Tidak hanya tentara Belanda saja yang pernah hidup di Benteng Van Der Wijck. Jenderal Besar Soeharto, penguasa Orde Baru bahkan sempat melewatkan lembar hidupnya di benteng yang terletak di Desa Sedayu, Kecamatan Gombong, Kebumen, Jawa Tengah (Jateng) sewaktu menjadi anggota KNIL.
Benteng kokoh yang kini dicat merah itu telah berganti-ganti fungsinya. Sejak dibangun saat terjadinya peperangan Pangeran Diponegoro sekitar 1825-1830, Benteng Van Der Wijck digunakan sebagai tempat pertahanan. Meski demikian, ada sejumlah ahli yang yakin kalau benteng itu bukan merupakan benteng pertahanan, melainkan sebagai benteng logistik dan Puppilen School atau sekolah calon militer. Secara pasti memang tidak ada sejarah yang mencatat secara persis untuk apa saja benteng itu difungsikan.
Pembangunan benteng yang disebut-sebut sebagai satu-satunya benteng berbentuk oktagonal di Indonesia itu kerap dikaitkan dengan nama seorang Jenderal Belanda yang bertugas di Bagelen Purworejo tahun 1787-1876 bernama Frans David Cochius. Namun, kemudian benteng itu disebut Van der Wijck, sesuai dengan nama di pintu masuk benteng. Van der Wijck merupakan perwira militer dengan karir cemerlang karena konon mampu memenangkan berbagai peperangan di Indonesia. Tidak ada catatan pasti dalam sejarah kapan dimulainya pembangunan benteng tersebut, namun ada yang memperkirakan tahun 1827.
Ciri paling khas Benteng Van Der Wijck adalah segi delapan dengan luas mencapai 7.168 meter persegi. Tinggi benteng mencapai 10 meter yang terdiri dari dua lantai. Tebal dinding 1,4 meter (m) dan tebal lantai 1,1 m. Hampir seluruh bangunan bentuknya adalah tembok, termasuk atapnya yang berasal dari batu bata.
Untuk berkeliling benteng dengan jalan kaki santai membutuhkan waktu sekitar 30 menit menyusuri lantai satu dan dua. Di lantai satu dan dua terdapat masing-masing 16 ruangan besar dengan ukuran 18 x 6,5 m. Sementara ruang kecil di lantai satu berbagai macam ukuran ada 27 ruangan, sementara di lantai dua terdapat 25 ruangan. Pada lantai satu terdapat empat pintu gerbang, 72 jendela, 63 pintu antarruangan maupun pintu keluar benteng, 8 anak tangga ke lantai dua serta dua anak tangga darurat. Sedangkan di lantai dua, terdapat 84 jendela, 70 pintu penghubung dan empat anak tangga ke bagian atap.
Hingga saat ini, setiap lantai terlihat kosong, hanya ada beberapa ruangan yang diisi dengan foto-foto pejabat militer Belanda, foto benteng ketika belum direnovasi, serta lainnya. Meski usianya sudah dua abad, namun bangunan tetap terlihat kokoh. Bahkan, besi-besi yang berada di bagian atap tiap ruangan terdapat kait besi yang menempel kuat. Sudah menjadi kekhasan gedung-gedung yang didirikan Belanda, hampir seluruh ruangan bisa ditembus sinar matahari, sirkulasi udara juga bagus, serta atapnya yang tinggi, membuat suasana tidak panas.
Dalam sejarahnya, selepas penjajahan Belanda, Benteng Van Der Wijck pernah difungsikan untuk tempat melatih tentara Indonesia bentukan Jepang yakni PETA sebagai pasukan tambahan menghadapi Sekutu. Di zaman itulah, seluruh tulisan Belanda yang ada di benteng dicat hitam. Kemudian dimanfaatkan untuk tentara Indonesia. Bahkan, semasa KNIL, penguasa Orde Baru, Soeharto, menjadi salah satu penghuni benteng itu.
Sejak tahun 1950 hingga tahun 1984, benteng itu digunakan untuk barak tentara. Tahun 1984 menjadi tempat tinggal anggota TNI Angkatan Darat sampai tahun 2000. Namun, pada tahun itu, kondisinya cukup memprihatinkan karena kurang terawat. Baru sekitar tahun 2000, TNI mengambil kebijakan memugarnya dan diserahkan pengelolaannya kepada pihak ketiga.
Pengelola saat ini, PT Indo Power MS, awalnya tidak berfikir membukanya sebagai tempat wisata sejarah. “Terus terang, awalnya, kami mengembangkan beberapa lokasi di Kompleks Benteng Van Der Wijck untuk pengembangan sarang walet. Namun, akhirnya sarang walet tidak berkembang, karena bangunannya ambruk. Baru, setelah itu kami memulainya untuk membukanya sebagai tempat wisata,”kata General Manajer Wisata Van Der Wijck, Herwin Kunadi.
Dikatakan oleh Herwin, secara pasti kesejarahan Benteng Van Der Wijck memang belum ada yang pasti. “Ada beragam pendapat, tetapi tidak ada yang dapat memastikan kapan sebetulnya dibangun dan berapa lama. Yang jelas, sebagai pengelola, kami tidak akan menghilangkan keaslian bentuk benteng,”ujarnya.
Sejak tahun 2000 silam, Herwin mengaku telah mengeluarkan kocek hingga Rp28 miliar untuk merenovasi seluruh Kompleks Benteng Van Der Wijck. Beberapa di antaranya adalah membangun bekas gedung-gedung yang rusak untuk menjadi ruang pertemuan dan kamar-kamar hotel. “Memang kami menginginkan Benteng Van Der Wick sebagai wisata sejarah. Kami juga mengkonsep wisata keluarga, sehingga mainan anak-anak dan kolam renang kami sediakan di sini,”katanya.
Tetapi wisata sejarah tetap menjadi fokus pengembangan. Sehingga ketika ada yang datang dan masuk ke Benteng Van Der Wijck, atmosfer abad 18 langsung terasa. (liliek dharmawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar