Mengagetkan. Ternyata, setelah dilakukan penelusuran di daerah aliran
sungai (DAS) Sungai Klawing di sekitar Kecamatan Bobotsari, Purbalingga,
Jawa Tengah (Jateng) ternyata menemukan berbagai jenis batu mulia.
Bagi warga setempat, batu-batu yang ditemukan mahasiswa itu biasa saja,
mereka menyebutnya sebagai Nogo Sui. Namun, setelah diteliti lebih
mendalam oleh pakar batu mulia, Nogo Sui adalah batu yang dikenal di
Perancis dengan nama Le sang du Christ atau batu darah Kristus.
Batu itulah yang juga disebut sebagai Heliotrope yang biasanya digunakan
untuk mempelajari pergerakan matahari. Dalam dunia batu mulia, batu
tersebut juga biasa disebut Blood Jasper. Batu itu berwarna hijau dengan
bintik-bintik kemerahan. Selain itu, juga ada batu mulia yang disebut
dengan Jasper Kalsedon yang berwarna kemerahan.
Batu-batu mulia itu tidak hanya ditemukan di DAS Klawing, namun juga
berada di sawah-sawah. Misalnya di Desa Dagan, Kecamatan Bobotsari. “Kalau
cuma batu seperti itu, di sini sangat banyak. Saya juga tidak tahu kalau
itu ternyata batu mulia,”kata Darsun, 46, penduduk setempat.
Namun, bagi Sudjatmiko, Sekretaris Jenderal Masyarakat Batu Mulia
Indonesia, penemuan itu amat berarti. Karena ternyata selain batu-batu
yang ditemukan di sekitar DAS Klawing tidak sekadar sebagai batu mulia
yang tentu bernilai ekonomis tinggi. Tetapi lebih dari itu, batu-batu
mulia yang ditemukan tersebut mencerminkan peradaban manusia zaman purba.
Sebab, batu-batu mulia yang warnanya menyejukkan itu tidak hanya berbentuk
alamiah, namun telah ada yang dimodifikasi. Sehingga, sebagian di
antaranya memang sudah merupakan artefak.
Sudjatmiko yang juga dosen tamu Institut Teknologi Bandung (ITB) dan dosen
luar biasa Geologi Unsoed Purwokerto menyatakan setelah mengambil sampel,
ternyata ada batu-batu yang terpotong. Setelah diteliti lebih lanjut,
Sudjatmiko menemukan kemiripan satu sama lainnya. Bentuk yang terbanyak
seperti kapak perimbas atau disebut chopper dan kapak penetak atau
chopping.
Ekskursi lapangan ke kawasan DAS Klawing dan beberapa tempat di
sekitarnya, ternyata juga menemukan serpihan batu-batu kecil dan sisa-sisa
gelang yang diperkirakan dari budaya Neolithikum. Bahkan, kalau dilihat
dari bentuk kapak perimbas dan penetak yang begitu sederhana, kemungkinan
dari budaya Paleotilikum.
Contoh-contoh peralatan zaman Neolithikum yang biasa disebut zaman batu
muda sebetulnya peralatannya sudah cukup sempurna karena sudah diasah,
sehingga terlihat indah. Dari budayanya, mereka sudah tinggal dan bercocok
tanam. Bukti peralatan pada masa itu telah diperoleh di sejumlah tempat di
Indonesia, misalnya kapak persegi di Bogor serta ada juga gelang dan
cinton yang tersebar di beberapa daerah di Jawa.
Namun, bagi Sudjatmiko, yang lebih mengherankan adalah, kenapa peralatan
batu manusia prasejarah itu sangat banyak. “Jika itu karena proses erosi
dan pelapukan, rasanya tidak mungkin sampai menghasilkan produk gravels
yang beberapa bagiannya terpangkas sempurna,”ujar Sudjatmiko.
Dari beberapa penemuan itu, Sudjatmiko mengatakan kalau di wilayah
Purbalingga merupakan “pusat industri” peralatan zaman prasejarah. “Bisa
dibayangkan, batu-batu yang bisa disebut artefak karena telah dimodifikasi
itu juga ditemukan di sawah-sawah. Para mahasiswa menemukan tersebar di
berbagai tempat. Apakah mungkin, begitu banyak peralatan perdaban saat itu
hanya dipakai sendiri, atau sudah di sini merupakan bengkelnya dan
didistribusikan ke daerah lainnya. Barangkali ada hubungannya, ketika ada
penemuan peralatan semacam itu di Kebumen, sedangkan di tempat itu tidak
ada batu yang seperti ditemukan di Purbalingga,”jelasnya.
Dalam penelusuran lainnya, mereka juga menemukan adanya sisa pembuatan
gelang yang biasa dipakai oleh manusia purba. Sejumlah batu yang merupakan
buangan dari gelang manusia purba tidak dalam kedalaman tanah, melainkan
teronggok begitu saja di sawah-sawah dan sungai. “Dengan adanya penemuan
limbah gelang itu, sangat mungkin kalau di sini dulunya merupakan industri
batu zaman purba. Karena jumlahnya memang sangat banyak,”katanya.
Bukti-bukti peradaban prasejarah yang ada di Purbalingga tidak hanya itu.
Di beberapa tempat, misalnya, di Desa Dagan dan Limbasari, Kecamatan
Bobotsari, ditemukan sejumlah bukti zaman megalithikum atau disebut zaman
batu besar. Di antaranya yang sampai sekarang dipelihara oleh penduduk
setempat adalah Menhir. Salah satu Menhir berada di pelataran rumah Midun,
42. “Saya sudah lama mengurus Menhir yang berada di tempat ini. Ada juga
beberapa Menhir yang berada di tempat lainnya,”ujarnya.
Dalam beberapa riset, salah satunya oleh Arkeolog Nurul Laili menyebutkan,
kalau di Purbalingga ditemukan setidaknya 15 situs perbengkelan batu
prasejarah yang tersebar di Sungai Klawing dan anak-anak sungainya.
Dosen Jurusan Geologi Unsoed Purwokerto Siswandi mengatakan bahwa penemuan
berbagai batu-batuan yang berserakan di DAS Klawing dan sekitarnya di
Purbalingga memang membuat mata terbelalak. “Namun, ini kan baru penemuan
batu saja. Sehingga para arkeolog bisa menindaklanjutinya. Karena tidak
mungkin kami tahu, zona utamanya sebetulnya di mana. Di sinilah peran para
arkeolog untuk memetakannya. Apalagi sebetulnya sudah banyak riset yang
digelar oleh arkeolog,”ujarnya.
Sudjatmiko menjelaskan pihaknya baru menggagas pertemuan antara para
arkeolog dengan para geolog untuk saling sharring untuk menindaklajuti
penemuan “harta karun” tersebut.(liliek dharmawan)
1 komentar:
Mantep bos artikele, kiye pamer koleksi akik klawing mbok pada minat... http://akikklawing.com/
Posting Komentar