Kamis, 18 April 2013

Negeri di Atas Air

Negeri Belanda lahir 1581. Ditahbiskanlah nama Koninkrijk der Nederlanden. Arti harafiahnya adalah Kerajaan Tanah Rendah. Sebutan itu didasarkan pada topografis Belanda yang rata-rata wilayahnya di bawah pemukaan laut antara 1-7 meter.


                               http://www.old-map-blog.com


Menjadi tidak wajar jika kemudian Belanda tidak tenggelam. Karena bukankah dalam hukum alam, air dipastikan mengalir ke tempat yang rendah?  Ketidakwajaran itu sejatinya tidaklah mengubah hukum alam, melainkan dengan teknologi.


Air tetap saja bakal mengalir ke tempat rendah, namun dengan bendungan akhirnya air dapat dikontrol dan tidak masuk pada kawasan tanah yang berada di bawah permukaan laut itu. Terciptalah bendungan raksasa Afsluitdijk yang dibuka tahun 1933. Di bagian atas bendungan difungsikan sebagai jalan bebas hambatan.


                                          www.lorentz.leidenuniv.nl

Tahun berganti tahun, zaman bergeser, pun iklim juga mengalami perubahan. Bendungan yang merupakan ide cerdas dari ahli Belanda ternyata belum menjawab semuanya. Tahun 1995, misalnya, bukan air laut yang masuk, melainkan luapan Sungai Maas. Dampaknya ada 200 ribu orang mengungsi.



                               1995 Flooding in Netherlands-Rijkswaterstaat


Bukan orang Belanda kalau tidak gelisah karena kenyataannya air masih menjadi musuh laten. Pemanasan global yang terjadi telah mengubah iklim sedemikian dahsyat. Salah satunya adalah curah hujan kian tinggi yang potensial menyebabkan banjir. Dampak lain, menurut perkiraan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPPC) pada abad 21 tinggi permukaan air laut akan naik 9-88 cm. Kondisi ini bakal menenggelamkan 6 persen daerah Belanda.


Lantas, apakah Belanda pasrah dan hanya menunggu? Tidak. Selama ini, Belanda seakan bertarung dengan air dengan membuat berbagai macam pertahanan. Benar “peperangan” dengan air menciptakan inovasi yang luar biasa.


Bukanlah Belanda jika tak tampil menjadi pioner terobosan cerdas. Ide itu digulirkan arsitek muda kenamaan asal Belanda Koen Olthuis. Dia menyatakan sudah terlalu banyak usaha dan dana untuk menjaga pompa bekerja 24 jam. Sehingga perlu ada pemikiran baru. Pesan itu jelas, kalau selama ini air dianggap sebagai lawan, kenapa tidak jika dijadikan sebagai kawan. 


Tahun 2005, ia bersama dengan Paul Van de Camp, Olthuis telah mendirikan Waterstudio.NL perusahaan yang mengkhususkan diri dalam pengembangan dasar struktur terapung yang kemudian mendapatkan hak paten. Langkah nyata telah ia lakukan dengan merancang pulau terapung buatan Palm Islands di Dubai.


                                Palm Island Dubai-fwallpapers.com



Di Belanda, Olthuis yang dijuluki “Floating Dutchman” itu membangun The Citadel, kawasan pionir di atas air yang ramah lingkungan. Air dimanfaatkan sebagai pendingin alami dan bagian atap dilengkapi sel surya sebagai sumber energi listrik. Ada bangunan rumah kaca untuk tanaman sebagai sumber penghijauan. Tak hanya itu, ia juga menggarap sebuah proyek prestisius di Maladewa.



              The Citade, Floating Apartments in Europe-freshome.com 


Langkah itu juga menjadi jawaban atas semakin menyempitnya daratan dengan kian melonjaknya populasi penduduk. Apalagi, ruang tidak hanya untuk pemukiman semata, namun juga sebagai lahan tanaman.


