 7.600 ha. “Dalam PHBM itu, kita mengembangkan silvofishery yakni perpaduan antara mangrove dengan empang serta agrosilvofishery yakni memadukan antara mangrove, empang dan palawija,”ujar Sangudi

Targetnya adalah bagaimana ekonomi masyarakat semakin terangkat dan tidak lagi menebangi hutan mangrove yang sesungguhnya menjadi aset masa depan mereka. Karena jika mangrove hilang, masa depan mereka bakal suram. Bahkan, tidak hanya warga sekitar saja yang merasakan dampaknya, tetapi juga masyarakat pesisir, warga nelayan. (liliek dharmawan)

Kamis, 14 April 2011

Tradisi Unggah-unggahan Khas Bonokeling





Memasuki kompleks sesepuh kaum Bonokeling di Desa Pekuncen, Kecamatan

Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) bagai kembali pada zaman Jawa

kuno. Bentuk rumahnya masih seperti Joglo, meski atapnya telah digantikan

seng. Sedangkan dindingnya masih tetap terbuat dari anyaman bambu. Begitu

juga lantainya bukanlah dari keramik, masih tetap tanah.

Ada sejumlah bangunan tua yang sudah kelihatan tidak terlalu kokoh lagi.

Misalnya saja bangunan Pasemuan yang biasanya digunakan sebagai tempat

memuji dengan menembangkan lagu-lagu Jawa. Ada pula Balai Malang yang

biasa digunakan untuk tempat makanan dan minuman pada saat ada ritual

khusus. Ada pula enam bangunan rumah joglo yang digunakan sebagai rumah

dinas juru kunci dan lima rumah untuk bedogol. Bedogol merupakan pembantu

juru kunci atau pemimpin kelompok-kelompok dalam Bonokeling.

Dalam keseharian, masyarakat di tempat itu sama dengan warga kebanyakan.

Terlihat anak-anak yang bermain dengan sepeda dan memakai baju zaman

sekarang. Kontras dengan generasi tua yang masih memakai baju kejawen.

Yang perempuan memakai jarit, sedangkan laki-laki menggunakan baju hitam

dengan penutup kepala atau disebut iket. Kesemuanya menyatu dalam harmoni

indah, meski rumah-rumah yang mereka tinggali terlihat amat sederhana.

Area tersebut merupakan wilayah para tokoh yang masih “trah” atau

keturunan dari Bonokeling. Makam dari Bonokeling tidak jauh dari rumah

dinas juru kunci dan bedogol hanya sekitar 200 meter. Bonokeling bisa

disebut dengan tokoh misterius, karena Bonokeling sebetulnya merupakan

nama alias, bukan nama sesungguhnya. Nama Bonokeling dapat diartikan

sebagai “wadah hitam”. Bono berarti wadah dan keling artinya hitam.

Keturunan dari Bonokeling biasanya memakai pakaian serba hitam, terutama

pada waktu-waktu ritual tertentu. Tidak ada sejarah yang mencatat, kapan

tokoh Bonokeling berkiprah di tempat itu dan kapan meninggalnya.

Juru kunci Makam Bonokeling Kartasari, 75, mengungkapkan bahwa tidak ada

catatan secara persis kapan sebetulnya Bonokeling ada di desanya. Tetapi

dari penuturan para sesepuh sebelumnya, Bonokeling ada jauh sebelum Islam

masuk ke Banyumas. Kartasari mengatakan kalau dia baru menjabat sebagai

juru kunci tiga bulan. Ada lima Bedogol yang membantu. Semua bedogol

rumahnya di sini. “Selain itu ada juga Ketua Adat Bonokeling. Biasanya

ketua adat ini yang berhubungan dengan masyarakat di luar Bonokeling dan

pemerintah. Bahkan, Ketua Adat Bonokeling juga masuk struktur Badan

Perwakilan Desa (BPD) dari unsur adat,”kata Kartasari yang tidak dapat

berbahasa Indonesia.

Sebagai seorang juru kunci, ada sejumlah tugas yang diembannya. Di

antaranya adalah membersihkan makam, biasanya pada hari Kamis. Selain itu,

juru kunci juga memimpin ritual-ritual yang telah terjadwal maupun tidak.

