Rabu, 04 Mei 2011

Nasib Penderes Nira tak Semanis Gula Kelapa





Hari itu cukup kelabu. Meski jarum jam baru menunjukkan pukul 08.00 WIB, namun terik matahari belum terlalu terasa karena dihalang-halangi awan. Keringat sudah mengalir deras di tubuh Mahwari. Karena ia baru saja selesai naik pohon kelapa untuk mengambil pongkor yang telah dipasangnya sejak sore hari sebelumnya. Apalagi, sebetulnya ia sudah cukup umur karena usianya menginjak 65 tahun.

Ia membawa dua pongkor yang terbuat dari batang pohon bambu yang diikat dengan tali dan dililitkan di pinggangnya. Hanya kurang dari lima menit, ia sudah sampai di pohon kelapa yang tingginya sekitar 10 meter. Pongkor yang telah diletakkan sejak sore lalu kemudian dibawa ke bawah, sementara dua pongkor yang dibawanya menggantikan pongkor yang sudah terisi air nira.

Hanya dalam waktu kurang dari 10 menit, pekerjaannya selesai. Kemudian ia membawanya ke bawah. Pekerjaan itu dilakukan ke pohon-pohon kelapa lainnya. Kalau sudah selesai semuanya, dia membawa pongkor-pongkor yang telah terisi nira ke rumahnya dengan cara dipikul.

Jaraknya tidak terlalu jauh dengan rumahnya, hanya beberapa ratus meter saja. Sesampai di rumahnya di Desa Pegeraji, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, isterinya, Lasminah, 60, telah siap dengan tempat masak air nira berupa wajan besar. Ia mengambil kayu bakar yang diletakkan di papan bambu yang ada di bawah atap rumah yang berdinding anyaman bambu tersebut. Tanpa alas kaki, karena lantainya dari tanah, Lasminah bolak balik menyiapkan pongkor-pongkor yang berisi nira tersebut. Air nira dimasukkan ke dalam wajan besar dan dipanaskan dalam berjam-jam untuk mendapatkan air gula kelapa yang kemudian dimasukkan ke dalam cetakan gula kelapa atau gula Jawa.

Begitulah yang dilakukan pasangan Mahwari dan Lasminah selama lebih dari 45 tahun silam. Sebuah pekerjaan yang tidak pernah ia tinggalkan karena memang tidak punya pilihan lainnya. “Saya sudah sejak usia 20 tahunan telah memanjat kelapa untuk mengambil nira dijadikan gula kelapa. Dulu, sewaktu masih kuat saban hari bisa naik sampai 60 pohon. Pada pagi hari 30 pohon dan sore harinya 30 pohon. Itu dulu, kini paling-paling hanya lima pohon, itu pun hanya membantu-bantu saja,”jelas Mahwari.

Pekerjaannya bukanlah tergolong ringan. Setiap hari, para penderes harus naik pohon kepala dengan ketinggian 10-15 meter. Risikonya sangat tinggi, kalau terjatuh, hanya dua dampaknya. Meninggal atau luka berat sehingga tidak bisa apa-apa selama hidupnya. Itu sudah menjadi cerita selama puluhan tahun dan masih terus bersambung entah sampai kapan.

Namun, cerita miris semacam itu tidak membuat ciut nyali para penderes. Tuntutan ekonomi keluarga, membuat mereka tetap menekuni pekerjaannya. Sama seperti halnya Mahwari dan Lasminah. Padahal, setiap harinya paling-paling hanya mampu membuat gula kelapa sekitar 5 kilogram (kg) dan dijual kepada juragan gula Rp6.000 per kg. “Itu bukan pendapatan bersih, karena masih harus dipotong dengan ongkos pembelian kayu bakar Rp10 ribu tiap harinya. Apalagi kalau nanti masih utang kepada juragan gula, hasilnya bisa lebih kecil lagi,”ujar Lasminah yang tidak mau mengaku berapa utang kepada juragannya.

Tetapi dari salah seorang juragan gula di Desa Pageraji, Dasirin, 53, terungkap, kalau kebanyakan memang para penderes punya utang kepada juragan gula kelapa. “Biasanya memang, seperti saya memberikan “modal” kepada para penderes sekitar Rp1 juta. Uang tersebut sebagai “tanda jadi” supaya hasil gula kelapa disetorkan kepada saya. Cara peluanasannya dengan memotong harga jual. Misalnya, kalau harga jual Rp7.000 per kg, maka penderes akan menerima Rp6.700 per kg. Itu terus dilakukan,”ujarnya.