Perkembangan kawasan terapung kian pesat. Arsitek lain, Marlies Rohmer telah merancang seluruh desa rumah terapung kontemporer di Steigereiland IJburg di Amsterdam yang dilengkapi dengan dermaga kapal. Sebuah pemukiman yang berbeda dan eksotik karena di atas air.


                  Steigereiland IJburg Amsterdam-http://www10.aeccafe.com


Ada pepatah asal Negeri Kincir Angin, God made the world, but the Dutch made Holland. Secara takdir Belanda memang berada di bawah laut, tetapi mereka mampu mengubah takdir menuju negeri di atas air.(***)


Referensi

1.            en.wikipedia.org
2.            http://www.reuters.com
3.            http://green.blogs.nytimes.com
4.            http://www.bbc.co.uk
5.            http://www.rnw.nl
6.            http://theglobaljournal.net
7.            http://howtospendit.ft.com
8.            http://www.pbs.org
9.            http://www.aquatecture.nl/
10.          http://www.utrecht.nl/




Minggu, 14 April 2013

Negara tak Hadir untuk Tasripin dan Ketiga Adiknya...




Sore Tugu Pancoran. Iwan Fals merekam seorang anak kecil bernama Budi yang kuyup menggigil. Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu, anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu, dipaksa pecahkan karang, lemas jarimu terkepal.

Tahun berganti, kisah Budi di Tugu Pancoran kini seakan kembali pada diri Tasripin, 13, di Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng). Dusunnya terpencil karena merupakan daerah paling terakhir di lereng sebelah barat daya Gunung Slamet. Jalannya hanya berupa tumpukan batu melewati hutan serta menanjak.

Sama dengan Budi, Tasripan, kini tak sempat nikmati waktu, demi ketiga adiknya yang harus ia hidupi. Di saat anak usia sebayanya belajar dan bermain di sekolah, Tasripin harus berangkat ke sawah. Dia memang sudah drop out saat kelas tiga SD karena tidak sanggup membiayai. Bahkan, hingga kini ia masih menunggak biaya pendidikan di SD kisaran Rp50 ribu hingga Rp100 ribu.

Tasripin juga masih harus berfikir untuk mengembalikan utang ke warung milik tetangganya mencapai Rp60 ribu. “Tidak apa-apa, nanti kalau sudah ada kiriman dari bapak atau saya ada kerjaan, pasti akan dibayar. Pemilik warung juga baik kok, tahu kondisi kami. Beberapa hari lalu, saya ikut kerja memanen padi, tetapi bayarannya 22 kilogram (kg) gabah, bukan uang,”kata Tasripin dengan bahasa Jawa Banyumasan.

Tak hanya dia yang sudah tidak sekolah, kedua adiknya juga mengalami nasib serupa. Dandi, 7, dan Riyanti, 6, tidak lagi menimba ilmu di sekolah. Hanya adik ragil, Daryo, 4, yang kini masih menjadi siswa PAUD di Dusun Pesawahan, tempat tinggalnya. Riyanti sebetulnya sempat masuk PAUD, tetapii lantaran diejek teman-temannya karena gatal-gatal di kepalanya, ia akhirnya mogok sekolah. Bahkan, sampai sekarang ia menggunakan jilbab penutup kepala dan tidak mau melepaskan.

Keempat bocah itu tinggal di sebuah rumah berpapan kayu dengan ukuran 5 x 6 meter (m). Hanya ada tiga ruangan, ruang tamu dengan kursi dan meja kayu lusuh, serta kamar tidur dengan satu dipan yang ditiduri mereka berempat, serta dapur. Mereka adalah anak-anak yang hidup tanpa orang tua. Ayahnya, Kuswito, 41, bersama kakak sulungnya, Natim, 21, telah berangkat kerja di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan sejak setengah tahun lalu. Ibunya, Satinah meninggal dua tahun silam dengan usia 37 tahun karena mengalami kecelakaan tertimpa batu saat menjadi buruh penambang pasir.

