Kamis, 30 Oktober 2014
Blusukan Demi Perdesaan
Anak-anak desa tersenyum bahagia
Siang awal Mei 2012 silam, ibu-ibu anggota PKK Kabupaten Gorontalo, Pemprov Gorontalo bersama petugas dari Puskesmas Limboto 'blusukan' ke Kelurahan Tilihuwa. Mereka sengaja datang karena ada laporan dari dasawisma setempat kalau ada anak yang terdeteksi mengalami gizi buruk. Blusukan untuk melacak keberadaan anak gizi buruk membuahkan hasil. Ternyata benar, ada 12 anak yang diidentifikasi menderita gizi buruk. Penemuan itu langsung ditindaklanjuti dengan aksi nyata. Mereka yang mengalami gizi buruk dan kurang mendapat perawatan intensif dai Puskesmas Limboto.
“Kami memang bekerja seperti ini. Ibu-ibu PKK di Gorontalo harus bertanggung jawab terhadap persoalan-persoalan yang ada di pedesaan. Terutama anak-anak yang mengalami gizi buruk,”kata Wakil Ketua PKK Gorontalo Venny Anwar seperti dikutip dalam situs resmi PKK Gorontalo.
Berbagai upaya itu dilakukan, karena Kabupaten Gorontalo membutuhkan upaya luar biasa untuk memajukan daerah setempat. Kerja keras berbagai macam elemen, tidak hanya pemkab, nyata hasilnya. Misalnya saja, pada tahun 2006 silam, kasus kurang gizi mencapai 18,8%. Berkat kerja keras, di tahun 2008 silam, angka kurang gizi menurun tajam, menjadi 7,8%.
Blusukan memang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Kabupaten Gorontalo, terutama setelah bupati dijabat oleh David Bobihoe Akib. Ia memang “nyentrik”, karena memiliki pemikiran yang “out the box”. Ketika orang lain hanya berfikir jika pemerintah hanya diam di tempat, tidak dengan David. Dia pun benar-benar mengejawantahkan kalau sesungguhnya pejabat adalah pelayan masyarakat. Makanya, sejak memangku jabatan tahun 2005, Bupati David langsung blusukan ke daerah-daerah terpencil. Ia tidak sendiri, melainkan membawa seluruh satuan kerja perangkat daerah (SKPD).
Dalam wawancara di acara Kick Andy maupun Mata Najwa, David menyatakan kalau gaya kepemimpinannya yang seperti itu untuk mendekatkan dengan persoalan-persoalan nyata di masyarakat. “Saya punya ide yang namanya ”Goverment Mobile” (GM). GM ini sesungguhnya merupakan pemerintahan yang langsung turun melayani masyarakat di pelosok. Kita memang tidak hanya menjemput bola, tetapi merampas bola,”katanya seraya tertawa.
GM inilah yang menjadi trigger bagi aparat pemerintahan, organisasi sosial maupun elemen lainnya di masyarakat. “Dengan adanya GM, maka berbagai persoalan di masyarakat dapat dilihat dan diselesaikan secepatnya. Pelayanannya juga terpadu, mulau masalah admisitrasi kependudukan, pendidikan maupun kesehatan. Pokoknya segala permasalahan yang ada di masyarakat akan kita atasi secepatnya,”tandas Bupati.
Pada sektor kesehatan, kata Bupati, Pemkab Gorontalo menelorkan berbagai program untuk menunjang visi Gorontalo dengan fokus pada visi masyarakat yang sehat dan cerdas. Program yang tercipta diberi nama unik, sehingga mudah diingat. Misalnya saja Pro WHO, yakni program warga harus berobat baik ke Poskesdes, Puskesmas Pembantu, Puskesmas dan Medical Center. Warga miskin diberikan biaya berobat gratis pada RSUD MM Dunda, sedangkan penderita gizi buruk dilayani di Mongolato Medical Center (MMC). Medical Center tersebut ditopang dengan sarana layanan kesehatan lengkap plus tenaga kesehatan terlatih.
Bahkan, Pemkab Gorontalo juga secara berkala memberikan sayembara kesehatan warga. Hal ini menarik, karena biasanya pemkab ada yang sengaja menyembunyikan data kasus gizi buruk agar tidak terdengar. Namun, Pemkab Gorontalo sebaliknya, justru memberikan reward bagi warga yang melaporkan adanya balita gizi buruk. Sebab, dengan adanya pelaporan tersebut, maka akan lebih cepat untuk menangani kasusnya.
Yang tidak kalah menarik, Pemkab Gorontalo melibatkan seluruh stakeholders untuk turun dan menjadi kader penyadaran kesehatan bagi masyarakat. Mereka terdiri dari pemdes, pemerintah kecamatan, Polsek dan Polres serta jajaran TNI dan masuk dalam G-Gas atau Gugus Tugas. Jadi seluruh elemen bergerak secara sinergis guna mencapai visi sehat dan cerdas.
Selain itu, Pemkab Gorontalo juga menggelar program Gemerlap Sehat atau Gerakan Menata Lingkungan. Gerakan ini merupakan bentuk penyadaran agar masyarakat menggalakkan pemanfaatan lahan pekarangan. Warga diminya untuk bertanam sayuran dan apotek hidup. Tujuannya mereka akan mendapatkan sayuran yang sehat, apalagi tak keluar biaya.
Komitmen kuat untuk menanggulangi masalah gizi di daerahnya terlihat dari meningkatnya anggaran. Alokasi anggaran untuk penjaringan kasus gizi buruk melalui kegiatan Pemantauan Status Gizi (PSG) sebesar Rp19 juta pada tahun 2007 dan Rp40 juta tahun 2008. Demikian juga untuk TFC tahun 2007 sebesar Rp100 juta dan tahun 2008 dialokasikan Rp309 juta.
