Jumat, 28 Maret 2014

Meredam Pemanasan Global dari Meja Makan




Pernah mendengarkan lagu “Gemerlap Kota” dari Slank? Ya, syair lagu itu bercerita mengenai Boy dan Udin, sebuah kisah dua anak yang timpang secara sosial. Udin hanya hanyut dalam impiannya, sedangkan Boy menghamburkan impiannya. Boy mewakili strata masyarakat menengah atas dan tentu saja uang bukanlah persoalan. Sehingga apa pun bisa ia dapatkan dengan mudah. Dari rumah, misalnya, sudah membawa mobil dengan mesin di atas 2.000 CC, dan makan pun di sebuah restoran mewah dengan sajian makanan dari bahan-bahan impor.

Gaya hidup semacam itu barangkali telah menjadi hal biasa di kota megapolitan, bahkan kini sudah merasuk di kota-kota lainnya. Padahal sejatinya pola hidup semacam itu menjadi persoalan serius lingkungan yang menyumbang gas efek rumah kaca.


Lalu, apa hubungannya gaya hidup dengan pemasanan global? Mari diteliti. Jejak karbon dimulai ketika Boy sebagai representasi kelas menengah atas membawa mobil dengan CC besar keluar dari rumah. Apalagi di sepanjang perjalanan pasti menyalakan AC. Jejak karbon telah dimulai rumah, berkeliling kota, hingga di sebuah restoran.


Lebih-lebih, jika restoran tersebut hanya menyajikan menu dengan bahan impor. Jelas makanan itu meninggalkan jejak karbon. Tetapi bukan berarti makanan yang disajikan mengandung karbon. Namun, perjalanan bahan makanan tersebut sejak dari negara asalnya. Jejak karbon teridentifikasi dari kendaraan pengangkut hingga kapal pembawa. Dari pelabuhan diangkut lagi dengan kendaraan untuk disetorkan ke restoran-restoran tersebut. Begitu banyak karbon yang dihasilkan hanya untuk menjadi menu di meja makan.


Contoh paling nyata adalah ketika orang mengonsumsi steak dari daging sapi. Hubungan daging sapi dengan pemanasan global dirinci oleh riset yang dilakukan oleh FAO, lembaga PBB bidang pangan. Dalam riset yang diterbitkan tahun 2006 yang diberi judul Livestock's Long Shadow: Enviromental Issues and Options , terungkap kalau sektor peternakan memiliki andil signifikan dalam memanaskan suhu bumi akibat pelepasan karbon.


Industri peternakan tersebut menyumbang 18 persen emisi gas rumah kaca. Presentase itu lebih tinggi ketimbang gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia yang menyumbang 13 persen. Secara rinci, sektor peternakan menyumbang 9 persen karbondioksida, 37 persen gas metana yang memiliki efek pemanasan global 72 kali lipat dari CO2, dan 65 persen dinitrogen oksida yang mempunyai efek pemanasan 296 kali lipat ketimbang CO2. Bahkan, peternakan juga menimbulkan 64 persen amonia yang berpotensi mengakibatkan hujan asam.


Tak hanya itu, sektor peternakan telah mengubah 70 persen hutan Amazon jadi ladang untuk ternak. Di AS, triliunan galon air irigasi atau 85 persen sumber air bersih dipakai untuk peternakan. Sementara di Australia, emisi gas rumah kaca peternakan sudah melampaui emisi dari PLTU batu bara. Dalam 10 tahun, sektor peternakan negeri Kanguru itu menyumbang 3 juta ton metana atau 216 juta ton CO2, sementara PLTU batu bara hanya menyumbang 180 juta ton CO2.


Riset tersebut juga menyebutkan kalau jejak karbon dimulai dari pembuatan dan pengadaan pakan ternak, kemudian emisi karbon dari pencernaan hewan serta dari pengolahan dan pengangkutan daging hewan ternak ke konsumen. Dari ketiga jejak itu, yang paling besar adalah pengadaan pakan ternak. Yakni penggunaan bahan bakar fosil untuk pupuk menyumbang 41 juta ton CO2, penggunaan bahan bakar fosil di peternakan 90 juta ton CO2, alih fungsi lahan menyumbang 2,4 miliar ton CO2, pengolahan tanah untuk menghasilkan pakan mencapai 28 juta ton CO2 dan lainnya.


Gerakan Penyadaran


Sementara ini, sebagian besar orang yang tidak sadar jika memakan sepotong daging ternyata telah berkontribusi terhadap pemanasan global. Riset oleh Gidon Eshel dan Pamela Martin dengan judul Diet, Energy and Global Warming tahun 2006, merunut jejak karbon dari sepotong daging. Dalam publikasi di jurnal Earth Interaction, ilmuwan dari University of Chicago’s itu menyatakan jika orang mengganti makanan dari hewani ke nabati, maka akan mencegah emisi CO2 ke udara sebanyak 1,5 ton per orang. Hal itu lebih efektif jika dibandingkan dengan orang mengganti Toyota Camry ke mobil Toyota Prius hybrid sekalipun yang ternyata hanya mampu mencegah 1 ton emisi CO2.


