Minggu, 06 April 2014

Indonesia Hebat, Indonesia Raya




Tiba-tiba suasana hening. Tak ada lagi kata. Atau tepuk tangan membahana. Lalu, air mata menetes di dua mata yang bening itu. Bibirnya kemudian mengucapkan sesuatu. “Inginnya saya, Indonesia Raya...” Begitulah ucapan seorang Megawati Soekarnoputri saat berada di panggung Mata Najwa yang tayang di Metro TV.


Kalimat “Indonesia Raya” yang diucapkan Mega bagai sebuah misteri. Ternyata itulah sejatinya mata hati Mega. Dalam satu kesempatan di Purwokerto, Jawa Tengah, putri Mega, Puan Maharani, mengungkap apa sesungguhnya arti dari “Indonesia Raya”. Ternyata tidak lain dan tidak bukan adalah isi dari lagu kebangsaan negeri ini.


Saya kemudian mencoba untuk mencari tahu lirik lagu gubahan WR Supratman itu secara lengkap. Mega ternyata memang memahami betul apa yang ada pada lagu kebangsaan itu. Ada sejumlah lirik yang memang menggetarkan. Sekelumit di antaranya adalah bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, suburlah tanahnya, suburlah jiwanya, sadarlah hatinya, sadarlah budinya, slamatlah rakyatnya, slamatlah putranya.


Isi dari lirik “Indonesia Raya” adalah ke-Indonesia-an. Bahwa Indonesia adalah tanah yang kaya. Apa yang tidak ada di negeri zamrud khatuliswa ini? Tanah yang subur, alam begitu elok, perut bumi yang tambun tambang. Belum lagi kebudayaan yang begitu kaya serta sumberdaya manusia yang luar biasa.


Begitu hebatnya Indonesia, sampai-sampai sejak awal kemerdekaan, Bung Karno menyatakan,” Tunjukkan bahwa kita masih memiliki gigi yang kuat dan kita masih memiliki martabat.” Bung Karno tahu betul, sebuah bangsa harus memiliki percaya diri yang kuat. Dengan begitu maka bangsa akan bermartabat dan berani bersaing dengan negara lain, bahkan kalau perlu tampil menjadi pemimpin.


Kondisi Indonesia ketika Bung Karno menyatakan hal itu, barangkali belum seperti sekarang. Tetapi, sang proklamator itu membalikkan cara berfikir dari pesimis menjadi optimis. Bayangkan ketika pernyatannya seperti ini, “Kita harus sadar bahwa gigi kita belum kuat.” Inilah mengapa kemudian, cara pandang terhadap negeri kaya ini harus diubah.


Dalam perkembangan di kemudian hari, banyak persoalan menimpa negeri ini. Mulai dari korupsi, degradasi lingkungan, ketimpangan sosial dan sebagainya. Boleh dikatakan Indonesia memang sedang sakit. Namun, apakah harus terus pesimis terhadap kondisi bangsa. Bukanlah lebih baik kemudian muncul kalimat Indonesia sedang bangkit? Apa yang dikatakan Megawati menjadi acuan untuk menjadikan bangsa ini tampil lebih percaya diri. “Berhenti pesimis pada negeri ini. Kita kembalikan harga diri dan kehebatannya.”


Lalu dimulai dari mana untuk menjadikan Indonesia hebat? Dari pemimpin. Keberadaannya sangat penting, bagaimana mengarahkan bangsa dan rakyatnya. Pemimpin adalah nahkoda kapal bernama Indonesia. Ia harus memiliki visi mau ke mana tujuannya. Nahkoda lah yang mampu mengendalikan kapal yang diterjang topan dan gelombang agar tetap selamat dan bertahan. Di sisi lain, ia juga harus menjadi pelayan. Melayani dengan sepenuh hati, karena dia pengemban amanah dari rakyat.


Pastilah tidak gampang menjadi pemimpin bangsa besar ini. Dibutuhkan sosok yang tahu betul mengenai identitas ke-Indonesia-an dan menyelami seluruh persoalan bangsa. Benar, barangkali memang terlalu banyak masalah yang terjadi saat sekarang. Namun, tidak berarti masalah itu tidak ada solusi. Tinggal bagaimana niatan seorang pemimpin. Apakah hanya mengejar kekuasaan atau menjadikan kekuasaan sebagai alat memajukan bangsa dan menyejahterakan rakyatnya.


Kini, di tahun politik, sesungguhnya bisa dijadikan tonggak untuk memilih pemimpin yang bisa menjadikan Indonesia hebat. Modalnya sudah ada, tanah air yang kaya dan sumberdaya manusia yang luar biasa. Pemimpin harus mulai mengajak cara pandang soal Indonesia dari sisi optimisme.


Tentu saja, seorang pemimpin tidak dapat bergerak sendiri. Dibutuhkan infrastruktur gerakan dari bawah yang kuat untuk menuju cita-cita bersama. Bangunan optimisme dengan mengubah cara pandang tentang Indonesia senantiasa harus digelorakan.



Bukan lagi Indonesia sedang sakit, tetapi Indonesia sedang bangkit. Tidak lagi Indonesia sekarat, tetapi Indonesia hebat. (***)

















Sabtu, 05 April 2014

Caleg Perempuan, Garda Penyelamat Generasi Mendatang





Menyelamatkan generasi mendatang kok harus pilih perempuan? Apakah tidak terlalu mengada-ada?


