Jumat, 25 Februari 2011

Sisi Lain Kampung Laut





Inilah Kampung Laut, sebuah wilayah daratan yang terbentuk dari sedimentasi sejumlah sungai yang bermuara di Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. Mereka hidup di tengah-tengah hutan mangrove dan perairan Segara Anakan.

Kamis, 10 Februari 2011

Limbasari, Desa Batik di Perbukitan




Biasanya, sentra-sentra batik di Jawa berada di sekitar pusat pemerintahan atau pusat ekonomi. Namun tidak demikian halnya Desa Limbasari, Kecamatan Bobotsari, Purbalingga, Jawa Tengah. Kampung itu cukup jauh dari pusat Kota Purbalingga karena berjarak sekitar 15 km. Dari pusat Kota Kecamatan Bobotsari, letak Desa Limbasari haruslah melewati jalan masuk yang jaraknya sekitar 5 km. Jalannya naik turun, karena Limbasari berada di lereng timur Gunung Slamet.

Memasuki desa setempat, terlihat sejumlah warga duduk dengan kursi pendek yang terbuat dari kayu. Di depannya ada lain yang diletakkan pada sebuah tiang bambu. Para perempuan itu memegang canting yang setiap kali dicelupkan ke dalam wajan kecil berisi malam. Di bawah wajan kecil ada kayu dengan nyala api. Lalu tangan-tangan mereka melukiskan malam ke kain mori yang masih berwarna putih itu.

Pemandangan seperti itu umumnya berada di samping rumah. Mereka bergerombol tiga sampai lima orang. Di desa setempat, dari sekitar 698 keluarga, 500 di antaranya bisa membatik. Boleh dikatakan, batik tidak dapat dilepaskan dari keluarga di Limbasari.

“Beginilah kami kerja setiap harinya. Sudah puluhan tahun kami menjalani. Mulai dari membuat pola sampai membatik,”ujar Enmiyarti, Ketua Paguyuban Pembatik Putri Ayu, Desa Limbasari.

Kadang-kadang ia memang ikut membatik, apalagi kalau itu merupakan ide darinya. Sejak awal membuat pola sampai membatik, dia mengerjakan sendiri. “Namun, saya juga dibantu oleh tiga orang perempuan yang sejak lulus SMP sudah membatik. Sampai sekarang, mereka tetap setia dengan batik tulis. Karena di sini sebagian besar memang mengembangkan batik tulis,”kata Enmiyarti.

Ketekunan membatik tulis itu juga terlihat dari tiga orang pembatik yang tengah bekerja di samping rumahnya. Mereka adalah Marliah, 45, Sarohmi, 47, dan Kasipah, 47. Tangan-tangan mereka terlihat terampil menggoreskan malam di kain mori yang disampirkan pada tiang bambu di depannya. Sesekali mereka terlihat meniup canting karena supaya malam tidak mengeras.

“Biasanya, kami bekerja sejak pagi sekitar jam 08.00 WIB pagi sampai sore jam 15.00 WIB. Pekerjaan ini tidak harus sesuai dengan jam kerja, karena kalau ada kepentingan lain dapat ditinggalkan sementara. Sebab, bayarannya kan satu potong kain. Upahnya berkisar antara Rp35 ribu hingga Rp50 ribu setiap potongnya,”kata Sarohmi.

Enmiyarti menambahkan bahwa budaya batik di desanya sudah ratusan tahun silam, namun dia tidak dapat memastikan mulai tahun berapa. “Yang jelas, ketika saya masih kecil, banyak nenek-nenek yang masih membatik. Padahal, wakti itu saya belum bersekolah, sudah banyak yang membatik. Dulunya, mereka menyetorkan hasil batikan kepada juragan di Bobotsari. Yang pasti, sejak dulu sampai sekarang, di Desa Limbasari sebagian besar adalah batik tulis. Kalau memang ada batik cap, biasanya bukan pekerjaan orang Limbasari. Umumnya, batik yang telah dicap dibawa ke sini untuk ditambahi dengan batik tulis,”katanya.