Penghargaan pun muncul dari berbagai pihak di antaranya adalah ”Citra Pelayanan Prima” dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara serta dari MURI untuk Program Pelayanan Terpadu pada 3 Juni 2008. Tahun 2011 mendapat penghargaan dari Menteri Dalam Negeri ”Inovatif Goverment Awards ”. Bahkan, 8 Oktober 2014 lalu, GM telah terdaftar di Kemenkumham Republik Indonesia dan hak kekayaan intektualnya dimiliki Bupati David. “Sekarang bukan zamannya lagi pemerintah didatangi masyarakat, tetapi pemerintahlah yang harus mendekatkan dirinya kepada masyarakat,”tandasnya.
Apa yang menjadi konsep David, pas dengan gaya kepemimpinan Presiden Jokowi saat ini. Apalagi, presiden yang baru memangku jabatan beberapa pekan itu telah memulainya sejak menjadi Walikota Solo dan bahkan akan dilanjutkan ketika dirinya menjabat Presiden.
Sehingga model GM seperti yang dilakukan Pemkab Gorontalo dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah lain. Tak bisa menutup fakta, kalau warga di pedesaan membutuhkan perlakuan ekstra untuk mempercepat pengentasannya dari kemiskinan menuju hidup layak yang sehat. Barangkali konsep yang telah dipraktikkan dan dibuktikan di Gorontalo tidak dapat begitu saja menjadi model daerah lain. Karena memang setiap daerah memiliki karakteristik dan budaya masing-masing. Di sinilah peran dari Kementrian Daerah Tertinggal meramu kembali konsep bersama daerah lainnya, dengan disesuaikan karakter masing-masing wilayah.
Nun jauh dari Gorontalo, sekelompok mantan buruh migran di Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) yang tergabung dalam Seruni menyusun konsep pola asuh anak-anak yang ditinggal ibunya merantau ke luar negeri menjadi buruh migran atau TKI. Selama ini, anak-anak yang ditinggal orang tuanya mengalami berbagai macam persoalan, seperti masalah kesehatan dan pendidikan. “Dari penelitian yang kami lakukan, rata-rata usia anak yang ditinggal ke luar negeri usia balita hingga SD. Penelitian tersebut ingin memotret kondisi anak-anak yang umumnya berada di pedesaan. Dari hasil riset yang kami lakukan dapat disimpulkan kalau anak-anak buruh migran membutuhkan penanganan khusus, tidak hanya oleh keluarga, tetapi juga elemen lainnya,”ujar pegiat Seruni, Banyumas, Narsidah.
Menurutnya, buruh migran memang mendatangkan keuntungan bagi negara dan desa tempat mereka tinggal, karena ada pemasukan devisa. Tetapi di sisi lain, anak-anak TKI seakan kurang mendapat perhatian, terutama dari luar keluarganya. “Kami sudah memberikan cara-cara bagaimana konsep pola asuh anak-anak TKI yang umumnya di pedesaan berbasis komunitas. Kami bakal menggandeng berbagai elemen, agar persoalan anak-anak TKI di desa dapat diminimalkan,”tegasnya.
Beragam konsep inspiratif tersebut bisa menjadi model-model yang dikembangkan di daerah-daerah khususnya di perdesaan. Tidak ada jalan lain, kecuali dimulai dari blusukan, belanja masalah, yang kemudian dapat menjadi masukan penyusunan kebijakan. Dan tak perlu ragu untuk belajar dan mengadopsi dari daerah lain yang lebih dulu menginspirasi.(lilik darmawan)
Selasa, 28 Oktober 2014
Tambora, Dulu Mengguncang Dunia, Kini Menyapa Dunia
volcano.si.edu
Napoleon Bonaparte, 100
hari selepas hari kebebasannya atau 18 Juni 1815. Ia bergerak
menggempur pasukan koalisi yang dipimpin Laksamana Wellington, di
Waterloo atau 15 km selatan Brussels, Belgia. Ternyata perang yang
disebut Pertempuran Waterloo tersebut merupakan babak
pamungkas dari sepak terjang
Napoleon.
Kekalahan Napoleon
sebetulnya tidak diperhitungkan, karena dia dan pasukannya sangat
siap. Sayang, cuaca yang tidak semestinya muncul. Pada saat
penyerangan, terjadi hujan lebat yang menimbulkan banjir sehingga
sulit baginya untuk membawa meriam-meriam berat. Napoleon memutuskan
untuk menunggu tanahnya mengering, tetapi sayang hal itu tidak
terjadi. Napoleon takluk dan kekaisaran Prancis juga tumbang.
Barangkali Napoleon
tidak pernah membayangkan adanya hujan deras yang turun pada bulan
Juni. Sebab, biasanya pada Juni sudah tidak ada hujan karena akan
memasuki musim panas. Namun, kenyataan berkata lain. Karena nun jauh
di sana, atau tiga bulan sebelumnya, ada peristiwa mahadahsyat yakni
meletusnya Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat pada 10 April 1815.
Meski tidak terdengar letusannya, tetapi abu letusan Tambora sampai
ke lapisan stratosfir yang dimungkinkan menyublim di langit Eropa,
sehingga hujan deras masih terjadi.
Bahkan, dalam catatan
sejarah menyebutkan, tahun 1816, disebut sebagai “the year without
summer”. Debu vulkanis Gunung Tambora telah menghalangi sinar
matahari, sehingga tidak muncul musim panas. Dampaknya, musim dingin
di Eropa dan Amerika Utara bertambah panjang. Sedangkan Australia dan
Afrika Selatan turun salju saat musim panas.
Suhu bumi yang
diperkirakan menurun sampai 0,5 derajat Celcius itu membuat perubahan
yang dahsyat. Dampaknya gagal panen di mana-mana. Kelaparan dan wabah
penyakit pun terjangkit di hampir seluruh belahan dunia.