“Saya sebetulnya mau sekolah, meski sudah ketinggalan dengan teman-teman lain. Namun, kalau saya sekolah, adik-adik saya nanti makan apa? Sehingga saya setiap berusaha bekerja serabutan. Kadang menunggu sawah dan diminta orang untuk menggilingkan padi. Biasanya kalau giling padi, saya ,memanggul  gabah seberat 15-20 kg dengan jalan menanjak sepanjang 1 km. Untuk menunggu sawah selama sepekan, saya diberi Rp50 ribu, kalau menggilingkan gabah paling Rp10 ribu hingga Rp20 ribu,”kata Tasripin yang didampingi ketiga adiknya.

Selama ini, kata Tasripin, bapaknya juga mengirimkan uang untuk mereka berempat. Rata-rata kirimannya Rp500 ribu hingga Rp600 ribu. “Kalau kiriman datang, langsung untuk membayar utang. Untungnya ada warung yang mau memberikan pinjaman dulu. Biasanya beras sama bumbu. Beras sepekan butuh sekitar 15 kg untuk makan dua kali sehari. Kalau uang ada, biasanya pakai sayuran. Jika tidak hanya nasi campur garam,”ungkap Tasripin yang mengenakan baju batik lusuh berikut celana yang sudah sobek.

Tasripin mengungkapkan, selain harus kerja, setiap hari dia juga harus bangun pagi. Tugas utamanya adalah memasak nasi untuk sarapan. Setelah itu, memandikan Daryo, adiknya paling kecil untuk berangkat ke PAUD. “Kalau malam biasanya ada yang rewel, bahkan menangis. Apalagi, setelah ibu meninggal dan bapak berangkat kerja ke Kalimantan. Saat ini sudah agak lumayan, tidak seperti awal-awal bapak pergi,”ungkap dia.

Tangisan pada malam-malam semacam itu, justru membuat pilu tetangganya. “Kasihan sekali mereka, masih kecil-kecil sudah harus hidup sendiri. Kadang kami trenyuh, apalagi kalau tengah malam,”ungkap tetangga  dekatnya Salimudin, 48.

Keluarga Salimudin yang membuka warung itulah yang mencukupi terlebih dahulu kebutuhan Tasripin dan adik-adiknya. “Ya, kadang mereka utang terlebih dahulu kalau kirimannya belum sampai. Ya, biasanya utang berkisar antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribu. Tidak apa-apa, kalau tidak diberi pinjaman dulu, mereka mau makan apa. Makanan terenak yang biasa mereka nikmati adalah masak mi instan dengan nasi. Jika sudah mulai kurang duitnya, memasak sayuran yang ada di sekitar rumah seperti daun singkong,”kata Salimudin.

Kisah Tasripin adalah potret buram kepedulian negara terhadap rakyatnya. Padahal, sejatinya negara telah diberi amanah untuk bertanggung jawab dan memelihara fakir miskin dan anak-anak telantar. Tetapi entah kenapa, negara tidak hadir di sana....(liliek dharmawan)

Senin, 08 April 2013

Perintis Pendidikan di Kampung Laut




 
Usianya telah menginjak 48 tahun. Tetapi langkah kakinya yang hanya beralaskan sandal jepit masih cepat melewati jalanan tanah yang becek dengan lebar 1 meter. Di kanan kiri jalan merupakan air payau yang ditumbuhi hutan mangrove. Ia menjinjing tas berisi alat tulis-menulis. Tak lupa, perempuan itu juga membawa payung kalau sewaktu-waktu hujan. Sebab, perjalanannya cukup jauh, sekitar 7 kilometer (km) dari rumahnya menuju sebuah SD filial di Dusun Pesuruhan, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) yang masih menumpang di rumah penduduk.


Saban hari sekitar jam 05.00 WIB, perempuan bernama Wartati itu sudah bangun dan menyiapkan sarapan. Dia berangkat dari rumahnya jam 06.00 maksimal pukul 06.30 WIB agar tidak terlambat sampai sekolahnya. “Di sini daerah terpencil, lingkungannya laguna Segara Anakan, sehingga tidak ada ojek apalagi angkutan umum. Untuk mengajar ke SD Negeri Ujung Alang 01, saya harus jalan kaki. Jika kondisi tidak memungkinkan, biasanya naik perahu. Sewa perahu mahal, sekali jalan Rp20 ribu,”kata Wartati.


