Rabu, 25 Mei 2011

Irma Suryati, Angkat Martabat Penyandang Cacat



Situasi Desa Karangsari, Kecamatan Buayan, Kebumen, Jawa Tengah (Jateng) khas daerah pinggiran. Sawah membentang luas, jalan aspal sempit dan masih banyak lalu lalang sepeda onthel. Di desa itulah, Irma Suryati, 35, selama tujuh tahun terakhir bermukim. Di rumah sederhananya itu terpampang berbagai macam hasil kerajinan tangan. Ada keset, tas, hiasan dinding, suvenir dan lain-lain. Itulah hasil kreasi dari para penyandang cacat yang merupakan binaan Irma.

Irma yang mengalami kecacatan pada kakinya karena polio tidak membuatnya rendah diri, apalagi malu sama tetangganya. Semangatnya yang luar biasa telah menjadikannya sebagai perempuan tangguh. Tidak saja dalam membuktikannya bahwa dirinya bisa menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, tetapi juga sebagai ibu yang baik bagi anak-anaknya.

Ketika bertandang ke rumahnya, Irma terlihat masih menyuapi kedua anaknya nomor empat dan lima. “Beginilah saya. Sesibuk apapun kegiatan yang saya lakukan, saya harus tetap menyempatkan untuk anak-anak saya. Pagi hari kegiatannya seperti ini. Memasak, memandikan anak sampai menyuapi. Itu kegiatan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Karena buat saya, keluarga adalah segala-galanya,”jelas Irma.

Beberapa kali Irma dengan menggunakan satu penahan kaki dari kayu berdiri, meminta anaknya tidak merangkak ke luar rumah. Suaminya, Agus Priyanto, ikut meminta supaya berhenti merangkak. Ia kemudian memasang satu kaki palsunya. Benar, keduanya memang pasangan penyandang cacat. Tetapi mereka tidak mau menjadi beban masyarakat dan keluarga. “Kami memang ingin mengubah kondisi yang telah ada. Biasanya penyandang cacat dipandang sebelah mata, sebab kondisi umum hanya bisa mengiba. Tidak mau bekerja. Kami ingin semuanya itu diubah dan ternyata bisa,”tandas perempuan yang telah memiliki seabrek penghargaan tersebut.

Kebakaran

Setelah lulus dari SMA Negeri 1 Semarang, ia tidak melanjutkan kuliah. Ia mendapat terapi kaki yang mengalami lumpuh layu sejak kecil di Rehabilitasi Centrum (RC) atau RS Orthopedi Solo. Di tempat itu, kebetulan banyak juga penyandang cacat. Mereka yang menunggu lama terapinya dilatih kerajinan sesuai bidangnya masing-masing. Di sanalah, ia kecantol sesama pasien yang kini menjadi suaminya.

Setelah selesai terapi, Irma kembali ke Semarang. Bersama Agus yang telah menjadi suaminya, mereka mulai menggeluti usaha kerajinan. Tahun 1999 merupakan tonggak dimulainya usaha di Kota Semarang. Mereka mengumpulkan para penyandang cacat yang kebetulan adalah kawan-kawannya semasa mengikuti pendidikan keterampilan di RC Solo. Usahanya di ibukota Provinsi Jateng itu menuai hasil. Bahkan, mereka bisa merekrut 50 penyandang cacat.

“Selama tiga tahun berusaha, ternyata hasilnya bagus. Sebanyak 50 penyandang cacat menjadi perajin pembuat keset dari kain perca. Masa kejayaan ketika itu tahun 2002. Kami telah memiliki rumah berikut mobil. Karena omzet penjualan hasil kerajinan sudah mencapai miliaran rupiah setiap bulannya. Manajemen juga telah tertata karena sistem produksi dan pemasaran sudah berjalan,”jelasnya.

Tiba-tiba, Irma menghela napas dalam-dalam. Kemudian senyum kecil mengembang. “Jerih payah yang kami rintis selama tiga tahun itu musnah dalam sekejap. Sebab, kompleks kami yang berada di Pasar Karangjati kebakaran. Api menghanguskan seluruhnya. Kami menjadi tidak punya apa-apa lagi. Benar-benar kembali ke titik nol,”lanjutnya.

Awalnya, lanjut Irma, dirinya bersama suami dan anaknya kebingungan. Karena apa yang mereka rintis dari nol ternyata hilang menjadi abu. “Sedih itu pasti. Namun saya yakin Tuhan memiliki rencana lain. Saya percaya itu. Makanya, saya bersama suami tidak larut dalam kesedihan. Untuk menghilangkan trauma itu, kami lalu hijrah ke Kebumen untuk memulai usaha baru. Karena kalau bertahan di Semarang, kesedihan itu pasti akan terus muncul,”kata Irma.