Letusan Tambora dicatat
paling dahsyat dalam sejarah manusia modern. Magnitudo
letusan Tambora, berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI), berada
pada skala 7 dari 8, hanya kalah dari letusan Gunung Toba (Sumatera
Utara), sekitar 74.000 tahun lalu, yang berada pada skala 8.
Gunung yang sebelumnya
memiliki ketinggian 4.200 meter di atas permukaan laut (mdpl)
tersebut terpotong hingga 1.500 mdpl menjadi 2.700 mdpl. Isi dari
perut gunung juga dimuntahkan dengan meninggalkan kawah hingga
sedalam 1.100 meter dan diameter 6,2 km. Total volume Tambora yang
dikeluarkan mencapai 150 miliar meter kubik. Padahal, Gunung Merapi
yang meletus tahun 2010 silam “hanya” memuntahkan 140 juta meter
kubik. Abu yang dilontarkan terdeteksi hingga 1.300 km dari lokasi
setempat. Jumlah
total gabungan awan panas (piroklastik) dan batuan totalnya 874
kilometer persegi. Ketebalan awan panas rata-rata 7 meter, tetapi ada
yang mencapai 20 meter. Dalam
radius sekitar 600 km dari Tambora gelap gulita sepanjang hari hampir
sepekan.
Dampak yang ditimbulkan
sungguh dahsyat. Tiga kerajaan yang berjaya sebelum Tambora meletus
seperti Kerajaan Sanggar, Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pekat, sama
sekali tidak lagi tersisa. Korban tewas diperkirakan 91 ribu orang.
Dari jumlah tersebut, 10 ribu di antaranya tewas akibat tersapu badai
awan panas. Sisanya, sekitar 81 ribu lainnya adalah dampak sekunder
akibat kelaparan dan penyakit yang muncul pascaletusan.
Empat tahun selepas
letusan, ahli Botani asal Belanda, Junghuhn pernah menuliskan kalau
sejauh mata memandang, yang terlihat di lautan hanya batu apung.
Kepunahan benar-benar nyata di pelupuk mata. Bumi seakan menjadi
kosong.
Waktu berjalan.
Pelan-pelan, hancurnya peradaban akibat letusan Tambora mulai
bergerak. Pulau Sumbawa, tempat Tambora, kembali menggeliat. Bahkan,
selepas 200 tahun sejak letusan, Tambora telah menjadi gunung yang
terus didatangi oleh pengunjung. Sejarah kedahsyatan letusannya,
mampu menarik kunjungan warga domestik maupun manca. Alam di Tambora
juga kaya akan fauna, seperti jenis burung kakaktua kepala putih,
nuri merah, ayam hutan, elang dan gagak. Lainnya, adalah musang,
biawak, landak, monyet dan sebagainya.
Untuk mendaki ke puncak
Tambora, dapat melalui sejumlah pos pendakian. Di antaranya dari
jalur barat dimulai dari Desa Pancasila sampai ke kaldera barat
dengan membutuhkan waktu 2-3 hari. Sedangkan dari utara, melalui Desa
Kawind Nae sampai ke kaldera utara. Jaraknya lebih pendek dan lebih
cepat sampai. Sementara kalau melalui Desa Doropeti, bisa menggunakan
mobil. Mobil dapat mencapai ketinggian hingga 1.200 mdpl dilanjutkan
dengan jalan kaki 2-3 jam. Meski lelah, tetapi jika sampai di sana,
sepertinya hilang segala penat. Dengan sapaan sinar matahari pagi
yang sungguh luar biasa visualnya.
Wisata Tambora, di Nusa
Tenggara Barat, menjadi magnet luar biasa, terutama bagi wisatawan
manca negara. Apalagi, kesejarahan membuktikan jika Tambora memiliki
misteri ilmu pengetahuan yang bisa diungkap. Inilah wisata kelas
dunia. Wisata yang tidak saja melihat keindahan alam, tetapi juga
mengungkap misteri masa lalu Tambora melalui perjalanan ke sana.
Pengunjung bisa jadi bukan hanya warga awam semata, melainkan juga
para ahli di bidangnya untuk menambah khazanah kelilmuan mereka.
Tak salah, jika kemudian Pemprov Nusa Tenggara Barat, telah memastikan ada satu acara dahsyat di Tamborsa yang bakal dihelat tahun 2015 mendatang. Sengaja, jauh-jauh hari rencana dimunculkan, agar pada puncaknya, 11 April 2015 atau dua abad kedahsyatan letusan Tambora, pengunjung dapat merasakan auranya. Tentu saja, bukan kedahsyatan letusan, tetapi aura Tambora yang menyapa dunia. Tambora yang siap dinikmati dan dieksplorasi dari berbagai disiplin keilmuan.
Di sana, anda ditunggu.
Siapapun Anda. Warga biasa, petualang,
backpacker, wisawatan, bahkan ilmuwan sekalipun. Itulah Tambora, yang
siap menyatukan perbedaan sesuai dengan kepentingan masing-masing.
Yang pasti bukan rasa kekhawatiran,
namun kesukacitaan bersama.
Inilah Nusa Tenggara
Barat. Wisata yang tersaji tak hanya sebatas alam indah yang
mengasyikkan untuk dinikmati. Pantainya yang aduhai dipadu dengan
kondisi alam yang eksotik, menjadi daya tarik bagi mereka yang
datang. Keindahkan alam itu, kemudian dipadu dengan beragam adat
istiadat yang budaya masyarakatnya. Imaji bakal tercipta dan
diejawantahkan melalui tulisan dan rekam gambar. Eiittt...tidak hanya
itu. Sejatinya yang lebih misteri dan mengguncang hati adalah ketika
berziarah ke masa lampau, lewat wisata Tambora. (Lilik Darmawan)
Referensi
1. Harian Kompas
2. Majalah NGI
3. Majalah
Ilmiah Populer: EKSPEDISI GEOGRAFI INDONESIA 2010 NUSA TENGGARA BARAT
– BAKOSURTANAL
Senin, 13 Oktober 2014
Perjumpaan Tiga Peradaban di Atas Awan
Kabut putih tebal menyergap setiap tempat yang dilewati. Suhu udara yang
hanya 8 derajad Celcius menjadikan suasana seperti diguyur hujan. Di
mana-mana basah, udara menjadi embun. Begitulah kondisi Kompleks Candi
Arjuna, Dataran Tinggi Dieng, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah
(Jateng) yang berada pada ketinggian 2.093 meter di atas permukaan laut
(mdpl).