Sebagai sebuah daerah terpencil yang dikelilingi laguna dan laut, memang hanya ada dua moda transportasi, motor dan perahu compreng. Wartati tidak memilih keduanya. Jalan kaki menjadi pilihannya. Pertimbangannya sederhana, jika naik perahu compreng, maka honor inti bulannya hanya cukup untuk 10 kali ke sekolah.Perahu compreng dipilih saat hujan deras turun. “Kalau hujan deras pada pagi hari atau siang, jalan kaki terlalu berisiko.  Kondisi jalan terlalu licin apalagi kalau datang rob ada beberapa titik jalanan yang terendam air,”ujarnya.


Wartati memulai kiprahnya di Kampung Laut berawal setelah lulus dari Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA). Dia bersama suaminya menetap di Ujung Alang tahun 1984. Waktu itu, suaminya menjadi petugas penyuluh lapangan (PPL) pertanian. Pada awal menetap di tempat tersebut, ia kaget karena meski berada di Kabupaten Cilacap, tetapi Kampung Laut daerahnya terpencil dan sulit dijangkau. Bisa dimaklumi sebab wilayah setempat merupakan daratan bentukan dari hasil sedimentasi di Segara Anakan. Kini, desa tersebut telah menyatu dengan Pulau Nusakambangan. Untuk sampai ke Kampung Laut kalau dari Cilacap, satu-satunya akses hanyalah dengan menggunakan perahu compreng dengan waktu tempuh 2  jam perjalanan.


Meski di lokasi terpencil, mau tidak mau harus betah, karena suaminya ditugaskan di tempat itu, mau tidak mau ia harus tetap bertahan dan berusaha betah. Tahun demi tahun berganti, tidak terasa 5 tahun Wartati telah tinggal di kawasan itu. Anaknya juga mulai besar dan seharusnya bersekolah di Taman Kanak-kanak (TK). Ironisnya, di sekitar itu tidak ada sekolahan. Kalau akan dititipkan kepada orang tuanya atau sekolah di Cilacap rasanya tidak mungkin. Terlalu repot.


Sebagai jalan keluarnya agar anaknya bersama anak-anak lain yang sebaya bisa bersekolah, maka dia memberanikan diri untuk terjun dalam dunia pendidikan. Apalagi ketika itu, di desa setempat  lulusan tingkat SMA hanya dirinya dan suaminya. Tekadnya membuka TK dan menjadi pengajar anak-anak direspons oleh Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial (YBKS) Surakarta. Yayasan tersebut memberikan beasiswa untuk mengikuti kursus pengajaran tingkat TK.


Berbekal pengetahuan itulah, dia kemudian membuka TK di Desa Ujung Alang. Siswanya adalah anak-anak usia sekitar 5-6 tahun di desa setempat. Dia juga harus merelakan sebagian rumahnya untuk menjadi TK. Ternyata, inisiatif yang dilakukan Wartati mendapat sambutan hangat dari masyarakat setempat. Atas kepercayaan itu, memotivasinya untuk serius mengajar.  Bahkan, setelah berjalan dan siswa harus melanjutkan ke SD, Wartati diminta warga agar membuka SD. “Saya kemudian konsultasi dengan Dinas Pendidikan Cilacap, apakah memungkinkan membuat SD rintisan untuk daerah ini, ternyata jawabannya membuat saya lega. Dinas mengizinkan,”kata perempuan yang lahir 16 Mei tersebut.


Lokasi sekolah tetap rumahnya, jadi yang dulunya TK kini berubah menjadi SD. Sarana belajar seperti mendapat bantuan dari YBKS. Siswanya cukup banyak, ada 48 anak. Awalnya, para siswa mengikuti pelajaran dengan duduk lesehan. “Beruntung kemudian, Pemkab Cilacap mulai membangun sekolah tahun 2001 di Ujung Alang tidak jauh dari rumah saya,”kisahnya.