Mulai dari Nol

Meski pernah merasakan kejayaan, langkah awal tetap saja sulit. Setelah hijrah ke Kebumen, Irma mulai merangkai rencana dan memupuk harapan. Dengan gigih, ia bertekad bertemu dengan Bupati Kebumen saat itu yakni Rustriningsih yang kini menjadi Wakil Gubernur Jateng. Bertemu dengan pejabat ternyata tidak segampang yang ia bayangkan. Bahkan, ia sempat ditolak berkali-kali karena dikira ingin meminta sumbangan. Maklum, Irma datang ke kantor kabupaten dengan menggunakan tongkat penahan kakinya yang cacat.

“Seperti pandangan orang kebanyakan, biasanya kalau yang datang orang cacat hanya meminta sumbangan. Waktu itu, saya telah jelaskan bahwa saya ke kabupaten untuk berdiskusi dengan bupati. Berkali-kali memang tidak dibolehkan. Tetapi saya tetap nekad harus bertemu bupati. Alhasil memang bisa bertemu. Saya kemudian paparkan maksud saya yang ingin mengumpulkan penyandang cacat untuk bersama-sama berusaha mengembangkan kreatifitas. Sungguh, tanggapan Bu Rustriningsih sangat positif,” kenang Irma mengingat waktu bersejarah itu.

Gayung bersambut, Rustriningsih secara resmi mengundang seluruh penyandang cacat di seluruh Kebumen. Jumlahnya sekitar 300 orang. Di situlah para penyandang cacat berembuk. Terbentuklah paguyuban penyandang cacat yang diketuai oleh Irma. Bahkan kemudian mereka sepakat untuk membuka usaha. “Pemkab benar-benar peduli dengan memberikan modal dan mengontrak sebuah rumah di Sruweng, Kebumen sebagai tempat usaha,”jelasnya.

Dengan pengalaman semasa membuka usaha di Semarang, Irma mulai bangkit. Meski penyandang cacat dari 26 kecamatan yang ada di Kebumen hanya berjalan di 17 kecamatan. “Itu wajar saja, karena tidak semua penyandang cacat bisa menekuni bidang pembuatan keset. Setelah mulai berkembang, saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di Desa Karangsari, Kecamatan Buayan sekalian membangun rumah sendiri. Itu sudah menjadi niat saya dan telah saya utarakan ketika paparan di depan bupati,”lanjutnya.

Menuai Hasil

Tak terasa oleh ibu beranak lima tersebut, kalau dirinya sudah sewindu berjerih payah membangun kembali usahanya di Kebumen. Perjalanan waktu yang sudah cukup panjang itu, kini menunai hasilnya. Saat ini, Irma telah memiliki 2.500 perajin, 150 di antaranya adalah para penyandang cacat. Ia mengakui kalau tidak seluruh perajin yang dibinanya aktif, karena sebagian memang hanya sambilan. Yang aktif hanya sekitar 750 perajin.
Namun demikian, secara konsisten telah mampu menghasilkan keset 20 ribu per bulan.

“Setiap bulannya omzetnya setidaknya 20 ribu. Itu adalah keset yang setiap bulan sudah pasti dipasarkan di Jakarta. Harganya rata-rata Rp4 ribu per buah. Namun masih ada produk kerajinan lainnya di antaranya adalah tas dan suvenir kecil-kecil. Khusus untuk keset, ada juga yang telah diekspor sampai ke Australia. Harganya cukup lumayan, per biji Rp35 ribu. Tiap bulannya, kini kami bisa mengekspor 500 biji buah. Bentuknya macam-macam, ada bentuk hati, tokoh kartun, bunga dan lainnya,”jelasnya.

Sebetulnya, lanjut Irma, pasar masih terbuka sangat lebar. Sebab, untuk mencukupi kebutuhan pasar Jakarta saja belum mampu. “Kebutuhan sebetulnya mencapai 60 ribu biji, namun kami baru mampu memasok 20 ribu. Padahal, sudah cukup banyak yang menjadi mitra, tidak hanya para penyandang cacat. Yang menjadi mitra saya, nanti saya kasih bahannya yang berasal dari kain sisa dengan harga Rp1.000 per kilogram (kg). Kemudian setor lagi ke saya untuk dipasarkan Rp3.000 per kg. Pekerjaan dilaksanakan di rumahnya masing-masing, jadi yang menentukan waktu dan lama pengerjaan para pekerja sendiri,”katanya.