Dingin yang menyergap di “negeri atas awan” itu mulai terasa hangat begitu
alunan musik jazz mengalun. Beberapa waktu lalu, anak-anak muda di
Kawasan Dieng sengaja menggelar musik jazz dengan tajuk Jazz di Atas Awan.
Konsep itu memang cukup unik, meski bukanlah yang pertama. Musik jazz yang
biasanya dihelat secara ekslusif, mulai ditawarkan pada penduduk di
pegunungan.
Musik itu seperti dikembalikan ke khitah sebenarnya. Jazz yang berkembang
di Amerika abad 20 sejatinya memiliki akar musik Afrika dan Eropa.
Perpaduan musik itulah yang membuat jazz menjadi universal karena mampu
menyuguhkan dialoh antarkultur. “Konsep pagelaran jazz di Dieng
sederhana. Kami ingin mengenalkan musik kepada khalayak di Dieng. Sungguh,
luar biasa atensi masyarakat, karena umumnya mereka baru pertama kali
menyaksikan pagelaran jazz,”ujar penggagas Jazz di Atas Awan, Budi
Hermanto.
Pagelaran yang sengaja berada di depan candi membuat mata akan melihat
komposisi dahsyat. Sebuah peradaban tampaknya telah bertemu. Jazz dari
Amerika dengan memadukan musik Afrika dan Eropa bertemu dengan mahakarya
candi khas Hindu yang berakar dari India. Barangkali tak pernah terfikir
oleh Wangsa Syailendra kalau peradaban yang dibangunnya akan bertemu
dengan peradaban lainnya.
Dieng telah lebih dulu menjadi pusat peradaban pada abad 9 hingga 13.
Selama 400 tahun, diyakini para ahli sejarah dan arkeologi kalau
candi-candi Dieng yang merupakan candi tertua di Jawa sebagai mahakarya
ahli arsitektur pada saat itu. Dieng juga dijadikan sebagai pusat pemujaan
kalangan Hindu. Bahkan, arkeolog asal Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta Jajang Agus Sonjaya mengatakan jika Dieng menjadi salah satu
pusat pendidikan arsitektur selain sebagai pusat agama.
“Jika dilihat secara seksama, pahatan-pahatan yang ada di candi Dieng
terus mengalami perkembangan. Sentuhan kultur India yang masuk ke Dieng
dapat dilihat adanya Arca Kudu di Candi Bima. Namun demikian, pahatan
atau arsitektur yang dibangun lebih kreatif, karena merupakan hasil
pengembangan pendidikan arsitek kala itu,”jelasnya.
Candi yang ditemukan oleh tentara Inggris tahun 1814 itu, berdiri dalam
lingkungan yang pas. Bagaimana tidak, sejak komunitas Hindu meninggalkan
candi dan digantikan oleh masyarakat Muslim, tidak lantas candi
dihancurkan. Masyarakat Dieng secara bijak tidak mengganggu. Bahkan, dalam
perkembangannya menjadikan Candi Dieng sebagai aset berharga bagi
masyarakat setempat.
“Candi Dieng merupakan mahakarya dari peradaban Hindu. Namun, tidak lantas
warga Muslim tidak mau menjaganya. Masyarakat di sini toleran, apalagi
saat ini hampir tidak tersisa sama sekali masyarakat Hindu yang bermukim
di Dieng. Masyarakat justru menjadikan candi sebagai kekayaaan yang tidak
seluruh daerah memilikinya,”ujar Alif Rahman, seorang tokoh pemuda Desa
Dieng Kulon, Kecamatan Batur.
Pascaperadaban Hindu, di lingkungan masyarakat Dataran Tinggi Dieng muncul
fenomena unik yang hingga kini masih terus terjadi. Yakni munculnya
anak-anak berambut gimbal. Rambut gimbal itu tumbuh dengan sendirinya,
setelah anak-anak mengalami sakit panas. Secara medik, belum pernah
dilakukan riset. Hanya saja dipastikan, jika anak-anak berambut gimbal itu
pasti muncul dari keturunan masyarakat di Dieng. Memang tidak seluruh anak
di kawasan itu berambut gimbal, hanya pada anak-anak tertentu.
Pemangku adat di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Naryono, 63,
mengungkapkan jika rambut gimbal yang muncul pada anak-anak di Kawasan
Dieng telah ada sejak ratusan tahun silam. Anak-anak yang rambutnya gimbal
merupakan titipan Anak Bajang dari Samudra Kidul. Mereka merupakan titisan
dari Eyang Agung Kolotede bagi anak laki-laki dan perempuan merupakan
titisan dari Nini Dewi Roro Ronce.
“Kalau ingin menghilangkan rambut gimbal harus diruwat. Mereka diminta
untuk mengajukan permintaan dan harus dipenuhi oleh keluarganya. Setelah
dipenuhi, mereka baru dipotong rambutnya dan rambut gimbal tidak tumbuh
lagi,”ujarnya.
Prosesi pencukuran rambut gimbal tersebut memberikan berkah bagi
masyarakat setempat, karena mampu mengundang ribuan wisatawan untuk datang
menyaksikan. Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dieng Pandawa Alif
Faozi mengungkapkan hampir setiap tahun sekali, anak-anak yang telah siap
dipotong rambutnya akan dikumpulkan. “Mereka diarak keliling desa bersama
tetua adat. Proses pemotongan dilakukan di Kompleks Candi Arjuna. Dalam
empat tahun terakhir, perhelatan itu telah dikemas menjadi wisata budaya,
Dieng Culture Festival (DCF). Orang tua yang memiliki anak dimudahkan
karena kami memfasilitasi dan prosesi itu menjadi wisata budaya karena
merupakan tontotan langka,”kata Alif.
