Minggu, 24 Maret 2013

Kampung “Open Source” di Ujung Lereng Gunung


Letak Desa Melung sekitar 15 kilometer (km) dari Purwokerto, ibu kota Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah (Jateng). Desa itu cukup terpencil. Berada pada ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut  (mdpl) dan menjadi kampung paling ujung lereng sebelah selatan Gunung Slamet. Jalannya memang beraspal namun lebarnya hanya sekitar 2,5-3 meter (m). Hanya sesekali angkutan pedesaan (angkudes) yang lewat, sehingga kebanyakan warga memilih jalan kaki untuk menuju jalan besar kalau ingin ke kota. Jaringan telepon juga baru masuk di bagian paling depan wilayah kampung setempat.

Tetapi, kondisi geografis tidak membuat mereka gagap teknologi. Bahkan, perangkat desa telah 8 tahun meninggalkan mesin ketik untuk melayani warganya mengurus surat-surat. Pemerintahan desa setempat masuki era komputerisasi.  Ada lima komputer PC dan dua laptop yang dipakai untuk melayani masyarakat yang dibeli mandiri.

Untuk mengurus surat-surat, warga tidak perlu lagi menulis dengan tangan nama, tanggal lahir dan lainnya. Seluruh data telah masuk ke dalam database komputer di desa  setempat. “Kalau ada yang ingin mengurus surat-surat, kami hanya minta nomor KTP. Begitu dimasukkan akses nomor KTP, sudah akan muncul database, mulai dari tanggal kelahiran, nama keluarga dan anak-anaknya. Karena  program komputer di desa ini telah dirancang khusus dengan berbasis  data kartu keluarga,”ungkap Kepala Desa (Kades) Melung Budi Satrio.

Tidak hanya program komputer untuk menunjang birokrasi desa yang dikembangkan, tetapi sudah sampai pada teknologi informasi (TI). Seluruh komputer yang ada di kantor desa setempat telah terkoneksi dengan internet. Sebetulnya, jaringan telepon hanya sampai pada bagian depan desa. Namun, tak membuat mereka  kurang akal.  Di rumah yang kebetulan adalah rumah kades, dibuat alat agar jaringan internet bissa menjangkau kantor desa.

“Kalau saya sendiri yang memakai, tentu tidak ada gunanya bagi desa. Makanya, kemudian dibelikan alat agar jaringannya bisa WiFi sehingga dapat diakses oleh pengguna lainnya. Agar bisa diakses di kantor desa yang jaraknya sekitar 0,5 kilometer (km), maka digunakan antena. Jaringan internet itu juga ditembakkan ke SD Negeri Melung dan SMP Negeri 3 Kedungabanteng yang letaknya sekitar 1 km dari rumah saya. Jadi, selain untuk keperluan desa, jaringan internet juga dapat diakses dan menjadi pembelajaran bagi anak SD dan SMP di kampung yang jauh dari kota,”ujar Budi.

Manfaatnya, lanjut Budi, mulai terasa. “Kami mulai mengenalkan TI kepada perangkat desa. Sekarang hampir 95% sudah bisa menggunakan internet. Mereka mengunduh berbagai pengetahuan khususnya yang terkait dengan pertanian organik, karena warga di sini mengembangkan pertanian ramah lingkungan tersebut. Selain itu, kami juga terus membarui lewat website yang telah kami bikin. Dan masyarakat dapat mengakses segala bentuk informasi yang terkait dengan Desa Melung. Jadi, warga yang berada di perantauan bisa mengikuti perkembangan desa lewat dunia maya,”tambahnya.

Budi juga mengatakan tidak lagi menjadi “pencuri” perangkat lunak, karena mereka menggunakan perangkat lunak terbuka atau “open source”. Kelebihan dari “open source” salah satunya adalah tidak berbayar dan tidak lagi perlu repot untuk membawa komputeryang rusak programnya ke kota. “Sebab, sebelum menggunakan “open source”, setiap kali terkena virus atau rusak harus di-install ulang yang berarti menempuh jarak 15 km. Tapi itu cerita lalu, karena sekarang semua program bisa diakses secara pribadi dan cukup di sini saja,”katanya.

Desa Kembar

Inisiatif penggunaan TI desa berbasis “open source” baru sebagian diinisiasi oleh sejumlah desa. Selain Melung, desa lain yang menjadi kembarannya adalah Desa Mandala Mekar, Kecamatan Jatiwaras, Tasikmalaya, Jawa Barat. Secara geografis hampir sama, bahkan bisa dikatakan lebih sulit aksesnya, karena harus melewati lekuk-lekuk jalan di pegunungan. Sebelum tahun 2010, warga yang ingin mengakses internet harus berjalan sejauh 30 km. Saat sekarang sudah bisa di desa setempat, namun hanya di tempat-tempat tertentu seperti areal persawahan. Namun jangan ditanya kalau soal TI, mereka sudah mumpuni, bahkan secara rutin memperbarui  website resmi milik mereka.

