Pernah
mendengarkan lagu “Gemerlap Kota” dari Slank? Ya, syair lagu itu
bercerita mengenai Boy dan Udin, sebuah kisah dua anak yang timpang
secara sosial. Udin hanya hanyut dalam impiannya, sedangkan Boy
menghamburkan impiannya. Boy mewakili strata masyarakat menengah
atas dan tentu saja uang bukanlah persoalan. Sehingga apa pun bisa ia
dapatkan dengan mudah. Dari rumah, misalnya, sudah membawa mobil
dengan mesin di atas 2.000 CC, dan makan pun di sebuah restoran mewah
dengan sajian makanan dari bahan-bahan impor.
Gaya
hidup semacam itu barangkali telah menjadi hal biasa di kota
megapolitan, bahkan kini sudah merasuk di kota-kota lainnya. Padahal
sejatinya pola hidup semacam itu menjadi persoalan serius lingkungan
yang menyumbang gas efek rumah kaca.
Lalu,
apa hubungannya gaya hidup dengan pemasanan global? Mari diteliti.
Jejak karbon dimulai ketika Boy sebagai representasi kelas menengah
atas membawa mobil dengan CC besar keluar dari rumah. Apalagi di
sepanjang perjalanan pasti menyalakan AC. Jejak karbon telah dimulai
rumah, berkeliling kota, hingga di sebuah restoran.
Lebih-lebih,
jika restoran tersebut hanya menyajikan menu dengan bahan impor.
Jelas makanan itu meninggalkan jejak karbon. Tetapi bukan berarti
makanan yang disajikan mengandung karbon. Namun, perjalanan bahan
makanan tersebut sejak dari negara asalnya. Jejak karbon
teridentifikasi dari kendaraan pengangkut hingga kapal pembawa. Dari
pelabuhan diangkut lagi dengan kendaraan untuk disetorkan ke
restoran-restoran tersebut. Begitu banyak karbon yang dihasilkan
hanya untuk menjadi menu di meja makan.
Contoh
paling nyata adalah ketika orang mengonsumsi steak dari daging sapi.
Hubungan daging sapi dengan pemanasan global dirinci oleh riset yang
dilakukan oleh FAO, lembaga PBB bidang pangan. Dalam riset yang
diterbitkan tahun 2006 yang diberi judul Livestock's
Long Shadow: Enviromental Issues and Options
, terungkap kalau sektor peternakan memiliki andil signifikan dalam
memanaskan suhu bumi akibat pelepasan karbon.
Industri
peternakan tersebut menyumbang 18 persen emisi gas rumah kaca.
Presentase itu lebih tinggi ketimbang gabungan emisi gas rumah kaca
seluruh transportasi di seluruh dunia yang menyumbang 13 persen.
Secara rinci, sektor peternakan menyumbang 9 persen karbondioksida,
37 persen gas metana yang memiliki efek pemanasan global 72 kali
lipat dari CO2, dan 65 persen dinitrogen oksida yang mempunyai efek
pemanasan 296 kali lipat ketimbang CO2. Bahkan, peternakan juga
menimbulkan 64 persen amonia yang berpotensi mengakibatkan hujan
asam.
Tak
hanya itu, sektor peternakan telah mengubah 70 persen hutan Amazon
jadi ladang untuk ternak. Di AS, triliunan galon air irigasi atau 85
persen sumber air bersih dipakai untuk peternakan. Sementara di
Australia, emisi gas rumah kaca peternakan sudah melampaui emisi dari
PLTU batu bara. Dalam 10 tahun, sektor peternakan negeri Kanguru itu
menyumbang 3 juta ton metana atau 216 juta ton CO2, sementara PLTU
batu bara hanya menyumbang 180 juta ton CO2.
Riset
tersebut juga menyebutkan kalau jejak karbon dimulai dari pembuatan
dan pengadaan pakan ternak, kemudian emisi karbon dari pencernaan
hewan serta dari pengolahan dan pengangkutan daging hewan ternak ke
konsumen. Dari ketiga jejak itu, yang paling besar adalah pengadaan
pakan ternak. Yakni penggunaan bahan bakar fosil untuk pupuk
menyumbang 41 juta ton CO2, penggunaan bahan bakar fosil di
peternakan 90 juta ton CO2, alih fungsi lahan menyumbang 2,4 miliar
ton CO2, pengolahan tanah untuk menghasilkan pakan mencapai 28 juta
ton CO2 dan lainnya.
Gerakan
Penyadaran
Sementara
ini, sebagian besar orang yang tidak sadar jika memakan sepotong
daging ternyata telah berkontribusi terhadap pemanasan global. Riset
oleh Gidon Eshel dan Pamela Martin dengan judul Diet, Energy and
Global Warming tahun 2006, merunut jejak karbon dari sepotong daging.