Prosesi pemotongan rambut gimbal tersebut, sangat kental dengan nuansa
peradaban Jawa. Tidak hanya dari pakaian Kejawen yang mereka kenakan,
namun saat pemotongan rambut gimbal juga diiringi dengan tembang macapat,
Dandhanggula. Syair dari Dandhanggula itu sejatinya adalah doa permohonan
keselamatan untuk anak-anak yang diruwat.
Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Jateng Sri Ediningsih menyatakan
tidak ada masalah dengan kawasan cagar budaya digunakan untuk prosesi
pemotongan rambut gimbal. “Yang paling penting adalah masyarakat menjaga
keberadaan candi sebagai mahakarya peradaban masa lampau agar tetap bisa
dinikmati anak cucu mendatang. Termasuk ada gelaran Jazz di Atas Awan.
Karena sebetulnya perhelatan itu juga dikatakan sebagai “syiar” kekayaan
budaya besar yang pernah dimiliki bangsa ini,”ujar Sri.
Kekayaan budaya yang ada di Dieng sesungguhnya memang tidak ternilai
harganya. Dan ternyata, tak hanya mahakarya zaman Hindu yang berupa candi
atau kultur ruwatan pemotongan rambut gimbal saja. Tetapi musik jazz juga
bisa dibawa dan dinikmati masyarakat sekitar serta para wisatawan. Di
kawasan itu, tiga peradaban bertemu. Dan yang penting bukan untuk saling
berseteru. Sebaliknya, membuat pengkayaan kultur dalam membangun peradaban
masa depan. (lilik darmawan)
Minggu, 06 April 2014
Indonesia Hebat, Indonesia Raya
Tiba-tiba suasana
hening. Tak ada lagi kata. Atau tepuk tangan membahana. Lalu, air
mata menetes di dua mata yang bening itu. Bibirnya kemudian
mengucapkan sesuatu. “Inginnya saya, Indonesia Raya...” Begitulah
ucapan seorang
Megawati Soekarnoputri saat berada di panggung Mata Najwa yang tayang
di Metro TV.
Kalimat “Indonesia
Raya” yang diucapkan Mega bagai sebuah misteri. Ternyata itulah
sejatinya mata hati Mega. Dalam satu kesempatan di Purwokerto, Jawa
Tengah, putri Mega, Puan Maharani, mengungkap apa sesungguhnya arti
dari “Indonesia Raya”. Ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah
isi dari lagu kebangsaan negeri ini.
Saya kemudian mencoba
untuk mencari tahu lirik lagu gubahan WR Supratman itu secara
lengkap. Mega ternyata memang memahami betul apa yang ada pada lagu
kebangsaan itu. Ada sejumlah lirik
yang memang menggetarkan. Sekelumit
di antaranya adalah bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, suburlah
tanahnya, suburlah jiwanya, sadarlah hatinya, sadarlah budinya,
slamatlah rakyatnya, slamatlah putranya.
Isi dari lirik
“Indonesia Raya” adalah
ke-Indonesia-an. Bahwa Indonesia adalah tanah yang kaya. Apa yang
tidak ada di negeri zamrud
khatuliswa ini? Tanah yang subur, alam begitu elok, perut bumi yang
tambun tambang. Belum lagi kebudayaan yang begitu kaya serta
sumberdaya manusia yang luar biasa.
Begitu
hebatnya Indonesia, sampai-sampai sejak awal kemerdekaan, Bung Karno
menyatakan,”
Tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita masih
memiliki martabat.” Bung Karno tahu betul, sebuah bangsa harus
memiliki percaya diri yang kuat. Dengan begitu maka bangsa akan
bermartabat dan berani bersaing dengan negara lain, bahkan kalau
perlu tampil menjadi pemimpin.
Kondisi
Indonesia ketika Bung Karno menyatakan hal itu, barangkali belum
seperti sekarang. Tetapi, sang proklamator itu membalikkan cara
berfikir dari pesimis menjadi optimis. Bayangkan ketika pernyatannya
seperti ini, “Kita harus sadar bahwa gigi kita belum kuat.”
Inilah mengapa kemudian, cara pandang terhadap negeri kaya ini harus
diubah.
Dalam
perkembangan di kemudian hari, banyak persoalan menimpa negeri ini.
Mulai dari korupsi, degradasi lingkungan, ketimpangan sosial dan
sebagainya. Boleh dikatakan Indonesia memang sedang sakit. Namun,
apakah harus terus pesimis terhadap kondisi bangsa. Bukanlah lebih
baik kemudian muncul kalimat Indonesia sedang bangkit? Apa
yang dikatakan Megawati menjadi acuan untuk menjadikan bangsa ini
tampil lebih percaya diri. “Berhenti pesimis pada negeri ini. Kita
kembalikan harga diri dan kehebatannya.”
Lalu
dimulai dari mana untuk menjadikan Indonesia hebat? Dari
pemimpin. Keberadaannya sangat
penting, bagaimana mengarahkan bangsa dan rakyatnya. Pemimpin adalah
nahkoda kapal bernama Indonesia. Ia
harus memiliki visi
mau ke mana tujuannya. Nahkoda lah yang mampu mengendalikan kapal
yang diterjang topan dan gelombang agar tetap selamat dan bertahan.
Di
sisi lain, ia juga harus menjadi pelayan. Melayani dengan sepenuh
hati, karena dia pengemban amanah dari rakyat.
