Senin, 15 Juli 2013

Ritual Unggahan Masyarakat Adat Bonokeling




 Krengket...krengket...begitu suara yang terdengar ketika ratusan warga Bonokeling menyusuri jalanan dari Adipala, Cilacap ke Banyumas, Jawa Tengah (Jateng). Suara itu merupakan hasil dari gesekan kayu sebagai alat angkut atau disebut pikulan yang membawa hasil bumi. Pada Kamis (4/7) lalu, tidak kurang dari 800 warga Bonokeling yang tersebar di beberapa desa di Cilacap berjalan dari rumah mereka menuju ke Kompleks Makam Bonokeling di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas.

Dari rumah, mereka telah mengenakan pakaian adat Jawa . Yakni sarung dan baju hitam atau batik. Ada pula yang mengenakan kaos. Prasyarat paling utama adalah memakai sarung dan penutup kepala yang disebut iket. Sedangkan yang perempuan memakai jarit serta kebaya. Perjalanan yang ditempuh mencapai 25-30 kilometer melewati jalan raya, jalan setapak serta pegunungan. Di sepanjang perjalanan mereka diam dan tidak tidak boleh ada senda gurau.

Warga Bonokeling laki-laki yang masih muda membawa hasil bumi dengan dipikul. Hasil bumi itulah yang kemudian dimasak bersama-sama di kompleks perumahan Bedogol atau “pejabat” pada struktur adat Bonokeling.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 5-6 jam , mereka kemudian beristirahat di rumah-rumah para Bedogol di Desa Pekuncen untuk mempersiapkan diri mengikuti prosesi Unggah unggahan yang merupakan ritual inti kaum adat Bonokeling. Ritual Unggah unggahan dihelat setahun sekali yang jatuh pada Jumat paling akhir pada bukan Sadran menurut kalender Jawa sebelum memasuki bulan puasa.

“Unggah unggahan ini merupakan ritual ziarah kubur yang digelar setahun sekali. Jatuhnya tepat pada Jumat paling akhir sebelum memasuki bulan puasa. Tahun ini, ada sekitar 800 warga Bonokeling dari Cilacap yang mengikuti ritual “mlampah” atau berjalan sampai ke prosesi Unggah unggahan. Ada tiga ekor sapi dan 21 ekor kambing yang disembelih. Sedangkan ayam berjumlah ratusan. Ternak dan hasil bumi tersebut dimasak seluruhnya dan dimakan bersama di kompleks makam,”kata tetua adat Bonokeling, Sumitro.

Pada awal prosesi Unggah unggahan, warga Bonokeling satu per satu menghadap Kunci atau sebagai pemimpin tertinggi Bonokeling yang kini dipegang oleh Kartasari, 70. Mereka mengadakan “sungkeman”  satu per satu di rumah Kunci. Mereka minta didoakan oleh Kunci agar beroleh keselamatan.

Selesai melakukan sungkeman, kaum adat Bonokeling berjalan satu per satu menuju Kompleks Makam Bonokeling. Sebelum masuk, mereka membasuh muka, tangan dan kaki dengan air. Di depan kaum Bonokeling berdoa dengan didahului sikap menyembah. Sama halnya di luar makam, di dalam kompleks makam, mereka juga melakukan ritual yang hampir sama. Tetapi, kalau di dalam, ada tambahan pembakaran kemenyan.

 Menurut Sumitro, prosesi Unggah unggahan yang digelar setahun sekali tersebut sebagai bagian dari ziarah kubur Bonokeling. “Warga Bonokeling berdoa di makam agar beroleh keselamatan dan tetap setiap pada ajaran Bonokeling. Yakni jujur, sabar dan nrimo atau tetap diberi kejujuran, kesabaran dan menerima apa adanya,”tandasnya. (liliek dharmawan)


Rabu, 10 Juli 2013

Mahakarya di Kaldera Gunung Api Purba


Kabut putih tebal telah turun. Barisan yang terdiri dari lima orang itu menembusnya. Dengan celana panjang, sepatu boot, jaket mereka berjalan. Dari caping yang dikenakannya, orang bisa memastikan jika rombongan itu adalah petani yang akan ke ladang di kawasan Dieng, perbatasan antara Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah (Jateng).