Dalam publikasi di jurnal Earth Interaction, ilmuwan dari University
of Chicago’s itu menyatakan jika orang mengganti makanan dari
hewani ke nabati, maka akan mencegah emisi CO2 ke udara sebanyak 1,5
ton per orang. Hal itu lebih efektif jika dibandingkan dengan orang
mengganti Toyota Camry ke mobil Toyota Prius hybrid sekalipun yang
ternyata hanya mampu mencegah 1 ton emisi CO2.
Kini
di tahun 2013, United Nations Environment Programme (UNEP) sadar akan
pentinyanya pengaruh makanan terhadap lingkungan dengan menggelorakan
kampanye penyelamatan lingkungan dengan tema: Think, Eat, Save.
Tematik itu mengajak masyarakat dunia berpikir sebelum menyantap
makanan guna menyelamatkan lingkungan. Dalam paparannya, UNEP
menyoroti begitu banyaknya makanan yang terbuang dalam setahun.
Berdasarkan laporan FAO, ada setidaknya 1,3 miliar ton makanan yang
terbuang. Ironisnya, pada saat yang sama ada 1 dari 7 orang di dunia
kelaparan dan lebih dari 20 ribu anak balita mati kelaparan.
Karena
itulah, UNEP mengajak masyarakat agar sadar akan ketidakseimbangan
yang terjadi sekarang. UNEP menyoroti gaya hidup yang berpengaruh
buruk terhadap lingkungan. Padahal, menurut UNEP, pilihan makanan
yang dikonsumsi akan menjadi sumbangan penting bagi penyelamatan
lingkungan. Sebagai contoh, untuk memroduksi 1 liter susu saja,
dibutuhkan sekitar 1.000 liter air. Bahkan, ada 16 ribu liter untuk
sapi guna membuat hamburger. Celakanya, banyak makanan yang
menghasilkan efek rumah kaca tersebut dibuang-buang.
Dari
apa yang dikampanyekan UNEP, sesungguhnya tidak sulit ikut serta
mempedulikan bumi, meredam pemanasan global. Sederhana saja, dari
meja makan. Karena kepedulian terhadap lingkungan dapat dilakukan
hanya dengan membuat keputusan mengubah menu makanan yang ramah
lingkungan. Tentu semua orang bisa, tinggal proses penyadaran yang
harus terus digelorakan.
Alternatif
pilihan adalah menggerakkan masyarakat menjadi vegetarian. Barangkali
terasa sangat ekstrem ketika meminta orang untuk tidak makan daging
dan hanya sayuran. Bahkan, ada yang lebih sadis mengatakan, masak
setiap hari seperti kambing yang harus makan sayur. Apalagi, dalam
gaya hidup modern, lebih banyak restoran yang menyajikan makanan dari
daging. Bahkan, banyak yang merasa lebih keren jika dapat makan di
restoran penyaji daging, apalagi kalau bahan-bahannya impor.
Kalau
ada orang yang kampanye semacam itu, barangkali akan ada ucapan
“duit-duitnya
gue, masbuloh….” Memang
tidak gampang, tetapi bukan sesuatu yang mustahil juga. Pendekatan
kesehatan kemungkinan bisa menjadi pintu masuknya.
Dari
berbagai riset yang ada, semisal American
Institute for Cancer Research,
vegetarian secara signifikan mengurangi risiko kanker, termasuk jenis
kanker perut, usus, pankreas, payudara, rahim, dan kanker ovarium.
Pola konsumsi ini juga memperbaiki langsung kadar kolesterol, tekanan
darah, kadar gula darah, sistem kekebalan, dan kesehatan pencernaan.
Penelitian
lainnya seperti yang dipublikasikan oleh British
Journal of Health Psychology
terhadap 300 orang dewasa, menyebutkan, kalau pola diet vegetarian
ternyata lebih banyak energi . Yang cukup menakjubkan, ternyata
suasana hati mereka lebih tenang dan rasa lebih bahagia.
Sejalan
dengan itu, kampanye makanan lokal juga dapat digarap. Sebab, makanan
lokal memiliki jejak karbon yang tidak terlalu panjang. Bahkan karbon
tidak dihasilkan, karena tanaman itu ada di pekarangan rumah
masing-masing, sehingga distribusinya tidak menggunakan kendaraan.
Apalagi, makanan lokal biasanya tidak memerlukan pestisida, bahkan
tanpa pupuk.
Sejauh
ini, makanan lokal masih dipadang sebelah mata. Itu hanya menjadi
makanan si Udin dan belum sampai ke si Boy. Sebuah tantangan besar
untuk mengangkat derajat makanan lokal sehingga orang lebih bangga
menyantap singkong atau ganyong, bukan hotdog atau hamburger. Dan
sejatinya, pilihan ada di depan meja makan, mau makanan yang sehat
dan ramah lingkungan atau makanan yang menyumbang pemanasan global.
Kampanye
ini sejalan dengan apa yang diselenggarakan WWF melalui blog.
Ingat lingkungan, karena itulah titipan anak cucu mendatang yang
harus dijaga.