Pastilah
tidak gampang menjadi pemimpin bangsa besar ini. Dibutuhkan sosok
yang tahu betul mengenai identitas ke-Indonesia-an dan menyelami
seluruh persoalan bangsa. Benar, barangkali memang
terlalu
banyak masalah yang terjadi saat sekarang. Namun, tidak berarti
masalah itu tidak ada solusi. Tinggal bagaimana niatan seorang
pemimpin. Apakah hanya mengejar kekuasaan atau menjadikan
kekuasaan sebagai alat memajukan bangsa dan menyejahterakan
rakyatnya.
Kini,
di tahun politik, sesungguhnya bisa dijadikan tonggak untuk memilih
pemimpin yang bisa menjadikan Indonesia hebat. Modalnya sudah ada,
tanah air yang kaya dan sumberdaya manusia yang luar biasa. Pemimpin
harus mulai mengajak cara pandang soal Indonesia dari sisi optimisme.
Tentu
saja, seorang pemimpin tidak dapat bergerak sendiri. Dibutuhkan
infrastruktur gerakan dari bawah yang kuat untuk menuju cita-cita
bersama. Bangunan optimisme dengan mengubah cara pandang tentang
Indonesia senantiasa harus digelorakan.
Bukan lagi Indonesia sedang sakit, tetapi Indonesia sedang bangkit. Tidak lagi Indonesia sekarat, tetapi Indonesia hebat. (***)
Sabtu, 05 April 2014
Caleg Perempuan, Garda Penyelamat Generasi Mendatang
Menyelamatkan
generasi mendatang kok
harus pilih perempuan? Apakah tidak terlalu mengada-ada?
Mari
memulai dari penelusuran ranking human development index (HDI) yang
dirilis tahun 2013. Sejumlah negara seperti Norwegia, Jepang,
Australia, Skandinavia dan Swedia masuk dalam daftar “very high”
pembangunan manusia. Salah satu faktor utama adalah negara-negara itu
berhasil menjalankan program air susu ibu (ASI) eksklusif bagi
keturunannya. Negara setempat memiliki kebijakan yang memproteksi
bagaimana membangun generasi masa depan secara baik. Bahkan, di
Skandinavia, seorang suami yang isterinya memberi ASI eksklusif
mendapatkan cuti satu tahun dan tetap dibayar.
Pada
rilis HDI itu, Indonesia masih menempati ranking 121 atau masuk dalam
kategori “medium” pembangunan manusia. Secara kritis, sosiolog
asal Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Deshinta Dwi Asriani seperti
dikutip dari laman UGM mengungkapkan program ASI eksklusif di
Indonesia masih memposisikan perempuan sebagai obyek atas tubuhnya
sendiri. Sebagian besar merujuk pada subjek anak untuk dipenuhi
haknya mendapat ASI eksklusif. Selain perempuan yang masih
ditempatkan sebagai objek, kebijakan yang mengatur pemberian cuti
panjang maupun pemenuhan fasilitas bagi perempuan masih belum
terlaksana secara baik.
Deshinta
menganggap, masih harus ada pembenahan dalam konteks masalah
tersebut. Inilah pentingnya sentuhan perempuan dalam memproduksi
kebijakan-kebijakan yang erat kaitannya dengan masalah keperempuanan.
Pada
bagian lain, persoalan kesehatan reproduksi dan seksualitas
membutuhkan uluran tangan seorang perempuan. Sebab, sebuah produk
perundang-undangan, misalnya, akan lebih komprehensif dan memberikan
manfaat jika dihasilkan oleh kaum yang mengerti persoalan dan
mengalaminya.
Apakah
laki-laki akan mampu memproduk sebuah kebijakan perundangan yang
menyangkut masalah perempuan? Jelas bisa. Tetapi, lelaki hanya dapat
melihat fenomena tanpa pernah mengalami dan merasakan. Dengan fakta
semacam ini, tentu saja perempuan akan menjadi garda depan untuk
menghasilkan produk-produk perundangan yang peduli gender.
Belum
lagi soal proteksi terhadap buruh migran Indonesia (BMI) perempuan.
Sementara ini masih banyak kasus yang menimpa BMI. Salah satu yang
mencuat dan masih hangat adalah Satinah. Problem semacam itu bakal
terus muncul jika tidak segera ada kebijakan yang lebih protektif.
Sebab, merujuk pada kasus Satinah, pemerintah baru tahu ketika
Satinah berada di tahanan dan mendapat vonis qisas. Setelah 7 tahun
dalam bayang-bayang hukuman mati, barulah tahun 2014 kasusnya
mendapatkan titik terang, apalagi setelah masyarakat sipil melakukan
gerakan.
Tentu
saja, kasus semacam ini membutuhkan kehadiran negara dari awal untuk
melindungi warga negaranya. BBC Indonesia sempat mengangkat perbedaan
kebijakan negara antara Indonesia dan Filipina yang sama-sama
memiliki buruh migran besar di Arab Saudi. Ada perbedaan komitmen
hukum antara kedua negara.
Direktur
Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan Filipina sudah sejak
tahun 1995 meratifikasi konvensi buruh migran yang menjelaskan
hak-hak pekerja negara itu. Sementara Indonesia baru saja tahun 2012
silam. Sehingga dalam praktiknya, Indonesia masih tertinggal dengan
negara tetangga tersebut.
Salah
satu yang disorot mantan Atase Tenaga Kerja KBRI di Riyadh, Sukamto
Javaladi, adalah minimnya jumlah perwakilan. Filipina memiliki kantor
perwakilan di setiap ibukota provinsi yang berstatus pegawai negeri.
Sehingga mereka lebih cepat mengetahui berbagai kasus yang menimpa
buruh migran Filipina. Sejauh ini, Indonesia kerap terlambat
mengetahui.
Inilah
persoalan yang sejatinya dapat diperbaiki pada masa-masa mendatang.
Seorang anggota legislatif perempuan akan lebih peka dan memahami
masalah buruh migran perempuan, sehingga dapat memproduk sebuah
kebijakan yang lebih protektif.
