Kabut putih tebal telah turun. Barisan yang terdiri dari
lima orang itu menembusnya. Dengan celana panjang, sepatu boot, jaket mereka
berjalan. Dari caping yang dikenakannya, orang bisa memastikan jika rombongan
itu adalah petani yang akan ke ladang di kawasan Dieng, perbatasan antara
Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah (Jateng).
Tak lama setelah sampai di ladang, mereka mulai beraktivitas
di daerah dengan ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl)
tersebut. Crok...crok...crok...cangkul diayunkan. Sekali, dua, ketiga. Pada
cangkulan yang ketiga itu, petani tersebut berhenti mencangkul, karena ada
benda keras yang beradu dengan cangkulnya. Cangkul diletakkan dan tangannya
mulai meraba ke dalam tanah dengan kedalaman 30 sentimeter (cm). Ternyata, ia
mendapatkan batu yang terukir. Tidak salah, itu adalah bagian dari candi. Ia
kemudian melaporkan ke Museum Kailasa Dieng.
Tidak hanya sekali atau dua kali petani mendapatkan
bongkahan batu yang ternyata merupakan bagian dari mahakarya masa lalu. Bahkan,
hingga kini di Museum Kailasa menyimpan tidak kurang dari 300 bagian candi
seperti arca dan batu berukir. “Sering sekali petani menemukan benda-benda
purbakala yang tercecer di sekitar Dieng. Kami juga yakin, kalau masih banyak
benda-benda bersejarah yang tertimbun di dalam perut bumi,”kata Alif Rahman,
Ketua Masyarakat Pariwisata Dieng.
Menurutnya, banyaknya penemuan membuat gudang di Museum
Kailasa tidak mampu menampungnya. Bahkan, ada benda-benda purbakala yang
diletakkan di bagian teras. “Meski sudah banyak ditemukan, namun sebenarnya di
dalam perut bumi diduga lebih banyak lagi,”ujarnya.
Gunung Purba
Dieng yang arti katanya tempat persemayaman dewa, sejatinya
merupakan sebuah kaldera gunung api purba. Peneliti gunung api John Seach yang
telah 24 tahun berkeliling ke gunung-gunung api di seluruh dunia, menyebutkan
dalam situsnya Volcanolive.com, jika Dieng pernah mengalami erupsi yang
didominasi letusan freatik sejak 1375, 1450, 1786, dan 1776 sebelum ditemukan
tahun 1814. Erupsi di kawasan Dieng umumnya adalah erupsi dengan mengeluarkan
abu dan pasir dan menutup kawasan setempat.
Kawasan Dieng Plateau memiliki 14 km dan lebar 6 km. Dari penelitian
para ahli geologi, Dieng terbentuk dari gunung api purba yang mengalami
dislokasi. Pada bagian yang amblas, kemudian muncul sejumlah gunung di
antaranya adalah Gunung Pakuwaja, Gajahmungkur, Pangonan, Alang, Nagasari, dan
Panglimunan.
Dari riset yang dilakukan R Sukyar, Dieng tertutup endapat
berusia kuarter yang berupa aliran lava, piroklastik, endapan phreatik, endapan
lahar, endapan permukaan, dan hasil erupsi Gunung Sundoro. Endapan itu
berdasarkan urutan muda ke tua terdiri atas endapan permukaan, Dieng muda,
Dieng Dewasa, Dieng tua serta erupsi gunung api Sundoro.
Saat ini di kawasan setempat, setidaknya ada tiga titik
puncak yakni Gunung Prahu dengan ketinggian 2.565 mdpl, Gunung Pakuwaja
2.395 mdpl dan Gunung Sikunir 2.263 mdpl. Evolusi gunung purba tersebut juga
memunculkan danau-danau vulkanik seperti Telaga Warna, Telaga Merdada, Telaga
Pengilon serta lainnya. Eksotisme danau di Dieng berpadu dengan beberapa kawah
yang masih aktif sampai sekarang di antaranya Timbang, Sinila, Sileri,
Sikidang, dan Candradimuka.
Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Dieng Tunut Pudjiharjo cukup
heran dengan kaldera yang dipilih dan menjadi lokasi candi, karena kawasan itu
cukup aman dari kawah-kawah yang mengitarinya. Sebagai daerah kawasan gunung
api, areal setempat cukup subur dengan lontaran sisa-sisa material vulkanik. Namun
di balik kesuburan tanah dan eksotiknya daerah setempat, ada ancaman senyap gas
beracun. “Dalam sejarahnya, ancaman senyap menjadi kenyataan bencana. Yang
paling besar adalah letusan gas Kawah Sinila tahun 1979 yang menewaskan 149
penduduk,”kata Tunut.