Bahkan, di sini tidak ada proses pewarnaan, karena warga Limbasari hanya benar-benar khusus membatik tulis. Pewarnaan biasanya akan dikerjakan di Sokaraja, Banyumas. Setelah selesai, nantinya diambil lagi ke Limbasari untuk dijual. “Harga batik di sini berkisar antara Rp150 ribu hingga Rp300 ribu. Karena batik di sini tulis, maka kadang-kadang kami kewalahan menerima pesanan. Sebab, dalam satu bulan, misalnya, saya bersama tiga pembatik hanya mampu menghasilkan 20 potong kain batik,”katanya.

Meski demikian, hal itu tidak membuat mereka patah semangat, karena ada pendapatan yang diperolehnya untuk tambahan belanja keluarga.Kalau sekarang pemasaran sudah sangat terbuka lebar, apalagi pegawai negeri sipil (PNS) di Purbalingga sudah diwajibkan memakai batik sejak Kamis sampai Sabtu.

Yang justru jadi kendala, kata Enmiyarti, adalah sulitnya mencari tenaga kerja. “Bukan persoalan mereka tidak dapat membatik. Bukan itu. Karena sejak kecil, warga di sini sedikit banyak telah dilatih oleh orang tuanya membatik, sebab mereka punya peralatan di rumahnya masing-masing. Justru yang jadi kendala adalah alternatif pekerjaan lain. Misalnya menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri atau bekerja menjadi buruh pabrik rambut,”ujarnya.

Saat sekarang, banyak pabrik rambut yang mencari buruh di desa-desa untuk mengerjakan pembuatan bulu mata palsu. “Banyak dari warga yang lebih memilih itu, meski kadang-kadang tetap menerima pesanan batik. Selain itu, banyak dari generasi muda perempuan setelah selesai sekolah lebih memilih bekerja di luar negeri. Memang barangkali dari segi pendapatan, membatik kalah dengan pekerjaan menjadi TKW. Namun, kalau ditekuni terus, membatik juga menjanjikan pendapatan lumayan, apalagi kalau kualitas pembatikannya bagus,”ujarnya.

Kepala Desa Limbasari Agus M Tirtamenggala mengatakan boleh dikatakan kalau 70 persen lebih keluarga di desa setempat bisa membatik. Mereka juga memiliki peralatan seperti canting, wajan kecil dan tempat menyampirkan kain dari bambu. “Itu sudah terjadi ratusan tahun silam. Mudah-mudahan ini masih tetap bisa dipertahankan, meski saingannya adalah menjadi buruh bulu mata palsu atau berangkat ke luar negeri,”tambah Agus.

Menurutnya, Desa Limbasari memang cukup unik, karena desa yang jauh dari kota justru berkembang tradisi membatik. “Dari cerita para tetua di Limbasari, kemungkinan besar berkembangnya batik justru mulai terjadi ketika Belanda masih menjajah Indonesia. Para kesatria Kerajaan Mataram banyak yang melarikan diri, salah satunya ke Limbasari. Limbasari memang dipandang sebagai daerah terpencil, karena waktu itu harus menyeberang Sungai Klawing dengan jalan setapak yang menanjak. Itulah mengapa batik Limbasari bisa berkembang sampai sekarang ini. Meski memang, tidak ada catatan sejarah yang pasti soal asal usul batik di Limbasari,”ujarnya. (liliek dharmawan)

Benteng Nusakambangan yang Terabaikan





Pulau Nusakambangan di Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) sudah sejak lama dipandang sebagai pulau stragetis. Bagi pemerintah kolonial Belanda, pulau itu kemudian digunakan sebagai pulau penjara dengan didirikannya bangunan-bangunan tahanan. Selain itu, Belanda juga memanfaatkan Pulau Nusakambangan sebagai pulau pertahanan di Samudra Hindia.

Bukti itu tampak dari benteng-benteng yang dibangun di sebelah timur dan selatan pulau yang terletak di selatan Kabupaten Cilacap itu. Untuk mencapai bangunan benteng di Nusakambangan haruslah naik perahu compreng dan melintas di Segara Anakan sepanjang 2 kilometer (km) dan memakan waktu sekitar 15 menit. Setelah sampai di pantai Nusakambangan bagian timur, jalan kaki sekitar 1 km dengan menerobos hutan. Jalan setapak dengan lebar sekitar 1,5 meter tersebut hanyalah tanah dan di samping kanan serta kiri ditumbuhi pepohonan hutan yang cukup besar.