Dasirin yang memiliki toko semabko di desanya juga mengatakan kalau para penderes yang menyetok gulanya kepada dia, bisa saja mengambil kebutuhan sehari-hari tanpa bayar terlebih dahulu. “Banyak dari mereka yang membutuhkan beras, minyak, teh dan kopi misalnya tinggal ambil dulu. Yang penting, gula hasil produksinya masuk ke sini, hanya itu syaratnya,”kata Dasirin.

Penderes memang tidak punya pilihan lain, kecuali ikut permainan dari para tengkulak yang berani memberikan modal terlebih dahulu. Para penderes memang sering menjadikan para juragan gula sebagai “bank” yang tidak terlalu rumit birokrasinya. Inilah yang membuat penderes sangat tergantung kepada para tengkulak.

Bahkan, beberapa kali mendampingi para penderes, pegiat LSM Babad Purwokerto, Tri Subekti Bayuaji, menemukan berbagai fakta kalau para penderes pun tidak terlalu sadar kalau ketergantungan mereka kepada para tengkulak akan mudah dipermainkan harganya. “Tetapi penderes tidak begitu saja dapat disalahkan. Bayangkan saja, mereka sangat terbantu ketika menjelang hajatan dan kekurangan uang, siapa yang membantu kalau bukan para tengkulak atau juragan gula tersebut. Memangnya ada orang yang dengan rela meminjamkan uang kepada mereka selain para tengkulak itu, jelas tidak ada,”kata Bayu.

Sehingga memang, rantai jaringan tengkulak di lingkungan penderes sulit diputuskan. Apalagi, sebagian besar penderes tidak menyadari kalau mereka sebetulnya terperangkap dalam lingkaran permainan para tengkulak. “Celakanya, para penderes tidak terlalu ambil pusing, bahkan sudah nyaman dengan kondisi semacam itu. Yang penting bagi mereka, kalau butuh uang tinggal bilang kepada para juragan. Bagi mereka juragan seperti pahlawan yang menyelamatkan. Padahal kalau orang luar menilai kan merupakan penciptaan lingkaran kemiskinan,”tambahnya.

Peneliti sosial dari Universitas Jenderal Soedirman Luthfi Makhasin menyatakan kalau juragan gula memang menjadi tumpuan utama bagi para penderes dan perajin gula kelapa. Para juragan gula di desa juga cukup pintar memanfaatkan situasi. Ia sengaja membuka toko sembako sebagai salah satu pengikatnya. “Tidak jarang, para penderes memenuhi kebutuhan dengan jalan utang kebutuhan mereka sehari-hari kepada para juragan yang memiliki toko sembako,”kata Luthfi.

Menurut Luthfi, hubungan antara penderes dengan juragan gula bisa digambarkan dalam dua ekstrem. Eksploitatif dan bisa juga saling menguntungkan. Eksploitatif karena juragan menjadi penentu satu-satunya dan mutlak harga dan kualitas gula yang dibawa penderes. Sangat jarang terjadi seorang penderes menerima penuh uang penjualan gulanya. Seorang penderes biasanya menerima penjualan gula setelah dikurangi bunga pinjaman yang dikenakan seorang juragan. “Di sisi lain, hubungan ini juga bersifat saling menguntungkan karena seorang juragan adalah juga kreditor yang sangat gampang bagi penderes dalam situasi darurat seperti hajatan, sakit, dan lainnya. Tanpa ada birokrasi yang rumit seperti yang ditawarkan dunia perbankan,”katanya.

Kelabu pada siang hari itu bagai potret buram yang dialami oleh penderes selama berpuluh-puluh tahun. Itu juga berlaku Mahnari dan Lasminah yang senasib dengan tokoh Darsa yang digambarkan dalam novel Bekisar Merah karya budayawan Banyumas Ahmad Tohari. Darsa di dalam novel itu benar-benar nyata dalam keseharian para penderes yang kini jumlahnya mencapai 32 ribu penderes di seluruh Banyumas. Mahnari dan Lasminah yang tak kunjung terlepas dari kemiskinan tak mereka rasakan, tampaknya bakal berlanjut dan diikuti anaknya. Sebab, anaknya Slamet Budi Utomo yang kini berusia 21 tahun memutuskan untuk mengikuti jejak bapaknya. Maklum, pendidikannya hanya sampai SMP karena tidak ada biaya melanjutkan. Apakah garis hidupnya akan sama dengan bapaknya yang memulai menderes sejak usia 20 tahun? Entahlah....(liliek dharmawan)

1 komentar:

War Thepowered BeHeroes mengatakan...

inyong banget kuee,,,, broo ?