Di
sisi lain, ada masalah besar dalam keluarga ketika perempuan menjadi
buruh migran. Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak
mendampingi keluarga buruh migran di Banyumas, Jawa Tengah, Seruni,
misalnya membeberkan fakta yak tak kalah memprihatinkan. Umumnya,
anak-anak buruh migran tidak mendapatkan perhatian sepenuhnya dari
orang tua akibat ditinggal ke manca negara.
Karena
itulah, Seruni mengembangkan pola asuh anak buruh migran. Salah
seorang aktivisnya, Lili Purwani, menyatakan pihaknya tengah
melakukan riset di tiga kecamatan Kabupaten Banyumas untuk membuat
pola asuh yang tepat. Agar anak-anak buruh migran tidak telantar atau
bahkan terjerumus pada pergaulan dan lingkungan yang salah.
Persoalan
yang menyangkut perempuan dan anak-anak sebagai generasi mendatang,
masih bejibun. Caleg
perempuan yang cocok untuk membenahinya. Apalagi, dalam catatan
Komnas Perempuan, masih ada 342 peraturan yang masih diskriminatif
terhadap hak-hak perempuan. Dengan sentuhan perempuan, kebijakan
mengenai anak-anak juga bakal lebih tertata. Merekalah yang nantinya
menjadi garda depan sebagai penyelamat generasi mendatang. Karena
mereka seorang ibu, yang tahu persis bagaimana menyiapkan anak-anak
cerdas bangsa ini.
Namun
demikian, sesungguhnya gerakan ini jangan mandek pada gerakan memilih
caleg perempuan, tetapi bagimana mendorong partai politik untuk
menyiapkan ruang pendidikan politik bagi perempuan. Memilih caleg
perempuan? Mari....(***)
Jumat, 28 Maret 2014
Meredam Pemanasan Global dari Meja Makan
Pernah
mendengarkan lagu “Gemerlap Kota” dari Slank? Ya, syair lagu itu
bercerita mengenai Boy dan Udin, sebuah kisah dua anak yang timpang
secara sosial. Udin hanya hanyut dalam impiannya, sedangkan Boy
menghamburkan impiannya. Boy mewakili strata masyarakat menengah
atas dan tentu saja uang bukanlah persoalan. Sehingga apa pun bisa ia
dapatkan dengan mudah. Dari rumah, misalnya, sudah membawa mobil
dengan mesin di atas 2.000 CC, dan makan pun di sebuah restoran mewah
dengan sajian makanan dari bahan-bahan impor.
Gaya
hidup semacam itu barangkali telah menjadi hal biasa di kota
megapolitan, bahkan kini sudah merasuk di kota-kota lainnya. Padahal
sejatinya pola hidup semacam itu menjadi persoalan serius lingkungan
yang menyumbang gas efek rumah kaca.
Lalu,
apa hubungannya gaya hidup dengan pemasanan global? Mari diteliti.
Jejak karbon dimulai ketika Boy sebagai representasi kelas menengah
atas membawa mobil dengan CC besar keluar dari rumah. Apalagi di
sepanjang perjalanan pasti menyalakan AC. Jejak karbon telah dimulai
rumah, berkeliling kota, hingga di sebuah restoran.
Lebih-lebih,
jika restoran tersebut hanya menyajikan menu dengan bahan impor.
Jelas makanan itu meninggalkan jejak karbon. Tetapi bukan berarti
makanan yang disajikan mengandung karbon. Namun, perjalanan bahan
makanan tersebut sejak dari negara asalnya. Jejak karbon
teridentifikasi dari kendaraan pengangkut hingga kapal pembawa. Dari
pelabuhan diangkut lagi dengan kendaraan untuk disetorkan ke
restoran-restoran tersebut. Begitu banyak karbon yang dihasilkan
hanya untuk menjadi menu di meja makan.
Contoh
paling nyata adalah ketika orang mengonsumsi steak dari daging sapi.
Hubungan daging sapi dengan pemanasan global dirinci oleh riset yang
dilakukan oleh FAO, lembaga PBB bidang pangan. Dalam riset yang
diterbitkan tahun 2006 yang diberi judul Livestock's
Long Shadow: Enviromental Issues and Options
, terungkap kalau sektor peternakan memiliki andil signifikan dalam
memanaskan suhu bumi akibat pelepasan karbon.
Industri
peternakan tersebut menyumbang 18 persen emisi gas rumah kaca.
Presentase itu lebih tinggi ketimbang gabungan emisi gas rumah kaca
seluruh transportasi di seluruh dunia yang menyumbang 13 persen.
Secara rinci, sektor peternakan menyumbang 9 persen karbondioksida,
37 persen gas metana yang memiliki efek pemanasan global 72 kali
lipat dari CO2, dan 65 persen dinitrogen oksida yang mempunyai efek
pemanasan 296 kali lipat ketimbang CO2. Bahkan, peternakan juga
menimbulkan 64 persen amonia yang berpotensi mengakibatkan hujan
asam.
Tak
hanya itu, sektor peternakan telah mengubah 70 persen hutan Amazon
jadi ladang untuk ternak. Di AS, triliunan galon air irigasi atau 85
persen sumber air bersih dipakai untuk peternakan. Sementara di
Australia, emisi gas rumah kaca peternakan sudah melampaui emisi dari
PLTU batu bara. Dalam 10 tahun, sektor peternakan negeri Kanguru itu
menyumbang 3 juta ton metana atau 216 juta ton CO2, sementara PLTU
batu bara hanya menyumbang 180 juta ton CO2.