Selama empat tahun, ia mengajar sendirian. Caranya, waktunya yang dibedakan. Untuk kelas 1 dan 2 jadwal pelajarannya jam 08.00 hingga jam 10.00 WIB, kemudian disusul kelas 3 dimulai jam 10.00 hingga jam 12.30 WIB. “Seluruh mata pelajaran dan seluruh siswa, saya yang mengajar. Apa boleh buat, karena memang tidak ada guru lainnya,”katanya.


Tahun 2005/2006, SD Negeri 01 Ujung Alang tempat ia mengajar dipindahkan ke Dusun Pesuruhan yang lokasinya sekitar 7 km dari rumahnya. Sebab, di daerah setempat banyak anak-anak yang akan bersekolah, tetapi harus ke Motehan atau ke Lempong Pucung. “Sedangkan gedung SD yang dekat dengan rumah saya dijadikan SD Negeri 03 Ujung Alang. Karena saya memang sudah telanjur mengajar di SD 01, maka ketika pindah, saya juga ikut pindah mengajarnya. Mulailah saya berjalan kaki kalau ke sekolah. Lebih baik saya yang jalan kaki daripada siswa yang harus jalan dari Pesuruhan hingga sekarang,”ujarnya.


Sebagai SD filial, SD Negeri 01 Ujung Alang hingga sekarang menumpang di rumah penduduk yang berukuran sekitar 5 x 10 meter. Karena gedung sekolah belum dibangun. Di sekolah setempat, kini hanya ada dua kelas yakni kelas 1 dan 2 dengan pengajar dua orang. Kondisi serba terbatas tidak menyurutkan siswa tetap untuk bersekolah. Motivasi siswa itulah yang juga memompa semangat bagi Wartati untuk mengabdikan dirinya sebagai guru sekolah.  Walaupun hingga kini statusnya tetap sama. Sebagai guru honorer dan non sertifikasi.


Honor Pas pasan


Wartati sadar kalau pendidikannya menjadi salah satu ganjalan untuk menjangkau karir sebagai guru. Misalnya diangkat menjadi PNS atau mendapat tunjangan sertifikasi. Tetapi kecintaannya pada dunia pendidikan membuat angan-angan muluk dibuangnya jauh-jauh.


“Saya kan hanya lulusan SPMA, jadi wajar saja kalau hanya sebagai guru honorer. Pendapatan sebagai guru honorer lumayan, Rp200 ribu per bulan. Tetapi setiap tiga bulan ada insentif dari pemkab dan pemprov. Biasanya per tiga bulan dari pemkab tambahannya Rp1,4 juta dan dari Pemprov Jateng Rp950 ribu. Kalau dirata-rata per bulan sekitar Rp950 ribu,”jelasnya.


Bagi Wartati, honor pas pasan tidak menjadi masalah, meski dia menjadi perintis pendidikan di Lempong Pucung. Bagi Wartati keterpanggilan mencerdaskan anak-anak di daerah terpencil menjadi tujuan utamanya. “Anak-anak di sini juga berhak mendapat pengajaran agar tidak ketinggalan dengan anak-anak yang ada di kota atau wilayah yang gampang dijangkau,”kata ibu dua anak tersebut.


Konsistensi dalam dunia pendidikan juga tampak pada kerelaannya menjadikan rumah pribadinya untuk tempat sekolah dari dulu hingga sekarang. “Saat ini, rumah saya digunakan tempat pendidikan anak usia dini (PAUD) bagi anak-anak di dusun ini. Makanya, di depan rumah ada tempat bermain. Meski sangat minim fasilitas, tetapi setidaknya anak-anak balita mulai diberi pendidikan. Pokoknya, jangan sampai mereka tidak mengenyam pendidikan, karena dengan bekal pendidikan, masa depan mereka bakal lebih baik,”tandasnya.(liliek dharmawan)