Ritual yang terjadwal di antaranya adalah Unggah-unggahan, Sedekah Bumi,

Kupatan Senin Paing, dan lainnya. Yang tidak terjadwal di antaranya adalah

upacara melebuh.

Unggah-unggahan merupakan ritual paling besar. Karena ritual itu tidak

hanya diikuti oleh kaum Bonokeling dari desa setempat melainkan dari

pesisir Cilacap seperti Maos, Kroya, Adipala, Binangun hingga Nusawungu.

Mereka datang dengan berjalan kaki menuju makam Bonokeling. Biasanya

ritual itu berlangsung selama tiga hari. Intinya adalah berkumpul di Makam

Bonokeling dan makan bersama.

Selain itu, ada juga Sedekah Bumi yang dilaksanakan pada bulan Jawa Apit.

Pada ritual itu, warga khususnya Bonokeling berkumpul untuk mengumpulkan

hasil bumi sebagai ucapan terima kasih kepada Yang Maha Pencipta. Ada lagi

ritual Kupatan Senin Paing. Kalau ritual itu berisi puji-pujian kepada

Penguasa Alam melalui tembang-tembang Jawa. Dalam ritual tersebut

dilengkapi dengan kupat yang berarti Laku Papat, sebuah laku untuk menuju

keselamatan.

Prosesi yang tidak terjadwal adalah Mlebu. Mlebu merupakan prosesi di mana

seseorang yang telah dewasa mau masuk ke dalam Kaum Bonokeling. Biasanya

untuk kaum perempuan usianya menginjak 17 tahun dan laki-laki 12 tahun.

Dalam ritual Mlebu, mereka yang akan masuk harus menguasai pranata

Bonokeling sebagai syaratnya. Jika laki-laki, akan dikukuhkan oleh

Bedogol, sedangkan kalau perempuan dikukuhkan oleh istri Bedogol.

Ketua Adat Bonokeling Sumitro mengatakan bahwa mereka tetap beragama

Islam, namun budaya Bonokeling tetap dipegang teguh. “Misalnya saja,

budaya Unggah-unggahan. Budaya itu sebetulnya merupakan prosesi awal musim

tanam. Tetapi ketika Islam sudah masuk dan waktunya menjelang Ramadan,

prosesi Unggah-unggahan disamakan dengan ritual Sadranan. Sadranan biasa

dilakukan menengok dan membersihkan makam leluhur sebelum masuk bulan

puasa,”jelas Sumitro.

Dijelaskan oleh Sumitro, Bonokeling sampai sekarang memang masih

misterius. Meski demikian, sebetulnya para tetua adat tahu siapa

sebetulnya Bonokeling, namun tidak boleh memberikan keterangan kepada

khalayak. “Ya Bonokeling saja, walaupun itu sebenarnya hanyalah nama

samaran. Ia adalah tokoh yang berasal dari Pasir Luhur. Pasir Luhur

merupakan kadipaten di bawah Kerajaan Padjajaran atau

Galuh-Kawali,”katanya.

Setelah masuknya Islam, berbagai budaya ala Bonokeling tetap dipertahankan

tetapi mengalami akulturasi. Sehingga ada percampuran yang unik antara

tradisi Islam dengan Bonokeling.

Peneliti dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto Ridwan

yang melakukan riset etnografi terhadap kaum Bonokeling mengatakan bahwa

di kalangan kaum Bonokeling terjadi akulturasi budaya antara budaya lokal

dengan Islam. “Ada local wisdom yang sebetulnya sangat erat dan melekat

dalam kaum Bonokeling yakni “guyub rukun” atau persaudarannya. Mereka akan

menjadi anak cucu Bonokeling melalui prosesi “mlebu” yang dilakukan oleh

Bedogol kalau laki-laki dan perempuan dengan istri Bedogol,”jelas Doktor

lulusan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.

Ridwan mengaku cukup heran karena di saat gempuran budaya globalisasi

seperti sekarang masih ada yang memegang teguh pranata dan budaya lokal

yang mereka miliki. “Kuncinya adalah kekerabatan yang begitu kuat di

ataranya kaum Bonokeling. Padahal, mereka sangat terbuka, baik dalam

komunikasi maupun secara geografis. Apalagi, kaum Bonokeling juga tersebar

di Banyumas dan Cilacap. Saya masih yakin sampai 10 tahun mendatang, kaum

Bonokeling masih tetap eksis. Meski sebenarnya tetap ada

perubahan-perubahan yang terjadi apalagi kalau anak-anak keturunan “trah”

Bonokeling tersebut bersekolah atau merantau ke luar daerah,”kata Ridwan

yang juga dosen STAIN Purwokerto tersebut.

Bagi Ridwan, local wisdom yang masih dimiliki oleh kaum Bonokeling harus

mendapat perhatian dari pemerintah daerah khusus budaya yang mereka

miliki. Meski sebetulnya masih ada persoalan dalam perspektif teologis

Islam. (liliek dharmawan)

Minggu, 10 April 2011

Menyulap Sampah Jadi Gaun Nikah




Sekilas, gaun pengantin warna putih itu tidak ada bedanya dengan yang lain. Gaunnya menarik dengan berbagai variasi kerutan di sana sini. Benar-benar seperti gaun pengantin yang diproduk secara serius dengan kain mahal.

Benar, bahwa penggarapannya serius. Butuh waktu yang cukup lama dan tenaga kerja yang jumahnya lebih dari 10 orang. Tetapi, silakan disentuh. Pasti akan sangat kaget.

Ternyata gaun pengantin itu bukanlah terbuat dari kain yang mahal. Gaun tersebut berasal dari sampah terutama plastik. Makanya ketika disentuh langsung berbunyi kresek...kresek...kresek. Memang gaun pengantin setinggi sekitar 1,5 meter tersebut berasal dari limbah sampah. Ada sampah plastik dan kain bekas spanduk serta rumbai-rumbai yang berasal dari plastik sedotan minuman.

Itulah hasil dari kreasi dari para ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok Perumahan Gumilir, Kelurahan Gumilir, Cilacap, Jawa Tengah yang dipimpin oleh Erni Suhaina Ilham Fadzry, 42. Ia adalah pemilik sekaligus pimpinan sebuah lembaga kursus yang juga merekrut para ibu-ibu di sekitar rumah setempat.

Salah seorang ibu yang mengerjakan baju pengantin tersebut, Desi Musikawati, 36, mengatakan pengerjaan gaun pengantin awalnya dilakukan pengumpulan sampah-sampah, terutama tas plastik warna putih. Kemudian dibuat polanya. Bagian dalam dari gaun pengantin itu terbuat dari spanduk bekas berwarna putih, walaupuin masih ada sisa tulisannya.

Setelah selesai membuat bagian dalam pengantin, baru tas plastik bekas mulai disambung-sambung untuk membuat berbagai variasi pada gaun tersebut. Bentuknya sungguh unik, karena seluruh bagian baju pengantin sangat variatif dengan renda-renda menarik. Hanya pada bagian lengan baju yang dibiarkan tidak ada hiasan, sebatas plastik panjang.

Menurut Desi, untuk membuat gaun tersebut membutuhkan waktu sampai 12 hari. "Yang mengerjakan juga banyak, lebih dari 10 orang. Mereka bertugas masing-masing, mulai dari menyambung plastik bekas, membuat hiasan sampai menjahitnya,"ujar Desi.

Sementara Erni Suhaina menambahkan sebetulnya untuk membuat gaun pengantin yang terbuat dari sampah tidak terlalu masalah. Yang jadi persoalan adalah, apakah ada calon pengantin yang mau menggunakan gaun pengantin yang terbuat dari sampah.

"Saya sudah sekitar tiga kali meminta kepada beberapa calon pengantin. Tetapi ditolak. Setelah itu ada calon pengantin yang menawarkan diri. Ini merupakan surprise bagi kami karena ada calon pengantin yang mau menggunakan baju pengantin dari bahan limbah plastik dan kain. Mereka adalah Ema Masitoh dan Adi Kuncoro,"ujarnya.

Dikatakan oleh Erni, bahwa sebetulnya kain pengantin dari bahan plastik tersebut merupakan salah satu kampanye lingkungan. "Dengan adanya gaun pengantin tersebut, kami ingin mengajak masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan. Karena kami melihat banyak persoalan sampah di masyarakat, tetapi tidak banyak yang memanfaatkan,"katanya.