Kepala Desa Mandalamekar, Yana Nopiadi, mengungkapkan TI telah mejadikan desa mereka terkenal, bahkan di dunia internasional. “Satu penghargaan internasional yang kami dapat adalah Seacologi Prize dari California, AS tahun 2011 ini yang diraih oleh warga bernama Irman Meilandi. Penghargaan itu adalah gerakan lingkungan menyelamatkan mata air yang didokumentaasikan dan diunggah di dunia maya, sehingga orang AS pun mengetahuinya. Kalau secara geografis desa kami sulit diitempuh, karena dari Tasikmalaya ke desa kami membutuhkan 3-4 jam perjalanan, bahkan kalau hujan bisa sampai 12 jam. Namun, ternyata dengan diitunjang TI, desa kami bisa dikenal dan memperoleh penghargaan dari AS,”jelas Yana saat ditemui di sela-sela pelatihan TI berbasis “open Soruce” untuk warga Desa Melung.

Dari sisi pembangunan, suara desa mulai didengar oleh kabupaten. Salah satu dampak positifnya adalah pada tahun 2012 ini jalan yang sudah rusak akan dibangun sepanjang 2,5 km berkat informasi dan usulan yang diunggah melalui website. “Pengembangan ini juga menjadi inspirasi bagi desa-desa lainnya di Tasikmalaya. Kami juga mampu memberi informasi mengenai potensi-potensi di Desa Mandalamekar. Dengan adanya website itu juga memacu kami untuk dapat menulis, meski sederhana,”tambahnya.

Kedua desa tersebut didampingi oleh BlankOn Jakarta yang menyediakan perangkat lunak secara gratis. “Kami terus mendorong mereka untuk memanfaatkan perangkat lunak yang gratis. Karena lebih irit, dan jangan sampai menggunakan software bajakan sebagai bagian dari konsistensi ketaatan aturan. Dengan adanya perangkat lunak gratis, maka sangat menghemat anggaran. Bayangkan saja, satu PC misalnya untuk dapat meng-install lengkap program membutuhkan dana tidak kurang dari Rp15 juta. Kalau memakai program “open source”, dana tersebut bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih mendesak,”kata Direktur Eksekutif BlankOn, Akhmat Safrudin.

Kedua desa ini mampu menunjukkan inisiasi dari bawah dengan teknologi informasi hemat biaya. Secara geografis, kedua daerah berada di pegunungan, tetapi tetap bisa menujukkan potensi dan prestasi desa lewat dunia maya. (liliek dharmawan)

Jumat, 01 Maret 2013

Selamatkan Lingkungan, Menuai Energi Terbarukan, Amankan Stok Pangan




HUTAN Krangean bagi Dusun Pesawahan, Desa Gununglurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) sebuah daerah yang keramat. Sudah ratusan tahun silam, masyarakat di tempat itu benar-benar menjaga hutan. Jangankan menebang, untuk masuk ke hutan setempat harus seizin dari tetua adat dusun tersebut.

Secara kultural, mengeramatkan daerah itu bukanlah sesuatu hal yang menyimpang, justru sebaliknya menjadi kearifan lokal yang dilestarikan sejak ratusan silam. Karena memang Krangean merupakan bagian tak terpisahkan bagi mereka. Krangean merupakan sumber mata air yang tak pernah habis, bahkan saat puncak kemarau. Airnya bening mengalir dan menyejukkan daerah itu.

Di kawasan hutan Krangean, ada lima titik mata air alami. Tiga di antaranya dinamakan Mengaji, satu mata air diberi nama Sangkalputung dan yang terbesar adalah Krangean. Kelima mata air itu tidak  hanya memberikan pasokan untuk kebutuhan air minum di rumah-rumah warga. Aliran airnya juga dimanfaatkan warga untuk mengairi sawah. Bahkan, digunakan sebagai energi listrik melalui pembangkit mikorhidro.

Sumber mata air itu debitnya tetap tinggi karena lingkungan sekitarnya yang merupakan hutan lindung tetap tepelihara dengan baik. Pepohonan besar seperti jenis Ingas dan Taon dengan keliling 2-4 meter tetap dijaga supaya tidak ditebang oleh penduduk lokal maupun warga di luar dusun setempat. “Masyarakat di sini memang mengeramatkan daerah Krangean. Jangankan menebang pohon, untuk masuk ke daerah sumber mata air itu saja harus meminta izin,”jelas tetua masyarakat setempat Ali Sahudin.