Tak lama setelah sampai di ladang, mereka mulai beraktivitas di daerah dengan ketinggian sekitar 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut. Crok...crok...crok...cangkul diayunkan. Sekali, dua, ketiga. Pada cangkulan yang ketiga itu, petani tersebut berhenti mencangkul, karena ada benda keras yang beradu dengan cangkulnya. Cangkul diletakkan dan tangannya mulai meraba ke dalam tanah dengan kedalaman 30 sentimeter (cm). Ternyata, ia mendapatkan batu yang terukir. Tidak salah, itu adalah bagian dari candi. Ia kemudian melaporkan ke Museum Kailasa Dieng.

Tidak hanya sekali atau dua kali petani mendapatkan bongkahan batu yang ternyata merupakan bagian dari mahakarya masa lalu. Bahkan, hingga kini di Museum Kailasa menyimpan tidak kurang dari 300 bagian candi seperti arca dan batu berukir. “Sering sekali petani menemukan benda-benda purbakala yang tercecer di sekitar Dieng. Kami juga yakin, kalau masih banyak benda-benda bersejarah yang tertimbun di dalam perut bumi,”kata Alif Rahman, Ketua Masyarakat Pariwisata Dieng.

Menurutnya, banyaknya penemuan membuat gudang di Museum Kailasa tidak mampu menampungnya. Bahkan, ada benda-benda purbakala yang diletakkan di bagian teras. “Meski sudah banyak ditemukan, namun sebenarnya di dalam perut bumi diduga lebih banyak lagi,”ujarnya.

Gunung Purba

Dieng yang arti katanya tempat persemayaman dewa, sejatinya merupakan sebuah kaldera gunung api purba. Peneliti gunung api John Seach yang telah 24 tahun berkeliling ke gunung-gunung api di seluruh dunia, menyebutkan dalam situsnya Volcanolive.com, jika Dieng pernah mengalami erupsi yang didominasi letusan freatik sejak 1375, 1450, 1786, dan 1776 sebelum ditemukan tahun 1814. Erupsi di kawasan Dieng umumnya adalah erupsi dengan mengeluarkan abu dan pasir dan menutup kawasan setempat.

Kawasan Dieng Plateau memiliki 14 km dan lebar 6 km. Dari penelitian para ahli geologi, Dieng terbentuk dari gunung api purba yang mengalami dislokasi. Pada bagian yang amblas, kemudian muncul sejumlah gunung di antaranya adalah Gunung Pakuwaja, Gajahmungkur, Pangonan, Alang, Nagasari, dan Panglimunan.

Dari riset yang dilakukan R Sukyar, Dieng tertutup endapat berusia kuarter yang berupa aliran lava, piroklastik, endapan phreatik, endapan lahar, endapan permukaan, dan hasil erupsi Gunung Sundoro. Endapan itu berdasarkan urutan muda ke tua terdiri atas endapan permukaan, Dieng muda, Dieng Dewasa, Dieng tua serta erupsi gunung api Sundoro.

Saat ini di kawasan setempat, setidaknya ada tiga titik puncak yakni  Gunung Prahu  dengan ketinggian 2.565 mdpl, Gunung Pakuwaja 2.395 mdpl dan Gunung Sikunir 2.263 mdpl. Evolusi gunung purba tersebut juga memunculkan danau-danau vulkanik seperti Telaga Warna, Telaga Merdada, Telaga Pengilon serta lainnya. Eksotisme danau di Dieng berpadu dengan beberapa kawah yang masih aktif sampai sekarang di antaranya Timbang, Sinila, Sileri, Sikidang, dan Candradimuka.

Kepala Pos Pengamatan Gunung Api Dieng Tunut Pudjiharjo cukup heran dengan kaldera yang dipilih dan menjadi lokasi candi, karena kawasan itu cukup aman dari kawah-kawah yang mengitarinya. Sebagai daerah kawasan gunung api, areal setempat cukup subur dengan lontaran sisa-sisa material vulkanik. Namun di balik kesuburan tanah dan eksotiknya daerah setempat, ada ancaman senyap gas beracun. “Dalam sejarahnya, ancaman senyap menjadi kenyataan bencana. Yang paling besar adalah letusan gas Kawah Sinila tahun 1979 yang menewaskan 149 penduduk,”kata Tunut.

Tunut mengungkapkan dari hasil riset para ahli geologi yang dilakukan, sebelum mengalami dislokasi, gunung api setempat merupakan gunung yang besar dan tinggi. “Namun, misteri gunung itu masih belum terungkap secara detail melalui riset. Sama halnya dengan proses terkuburnya benca-benda purbakala di kawasan itu,”ujarnya.

Pusat Religi dan Pendidikan

Eksotisme dan damainya Dieng, membuat Wangsa Sanjaya membangun tempat pemujaan daerah datar, namun merupakan “negeri awang-awang” karena ketinggiannya 2.000 mdpl. Dari 22 prasasti berbahasa Jawa kuno yang ditemukan, para ahli arkeologi dan sejarah menyatakan kalau Dieng atas perintah Wangsa Sanjaya.

Kesejarahan Dieng beserta candi-candinya memang tidak dapat disebutkan secara persis kapan didirikan. Apalagi dari 22 prasasti yang ada, hanya ada satu prasasti yang menyebutkan tahun 808 Masehi. “Dalam prasasti itu memang menggambarkan kalau Dieng sebagai pusat kegiatan religius. Dieng diibaratkan sebagai Kailasa atau tempat suci Syiwa, pusat dunia dan tempat bersemayam para arwah,” kata pemelihara Candi Dieng dan Museum Kailasa, Tusar.

Sebagai pusat religi Hindu, ada berbagai macam nama candi yang tersebar pada areal 1,8 x 0,8 km2. Ada tiga kelompok candi di Dieng yakni Kelompok Arjuna, Gatutkaca, dan Kelompok Dwarawati serta candi yang berdiri sendiri yakni Candi Bima. Ada sisa bangunan Darmacala yakni lokasi peristirahatan dan tempat penyiapan perlengkapan upacara bagi para peziarah.

Arkeolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Jajang Agus Sonjaya menyatakan bahwa Dieng sebetulnya merupakan pusat pendidikan keagamaan dan arsitektur. “Pembangunan candi di Dieng dilakukan selama 400 tahun, antara abad IX hingga XIII. Selama 400 tahun, Dieng menjadi pusat pendidikan keagamaan dan arsitektur. Mereka belajar soal agama dan membuat beragam ukiran batu serta candi,”ujar Jajang.

Menurutnya, yang datang di Dieng tidak hanya berasal dari Nusantara, tetapi juga dari negeri lainnya, salah satunya adalah India. “Sebagai tempat pendidikan arsitektur dapat dilihat kalau bentuk arsitektur candi tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Sedangkan adanya sentuhan orang India yang masuk ke Dieng dapat dilihat adanya  Arca Kudu di Candi Bima. Namun demikian, pahatan atau arsitektur yang dibangun lebih kreatif, karena merupakan hasil pengembangan pendidikan arsitek kala itu,”jelasnya.

Sebagai daerah cekungan, para ahli bangunan juga membuat semacam aliran air yang berbentuk sumur yang disebut Gangsiran Aswatama, agar supaya tidak merendam candi. Tetapi, pembangunan candi berhenti pada abad  XIII, karena berdasarkan risalah dari Babad Dieng, ada peristiwa pralaya atau bencana. Pada abad tersebut, terjadi sebuah bencana banjir besar akibat tertutupnya Kali Tulis, sehingga candi-candi terendam air. “Peristiwa pralaya ini membuat mereka meninggalkan Dieng. Setidaknya ada dua lokasi yang menjadi tujuan mereka yakni ke Tengger, Bromo dan Bali,”kata Jajang.

Bahkan, dari riset yang dilakukan oleh UGM bekerja sama dengan National University of Singapore menemukan bukti aktivitas perdagangan abad IX. Benda yang ditemukan adalah kaca dan keramik dari Dinasti Tang. Keramik tersebut sama dengan keramik yang ditemukan pada kapal yang tenggelam di perairan Belitung. Setidaknya dengan penemuan itu membuktikan adanya kontak orang-orang Nusantara abad tersebut dengan bangsa lain khususnya Cina.

Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jateng Gutomo mengakui jika kawasan Dieng masih penuh misteri, karena belum seluruh benda purbakala ditemukan. “Bahkan, kalau berdasarkan peta arkeologi yang dibuat Belanda tahun 1931, persebaran candi cukup luas, bahkan tidak hanya di wilayah yang datar, namun juga sampai ke perbukitan. Namun, seiring dengan berkembangnya waktu, banyak yang hilang, entah ke mana. Tetapi yang terkubur juga masih banyak,”jelasnya.

Dieng memang masih menyimpan misteri. Tidak hanya kesejarahan geologi di kawasan itu, tetapi juga mahakarya candi. Karena sebetulnya masih banyak benda purbakala yang terpendam tanah. (liliek dharmawan)