Tunut mengungkapkan dari hasil riset para ahli geologi yang
dilakukan, sebelum mengalami dislokasi, gunung api setempat merupakan gunung
yang besar dan tinggi. “Namun, misteri gunung itu masih belum terungkap secara
detail melalui riset. Sama halnya dengan proses terkuburnya benca-benda
purbakala di kawasan itu,”ujarnya.
Pusat Religi dan
Pendidikan
Eksotisme dan damainya Dieng, membuat Wangsa Sanjaya
membangun tempat pemujaan daerah datar, namun merupakan “negeri awang-awang”
karena ketinggiannya 2.000 mdpl. Dari 22 prasasti berbahasa Jawa kuno yang
ditemukan, para ahli arkeologi dan sejarah menyatakan kalau Dieng atas perintah
Wangsa Sanjaya.
Kesejarahan Dieng beserta candi-candinya memang tidak dapat
disebutkan secara persis kapan didirikan. Apalagi dari 22 prasasti yang ada,
hanya ada satu prasasti yang menyebutkan tahun 808 Masehi. “Dalam prasasti itu
memang menggambarkan kalau Dieng sebagai pusat kegiatan religius. Dieng
diibaratkan sebagai Kailasa atau tempat suci Syiwa, pusat dunia dan tempat
bersemayam para arwah,” kata pemelihara Candi Dieng dan Museum Kailasa, Tusar.
Sebagai pusat religi Hindu, ada berbagai macam nama candi yang
tersebar pada areal 1,8 x 0,8 km2. Ada tiga kelompok candi di Dieng yakni
Kelompok Arjuna, Gatutkaca, dan Kelompok Dwarawati serta candi yang berdiri
sendiri yakni Candi Bima. Ada sisa bangunan Darmacala yakni lokasi
peristirahatan dan tempat penyiapan perlengkapan upacara bagi para peziarah.
Arkeolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Jajang
Agus Sonjaya menyatakan bahwa Dieng sebetulnya merupakan pusat pendidikan
keagamaan dan arsitektur. “Pembangunan candi di Dieng dilakukan selama 400
tahun, antara abad IX hingga XIII. Selama 400 tahun, Dieng menjadi pusat
pendidikan keagamaan dan arsitektur. Mereka belajar soal agama dan membuat
beragam ukiran batu serta candi,”ujar Jajang.
Menurutnya, yang datang di Dieng tidak hanya berasal dari
Nusantara, tetapi juga dari negeri lainnya, salah satunya adalah India.
“Sebagai tempat pendidikan arsitektur dapat dilihat kalau bentuk arsitektur
candi tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan adanya sentuhan
orang India yang masuk ke Dieng dapat dilihat adanya Arca Kudu di Candi Bima. Namun demikian,
pahatan atau arsitektur yang dibangun lebih kreatif, karena merupakan hasil
pengembangan pendidikan arsitek kala itu,”jelasnya.
Sebagai daerah cekungan, para ahli bangunan juga membuat
semacam aliran air yang berbentuk sumur yang disebut Gangsiran Aswatama, agar
supaya tidak merendam candi. Tetapi, pembangunan candi berhenti pada abad XIII, karena berdasarkan risalah dari Babad
Dieng, ada peristiwa pralaya atau bencana. Pada abad tersebut, terjadi sebuah
bencana banjir besar akibat tertutupnya Kali Tulis, sehingga candi-candi
terendam air. “Peristiwa pralaya ini membuat mereka meninggalkan Dieng.
Setidaknya ada dua lokasi yang menjadi tujuan mereka yakni ke Tengger, Bromo
dan Bali,”kata Jajang.
Bahkan, dari riset yang dilakukan oleh UGM bekerja sama
dengan National University of Singapore menemukan bukti aktivitas perdagangan
abad IX. Benda yang ditemukan adalah kaca dan keramik dari Dinasti Tang.
Keramik tersebut sama dengan keramik yang ditemukan pada kapal yang tenggelam
di perairan Belitung. Setidaknya dengan penemuan itu membuktikan adanya kontak
orang-orang Nusantara abad tersebut dengan bangsa lain khususnya Cina.
Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Peninggalan
Purbakala (BP3) Jateng Gutomo mengakui jika kawasan Dieng masih penuh misteri,
karena belum seluruh benda purbakala ditemukan. “Bahkan, kalau berdasarkan peta
arkeologi yang dibuat Belanda tahun 1931, persebaran candi cukup luas, bahkan
tidak hanya di wilayah yang datar, namun juga sampai ke perbukitan. Namun,
seiring dengan berkembangnya waktu, banyak yang hilang, entah ke mana. Tetapi
yang terkubur juga masih banyak,”jelasnya.
Dieng memang masih menyimpan misteri. Tidak hanya
kesejarahan geologi di kawasan itu, tetapi juga mahakarya candi. Karena
sebetulnya masih banyak benda purbakala yang terpendam tanah. (liliek dharmawan)