Setelah jalan sekitar 15 menit, sampailah pada gerbang benteng yang dulunya dibangun oleh pemerintahan Hindia Belanda. Tidak ada data pasti kapan benteng tersebut didirikan, namun kemungkinan besar tidak jauh berbeda tahun pembangunannya dengan Benteng Pendem di Cilacap. Bahkan, diyakini kalau sebetulnya Benteng Pendem di Cilacap berhubungan langsung dengan Benteng Nusakambangan dengan melalui lorong di bawah laut.

Benteng Nusakambangan benar-tergerus oleh alam. Bagaimana tidak benteng yang terlihat tidak terurus itu sudah ditumbuhi pepohonan hutan. Akar pepohonan bagai ular yang melilit bangunan benteng yang terbuat dari batiu bata itu. Beberapa sudutnya terlihat corat-coret dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

Pintu gerbang benteng terdiri dari sejumlah ruangan yang dulunya mungkin sebagai tempat penjagaan. Sama seperti benteng-benteng Belanda lainnya, pintu gerbang atas berupa setengah lingkaran yang dipadu dengan bentuk persegi panjang. Selepas pintu gerbang, ada pula benteng lainnya yang merupakan benteng pertahanan. Di benteng pertahanan ada ruangan-ruangan seperti kantor dan di tengahnya seperti aula. Ada pula benteng pengintai, sehingga kalau berada di benteng bagian atas, pandangan mata langsung lepas tertuju ke Samudra Hindia.

Rata-rata benteng tersebut telah ditumbuhi pepohonan yang akarnya melilit benteng. Sementara di kanan kirinya tumbuh semak belukar yang semakin menambah kesan angker pada benteng tersebut. Sementara di dalam benteng, beberapa tembok pemisah ada yang sudah hancur separuh. Tetapi satu hal yang sama, bangunan benteng benar-benar terlihat kokoh meski telah ditelan zaman sampai ratusan tahun.

Benteng itu memang tidak terurus, terabaikan. Sebab, sampai sekarang tidak ada satu otoritas pun yang memeliharnya. Secara administratif benteng itu memang berada di Nusakambangan yang notabene wilayah Kabupaten Cilacap. Tetapi, kewenangan terhadap pulau itu berada di Kementrian Hukum dan HAM. Praktis, sejauh ini tidak ada upaya untuk memelihara bangunan bersejarah itu.

Hingga akhirnya tahun 2005 lalu, seorang warga yang bermukim di Pulau Nusakambangan Timur, Mardiyono, 56, mengajukan diri untuk mengelola benteng-benteng tersebut. Salah satunya adalah membersihkan benteng dan menarik retribusi para pengunjung yang datang. “Benteng-benteng yang dekat dengan Pantai Karangbolong, Nusakambangan cukup banyak. Ada benteng pertahanan, pengintaian, bahkan ada pula benteng yang di dalamnya digunakan untuk RS. Sebetulnya benteng-benteng yang dibangun Belanda cukup banyak, hampir mengelilingi Pulau Nusakambangan terutama bagian timur dan selatan sampai ke barat,”katanya.

Kebanyakan, keberadaan benteng tidak terurus, karena memang tidak ada lembaga atau instansi yang menaruh perhatian. “Benteng yang saya urusi itu hanya bagian kecil dari benteng-benteng yang dibangun Pemerintahan Belanda. Namun, pemeliharaan yang saya lakukan hanya sebatas membersihkan benteng terutama bagian dalam. Nyatanya, setelah dibersihkan banyak yang datang ingin melihat benteng. Rata-rata per bulan ada 500-600 pengunjung dengan retribusi masuk Rp3.500 per orang,”jelasnya.

Apa yang dilakukan Mardiyono pantas dipuji, karena sejauh ini tidak ada instansi yang menaruh perhatian pada benda peninggalan Belanda yang bernilai historis tersebut. Entah sampai kapan benteng-benteng itu terabaikan. (liliek dharmawan)