Paling tidak, lanjutnya, dengan membuat gaun pengantin itu dapat akan membukakan mata masyarakat bahwa ternyata limbah dapat dimanfaatkan untuk barang-barang yang lebih berguna. Ini dapat menjadi tonggak untuk menggerakkan masyarakat supaya melaksanakan kegiatan pemanfaatan limbah non B3. "Bahan-bahan itu dapat dipakai untuk di-recycle, reuse, dan reduce. Atau daur ulang, penggunaan kembali dan mengurangi penggunaan,"jelasnya.

Beragam Produksi

Menurut Erni, tidak hanya gaun pengantin saja, tetapi juga baju-baju lain. Ada yang terbuat dari kain spanduk bekas, plastik sisa maupun kertas. Namun itu semua tidak dijual, tetapi hanya untuk disewakan. Yang pasti sekali lagi saya katakan kalau itu sebagai contoh jika sampah dan limbah dapat dimanfaatkan,"ujarnya.

Rumah Erni juga digunakan sebagai tempat kursus dan pelatihan bagi warga sekitar itu juga menghasilkan produk suvenir. Produk-produk suvenir juga berbahan baku sampah. Misalnya saja botol bekas minuman yang dihias diubah menjadi tempat surat undangan. Selain itu compact disk bekas disulap menjadi suvenir cantik bagi para tamu undangan. Tidak hanya itu, ada sejenis hantaran yang dibentuk seperti masjid. “Kalau harga suvenir biasanya hanya berkisar antara Rp1.000 hingga Rp1.500 per biji, tetapi jika hantaran yang berbentuk masjid harganya Rp25 ribu,”katanya.

Dengan berbagai macam kegiatan itu, Erni berhasil merekrut para remaja dan ibu-ibu di sekitar Gumilir untuk turut serta dalam kegiatan produktif. Hasilnya cukup lumayan, setiap bulannya bisa mendapatkan Rp500 ribu.

Tidak hanya mereka yang datang ke rumah setempat, karena Erni dan kelompoknya juga membina beberapa dasawisma dan kelompok ibu lainnya. “Bagi kita, semakin banyak yang bisa kian suka. Karena kalau ada pesanan, banyak yang mengerjakan,”ujarnya.(liliek dharmawan)

Jumat, 08 April 2011

Sisi Lain Kebakaran Pertamina Cilacap







Setelah 4 hari meluluhlantakkan tiga tangki tempat penyimpanan komponen bahan bakar minyak (BBM), akhirnya api dapat dipadamkan. Api yang mulai berkobar di tangki penyimpanan komponen BBM kompleks kilang minyak Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap, Jawa Tengah.

Berikut rekaman bidikan sisi lain dalam kebakaran di Pertamina RU IV Cilacap. Bidikan ini setidaknya menjadi saksi sejarah salah satu kebaran terhebat yang pernah terjadi di kilang minyak terbesar di Indonesia tersebut.

Minggu, 03 April 2011

Explosion and Fire at Oil Refinery Cilacap Indonesia


Explosion and Fire at Oil Refinery Cilacap Indonesia

The fire that is destroying a oil refinery of state-owned oil and gas firm Pertamina in Cilacap, Central Java, Indonesia. The fire has destroyed three storage tanks at Indonesia's largest oil refinery. No fatalities have been reported. The government has also assured the nation that the fuel supply will not be disrupted because of the fire.



Kebakaran Pertamina Cilacap Indonesia

Sebuah peristiwa besar terjadi di kilang minyak Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap, Jawa Tengah. Pada Sabtu (2/3) dinihari telah terjadi percikan api yang kemudian diikuti ledakan serta kobaran api. Salah satu tangki penyimpanan kilang terbesar di Indonesia tersebut terbakar. Hanya dalam waktu dua hari, tiga tangki penyimpanan BBM luluh lantak. Peristiwa kebakaran besar ini merupakan kejadian cukup besar sejak 16 tahun silam. Pada tahun 1995 lalu, kilang minyak Cilacap pernah terbakar akibat disambar petir. Dalam peristiwa tersebut 7 tangki terbakar.


LILIEK DHARMAWAN