Kini di tahun 2013, United Nations Environment Programme (UNEP) sadar akan pentinyanya pengaruh makanan terhadap lingkungan dengan menggelorakan kampanye penyelamatan lingkungan dengan tema: Think, Eat, Save. Tematik itu mengajak masyarakat dunia berpikir sebelum menyantap makanan guna menyelamatkan lingkungan. Dalam paparannya, UNEP menyoroti begitu banyaknya makanan yang terbuang dalam setahun. Berdasarkan laporan FAO, ada setidaknya 1,3 miliar ton makanan yang terbuang. Ironisnya, pada saat yang sama ada 1 dari 7 orang di dunia kelaparan dan lebih dari 20 ribu anak balita mati kelaparan.


Karena itulah, UNEP mengajak masyarakat agar sadar akan ketidakseimbangan yang terjadi sekarang. UNEP menyoroti gaya hidup yang berpengaruh buruk terhadap lingkungan. Padahal, menurut UNEP, pilihan makanan yang dikonsumsi akan menjadi sumbangan penting bagi penyelamatan lingkungan. Sebagai contoh, untuk memroduksi 1 liter susu saja, dibutuhkan sekitar 1.000 liter air. Bahkan, ada 16 ribu liter untuk sapi guna membuat hamburger. Celakanya, banyak makanan yang menghasilkan efek rumah kaca tersebut dibuang-buang.


Dari apa yang dikampanyekan UNEP, sesungguhnya tidak sulit ikut serta mempedulikan bumi, meredam pemanasan global. Sederhana saja, dari meja makan. Karena kepedulian terhadap lingkungan dapat dilakukan hanya dengan membuat keputusan mengubah menu makanan yang ramah lingkungan. Tentu semua orang bisa, tinggal proses penyadaran yang harus terus digelorakan.


Alternatif pilihan adalah menggerakkan masyarakat menjadi vegetarian. Barangkali terasa sangat ekstrem ketika meminta orang untuk tidak makan daging dan hanya sayuran. Bahkan, ada yang lebih sadis mengatakan, masak setiap hari seperti kambing yang harus makan sayur. Apalagi, dalam gaya hidup modern, lebih banyak restoran yang menyajikan makanan dari daging. Bahkan, banyak yang merasa lebih keren jika dapat makan di restoran penyaji daging, apalagi kalau bahan-bahannya impor.


Kalau ada orang yang kampanye semacam itu, barangkali akan ada ucapan “duit-duitnya gue, masbuloh….” Memang tidak gampang, tetapi bukan sesuatu yang mustahil juga. Pendekatan kesehatan kemungkinan bisa menjadi pintu masuknya.


Dari berbagai riset yang ada, semisal American Institute for Cancer Research, vegetarian secara signifikan mengurangi risiko kanker, termasuk jenis kanker perut, usus, pankreas, payudara, rahim, dan kanker ovarium. Pola konsumsi ini juga memperbaiki langsung kadar kolesterol, tekanan darah, kadar gula darah, sistem kekebalan, dan kesehatan pencernaan.


Penelitian lainnya seperti yang dipublikasikan oleh British Journal of Health Psychology terhadap 300 orang dewasa, menyebutkan, kalau pola diet vegetarian ternyata lebih banyak energi . Yang cukup menakjubkan, ternyata suasana hati mereka lebih tenang dan rasa lebih bahagia.


Sejalan dengan itu, kampanye makanan lokal juga dapat digarap. Sebab, makanan lokal memiliki jejak karbon yang tidak terlalu panjang. Bahkan karbon tidak dihasilkan, karena tanaman itu ada di pekarangan rumah masing-masing, sehingga distribusinya tidak menggunakan kendaraan. Apalagi, makanan lokal biasanya tidak memerlukan pestisida, bahkan tanpa pupuk.


Sejauh ini, makanan lokal masih dipadang sebelah mata. Itu hanya menjadi makanan si Udin dan belum sampai ke si Boy. Sebuah tantangan besar untuk mengangkat derajat makanan lokal sehingga orang lebih bangga menyantap singkong atau ganyong, bukan hotdog atau hamburger. Dan sejatinya, pilihan ada di depan meja makan, mau makanan yang sehat dan ramah lingkungan atau makanan yang menyumbang pemanasan global. Kampanye ini sejalan dengan apa yang diselenggarakan WWF melalui blog. Ingat lingkungan, karena itulah titipan anak cucu mendatang yang harus dijaga.