Mari memulai dari penelusuran ranking human development index (HDI) yang dirilis tahun 2013. Sejumlah negara seperti Norwegia, Jepang, Australia, Skandinavia dan Swedia masuk dalam daftar “very high” pembangunan manusia. Salah satu faktor utama adalah negara-negara itu berhasil menjalankan program air susu ibu (ASI) eksklusif bagi keturunannya. Negara setempat memiliki kebijakan yang memproteksi bagaimana membangun generasi masa depan secara baik. Bahkan, di Skandinavia, seorang suami yang isterinya memberi ASI eksklusif mendapatkan cuti satu tahun dan tetap dibayar.


Pada rilis HDI itu, Indonesia masih menempati ranking 121 atau masuk dalam kategori “medium” pembangunan manusia. Secara kritis, sosiolog asal Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Deshinta Dwi Asriani seperti dikutip dari laman UGM mengungkapkan program ASI eksklusif di Indonesia masih memposisikan perempuan sebagai obyek atas tubuhnya sendiri. Sebagian besar merujuk pada subjek anak untuk dipenuhi haknya mendapat ASI eksklusif. Selain perempuan yang masih ditempatkan sebagai objek, kebijakan yang mengatur pemberian cuti panjang maupun pemenuhan fasilitas bagi perempuan masih belum terlaksana secara baik.


Deshinta menganggap, masih harus ada pembenahan dalam konteks masalah tersebut. Inilah pentingnya sentuhan perempuan dalam memproduksi kebijakan-kebijakan yang erat kaitannya dengan masalah keperempuanan.


Pada bagian lain, persoalan kesehatan reproduksi dan seksualitas membutuhkan uluran tangan seorang perempuan. Sebab, sebuah produk perundang-undangan, misalnya, akan lebih komprehensif dan memberikan manfaat jika dihasilkan oleh kaum yang mengerti persoalan dan mengalaminya.


Apakah laki-laki akan mampu memproduk sebuah kebijakan perundangan yang menyangkut masalah perempuan? Jelas bisa. Tetapi, lelaki hanya dapat melihat fenomena tanpa pernah mengalami dan merasakan. Dengan fakta semacam ini, tentu saja perempuan akan menjadi garda depan untuk menghasilkan produk-produk perundangan yang peduli gender.


Belum lagi soal proteksi terhadap buruh migran Indonesia (BMI) perempuan. Sementara ini masih banyak kasus yang menimpa BMI. Salah satu yang mencuat dan masih hangat adalah Satinah. Problem semacam itu bakal terus muncul jika tidak segera ada kebijakan yang lebih protektif. Sebab, merujuk pada kasus Satinah, pemerintah baru tahu ketika Satinah berada di tahanan dan mendapat vonis qisas. Setelah 7 tahun dalam bayang-bayang hukuman mati, barulah tahun 2014 kasusnya mendapatkan titik terang, apalagi setelah masyarakat sipil melakukan gerakan.


Tentu saja, kasus semacam ini membutuhkan kehadiran negara dari awal untuk melindungi warga negaranya. BBC Indonesia sempat mengangkat perbedaan kebijakan negara antara Indonesia dan Filipina yang sama-sama memiliki buruh migran besar di Arab Saudi. Ada perbedaan komitmen hukum antara kedua negara.


Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan Filipina sudah sejak tahun 1995 meratifikasi konvensi buruh migran yang menjelaskan hak-hak pekerja negara itu. Sementara Indonesia baru saja tahun 2012 silam. Sehingga dalam praktiknya, Indonesia masih tertinggal dengan negara tetangga tersebut.


Salah satu yang disorot mantan Atase Tenaga Kerja KBRI di Riyadh, Sukamto Javaladi, adalah minimnya jumlah perwakilan. Filipina memiliki kantor perwakilan di setiap ibukota provinsi yang berstatus pegawai negeri. Sehingga mereka lebih cepat mengetahui berbagai kasus yang menimpa buruh migran Filipina. Sejauh ini, Indonesia kerap terlambat mengetahui.


Inilah persoalan yang sejatinya dapat diperbaiki pada masa-masa mendatang. Seorang anggota legislatif perempuan akan lebih peka dan memahami masalah buruh migran perempuan, sehingga dapat memproduk sebuah kebijakan yang lebih protektif.


Di sisi lain, ada masalah besar dalam keluarga ketika perempuan menjadi buruh migran. Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak mendampingi keluarga buruh migran di Banyumas, Jawa Tengah, Seruni, misalnya membeberkan fakta yak tak kalah memprihatinkan. Umumnya, anak-anak buruh migran tidak mendapatkan perhatian sepenuhnya dari orang tua akibat ditinggal ke manca negara.


Karena itulah, Seruni mengembangkan pola asuh anak buruh migran. Salah seorang aktivisnya, Lili Purwani, menyatakan pihaknya tengah melakukan riset di tiga kecamatan Kabupaten Banyumas untuk membuat pola asuh yang tepat. Agar anak-anak buruh migran tidak telantar atau bahkan terjerumus pada pergaulan dan lingkungan yang salah.


Persoalan yang menyangkut perempuan dan anak-anak sebagai generasi mendatang, masih bejibun. Caleg perempuan yang cocok untuk membenahinya. Apalagi, dalam catatan Komnas Perempuan, masih ada 342 peraturan yang masih diskriminatif terhadap hak-hak perempuan. Dengan sentuhan perempuan, kebijakan mengenai anak-anak juga bakal lebih tertata. Merekalah yang nantinya menjadi garda depan sebagai penyelamat generasi mendatang. Karena mereka seorang ibu, yang tahu persis bagaimana menyiapkan anak-anak cerdas bangsa ini.



Namun demikian, sesungguhnya gerakan ini jangan mandek pada gerakan memilih caleg perempuan, tetapi bagimana mendorong partai politik untuk menyiapkan ruang pendidikan politik bagi perempuan. Memilih caleg perempuan? Mari....(***)