Masyarakat setempat bersepakat, kalau keberadaan hutan Krangean harus terus dipelihara. Pemeliharaannya sederhana. Hanya menjaga agar hutan tetap lestari, tidak ada penebangan. Bahkan, masyarakat setempat kalau mencari kayu bakar tidak akan berani sampai ke daerah “keramat” tersebut. Mereka memilih untuk mencari kayu bakar di lokasi lainnya.

“Masyarakat sadar, kalau hutan rusak, maka segalanya bakal hancur. Hutan yang rusak, dipastikan akan membuat mata air jadi mengering. Jika mata air mengering, jelas masyarakat bakal kesulitan air bersih. Selain itu, dipastikan juga listrik tidak akan menyala. Sawah-sawah juga tidak dapat menghasilkan padi. Kami tidak bisa membayangkan kalau itu terjadi,”katanya.

Jauh sebelum pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) tahun 2010 lalu dengan kapasitas 25 kilowatt (KW), mereka sebetulnya telah mampu memanfaatkan aliran Sungai Mengaji untuk menggerakan turbin. “Puluhan tahun lalu, kami menikmati listrtik dari turbin-turbin kayu yang dibuat masyarakat. Bahkan, sampai sekarang, masih ada warga yang memanfaatkannya untuk menambah pasokan listrik sendiri,”jelas Kepala Dusun Sawahan Warsito.

Ide itu muncul ketika itu, karena jaringan listrik PLN tidak sampai ke wilayah setempat. Sebab, daerah itu memang agak sulit lokasinya, karena berada di pegunungan dengan jalanan menanjak. Jadi di sepanjang aliran Sungai Mengaji, berjajar turbin-turbin dari kayu. Saat sekarang memang tidak sebanyak dulu, setelah PLTMH yang juga memanfaatkan aliran Sungai Mengaji dibangun oleh pemerintah.

Warga setempat juga tidak egois, karena masyarakat setempat berusaha agar aliran air dari dusun setempat turun ke bawah agar banyak daerah yang teraliri. Sebab, aliran air dari sungai di desa tersebut dimanfaatkan oleh petani di wilayah bawah Dusun Pesawahan. Ada ratusan bahkan ribuan hektare (ha) sawah yang menggantungkan air dari Sungai Mengaji. “Karena itulah, masyarakat di sini juga berusaha untuk terus mengalirkan air ke wilayah bawah. Jangan sampai petani mengeluh karena air tidak ada,”jelas Warsito.

Kearifan lokal yang tetap dipertahankan oleh warga Dusun Pesawahan sesungguhnya sangat penting bagi penyelamatan lingkungan. Meski mereka hanya berpatokan pada kearifan lokal yang dilestarikan turun temurun. Kegiatan menjaga hutan di wilayah itu menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan untuk mengurangi pemanasan global. Hutan tropis yang bagus tentu akan menjadi benteng yang kokoh penyerap karbon.
Di sisi lain, dengan menyelamatkan lingkungan, warga setempat juga menuai energi terbarukan yang digadang-gadang oleh masyarakat dunia sebagai energi masa depan. Sebab, energi terbarukan dengan memanfaatkan aliran Sungai Mengaji tidak menghasilkan produk limbah pemanasan global. Sebuah aksi tersembunyi yang barangkali masyarakat setempat juga tidak menyadari.

Inilah gerakan-gerakan yang bisa menjadi inspirasi masyarakat dunia, hanya dengan mempertahankan kearifan lokal. Mereka telah membangun masa depan dunia, dengan aksi lokal sederhana. Langkah-langlah semacam ini, juga diinisiasi oleh lembaga-lembaga non pemerintah seperti halnya Oxfam. Oxfam adalah konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan.

Langkah Oxfam seiring dengan upaya penyelamatan lingkungan yang dilaksanakan oleh warga Pesawahan. Kearifan mereka tidak saja mampu menghasilkan energi terbarukan yang secara otomatis mampu menekan konsumsi energi fosil yang kian menipis. Dari lingkungan yang masih dipertahankan tersebut, mereka juga tetap bisa mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri.

Sebab, dengan mengalirnya air sepanjang tahun, warga setempat tidak pernah mengalami kekurangan air pada masa kemarau, sehingga setiap saat ada saja padi yang dipanen. Apalagi, mereka juga memiliki kebiasaan untuk menyimpan padi untuk mencukupi kebutuhan sendiri.

Warga Pesawahan terus berusaha bertahan, menyelamatkan lingkungan, menuai energi terbarukan dan stok pangan tetap aman. (liliek dharmawan)