Riset
tersebut juga menyebutkan kalau jejak karbon dimulai dari pembuatan
dan pengadaan pakan ternak, kemudian emisi karbon dari pencernaan
hewan serta dari pengolahan dan pengangkutan daging hewan ternak ke
konsumen. Dari ketiga jejak itu, yang paling besar adalah pengadaan
pakan ternak. Yakni penggunaan bahan bakar fosil untuk pupuk
menyumbang 41 juta ton CO2, penggunaan bahan bakar fosil di
peternakan 90 juta ton CO2, alih fungsi lahan menyumbang 2,4 miliar
ton CO2, pengolahan tanah untuk menghasilkan pakan mencapai 28 juta
ton CO2 dan lainnya.
Gerakan
Penyadaran
Sementara
ini, sebagian besar orang yang tidak sadar jika memakan sepotong
daging ternyata telah berkontribusi terhadap pemanasan global. Riset
oleh Gidon Eshel dan Pamela Martin dengan judul Diet, Energy and
Global Warming tahun 2006, merunut jejak karbon dari sepotong daging.
Dalam publikasi di jurnal Earth Interaction, ilmuwan dari University
of Chicago’s itu menyatakan jika orang mengganti makanan dari
hewani ke nabati, maka akan mencegah emisi CO2 ke udara sebanyak 1,5
ton per orang. Hal itu lebih efektif jika dibandingkan dengan orang
mengganti Toyota Camry ke mobil Toyota Prius hybrid sekalipun yang
ternyata hanya mampu mencegah 1 ton emisi CO2.
Kini
di tahun 2013, United Nations Environment Programme (UNEP) sadar akan
pentinyanya pengaruh makanan terhadap lingkungan dengan menggelorakan
kampanye penyelamatan lingkungan dengan tema: Think, Eat, Save.
Tematik itu mengajak masyarakat dunia berpikir sebelum menyantap
makanan guna menyelamatkan lingkungan. Dalam paparannya, UNEP
menyoroti begitu banyaknya makanan yang terbuang dalam setahun.
Berdasarkan laporan FAO, ada setidaknya 1,3 miliar ton makanan yang
terbuang. Ironisnya, pada saat yang sama ada 1 dari 7 orang di dunia
kelaparan dan lebih dari 20 ribu anak balita mati kelaparan.
Karena
itulah, UNEP mengajak masyarakat agar sadar akan ketidakseimbangan
yang terjadi sekarang. UNEP menyoroti gaya hidup yang berpengaruh
buruk terhadap lingkungan. Padahal, menurut UNEP, pilihan makanan
yang dikonsumsi akan menjadi sumbangan penting bagi penyelamatan
lingkungan. Sebagai contoh, untuk memroduksi 1 liter susu saja,
dibutuhkan sekitar 1.000 liter air. Bahkan, ada 16 ribu liter untuk
sapi guna membuat hamburger. Celakanya, banyak makanan yang
menghasilkan efek rumah kaca tersebut dibuang-buang.
Dari
apa yang dikampanyekan UNEP, sesungguhnya tidak sulit ikut serta
mempedulikan bumi, meredam pemanasan global. Sederhana saja, dari
meja makan. Karena kepedulian terhadap lingkungan dapat dilakukan
hanya dengan membuat keputusan mengubah menu makanan yang ramah
lingkungan. Tentu semua orang bisa, tinggal proses penyadaran yang
harus terus digelorakan.
Alternatif
pilihan adalah menggerakkan masyarakat menjadi vegetarian. Barangkali
terasa sangat ekstrem ketika meminta orang untuk tidak makan daging
dan hanya sayuran. Bahkan, ada yang lebih sadis mengatakan, masak
setiap hari seperti kambing yang harus makan sayur. Apalagi, dalam
gaya hidup modern, lebih banyak restoran yang menyajikan makanan dari
daging. Bahkan, banyak yang merasa lebih keren jika dapat makan di
restoran penyaji daging, apalagi kalau bahan-bahannya impor.
Kalau
ada orang yang kampanye semacam itu, barangkali akan ada ucapan
“duit-duitnya
gue, masbuloh….” Memang
tidak gampang, tetapi bukan sesuatu yang mustahil juga. Pendekatan
kesehatan kemungkinan bisa menjadi pintu masuknya.
Dari
berbagai riset yang ada, semisal American
Institute for Cancer Research,
vegetarian secara signifikan mengurangi risiko kanker, termasuk jenis
kanker perut, usus, pankreas, payudara, rahim, dan kanker ovarium.
Pola konsumsi ini juga memperbaiki langsung kadar kolesterol, tekanan
darah, kadar gula darah, sistem kekebalan, dan kesehatan pencernaan.
Penelitian
lainnya seperti yang dipublikasikan oleh British
Journal of Health Psychology
terhadap 300 orang dewasa, menyebutkan, kalau pola diet vegetarian
ternyata lebih banyak energi . Yang cukup menakjubkan, ternyata
suasana hati mereka lebih tenang dan rasa lebih bahagia.
Sejalan
dengan itu, kampanye makanan lokal juga dapat digarap. Sebab, makanan
lokal memiliki jejak karbon yang tidak terlalu panjang. Bahkan karbon
tidak dihasilkan, karena tanaman itu ada di pekarangan rumah
masing-masing, sehingga distribusinya tidak menggunakan kendaraan.
Apalagi, makanan lokal biasanya tidak memerlukan pestisida, bahkan
tanpa pupuk.
Sejauh
ini, makanan lokal masih dipadang sebelah mata. Itu hanya menjadi
makanan si Udin dan belum sampai ke si Boy. Sebuah tantangan besar
untuk mengangkat derajat makanan lokal sehingga orang lebih bangga
menyantap singkong atau ganyong, bukan hotdog atau hamburger. Dan
sejatinya, pilihan ada di depan meja makan, mau makanan yang sehat
dan ramah lingkungan atau makanan yang menyumbang pemanasan global.
Kampanye
ini sejalan dengan apa yang diselenggarakan WWF melalui blog.
Ingat lingkungan, karena itulah titipan anak cucu mendatang yang
harus dijaga.
Langganan:
Postingan (Atom)