Pasar yang masih terbuka tersebut membuat Irma bergerilya untuk memperbanyak tenaga kerja. Bahkan, kini ia juga mulai merambah kepada ibu-ibu PKK dan menjadi instruktur para waria dan pekerja seks komersial (PSK) yang didampingi lembaga Biyung Emban, sebuah LSM di Purwokerto. “Saya secara rutin juga memberikan pelatihan kepada ibu-ibu PKK di Kebumen dan daerah lainnya. Bahkan, terkadang ke luar Jawa seperti Manado dan Bali. Ya, pokoknya saya berangkat karena semakin banyak orang yang bisa berarti mereka akan memperoleh tambahan penghasilan. Apalagi kalau yang meminta adalah penyandang cacat, saya usahakan berangkat. Saya juga diajak oleh Menpora waktu itu, Pak Adhyaksa Dault ke Melbourne, Australia mewakili Indonesia dalam pameran kerajinan. Padahal pameran itu sebetulnya untuk umum, bukan penyandang cacat. Benar-benar membanggakan karena kami penyandang cacat setara dengan orang normal,”ungkapnya.

Cita-cita Irma ternyata tidak mandek di situ. Ia kini membangun rumah bagian belakang dengan ukuran sekitar 7 m x 9 m. Meski tergolong kecil, tetapi rumah yang hampir selesai tersebut akan dipakai untuk menampung para penyandang cacat. Mereka bakal bekerja dan diberikan tempat menginap. “Kami memang menyiapkan tempat bagi penyandang cacat yang rumahnya jauh. Jika mau menginap, silakan saja, tetapi tempatnya juga sederhana seperti ini. Di sini bisa dijadikan pusat usaha penyandang cacat. Niat saya memang bagaimana para penyandang cacat bisa lebih kreatif dan mereka mampu mandiri. Itu secara langsung akan mengangkat martabat penyandang cacat dan mengubah pandangan masyarakat kalau penyandang cacat hanya bisa mengiba dengan menjadi seorang peminta-minta,”tandasnya. (liliek dharmawan)

Irma Suryati Angkat Martabat Penyandang Cacat

Irma Suryati
Angkat Martabat Penyandang Cacat

Situasi Desa Karangsari, Kecamatan Buayan, Kebumen, Jawa Tengah (Jateng) khas daerah pinggiran. Sawah membentang luas, jalan aspal sempit dan masih banyak lalu lalang sepeda onthel. Di desa itulah, Irma Suryati, 35, selama tujuh tahun terakhir bermukim. Di rumah sederhananya itu terpampang berbagai macam hasil kerajinan tangan. Ada keset, tas, hiasan dinding, suvenir dan lain-lain. Itulah hasil kreasi dari para penyandang cacat yang merupakan binaan Irma.

Irma yang mengalami kecacatan pada kakinya karena polio tidak membuatnya rendah diri, apalagi malu sama tetangganya. Semangatnya yang luar biasa telah menjadikannya sebagai perempuan tangguh. Tidak saja dalam membuktikannya bahwa dirinya bisa menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, tetapi juga sebagai ibu yang baik bagi anak-anaknya.

Ketika bertandang ke rumahnya, Irma terlihat masih menyuapi kedua anaknya nomor empat dan lima. “Beginilah saya. Sesibuk apapun kegiatan yang saya lakukan, saya harus tetap menyempatkan untuk anak-anak saya. Pagi hari kegiatannya seperti ini. Memasak, memandikan anak sampai menyuapi. Itu kegiatan sehari-hari sebagai ibu rumah tangga. Karena buat saya, keluarga adalah segala-galanya,”jelas Irma.

Beberapa kali Irma dengan menggunakan satu penahan kaki dari kayu berdiri, meminta anaknya tidak merangkak ke luar rumah. Suaminya, Agus Priyanto, ikut meminta supaya berhenti merangkak. Ia kemudian memasang satu kaki palsunya. Benar, keduanya memang pasangan penyandang cacat. Tetapi mereka tidak mau menjadi beban masyarakat dan keluarga. “Kami memang ingin mengubah kondisi yang telah ada. Biasanya penyandang cacat dipandang sebelah mata, sebab kondisi umum hanya bisa mengiba. Tidak mau bekerja. Kami ingin semuanya itu diubah dan ternyata bisa,”tandas perempuan yang telah memiliki seabrek penghargaan tersebut.

Kebakaran

Setelah lulus dari SMA Negeri 1 Semarang, ia tidak melanjutkan kuliah. Ia mendapat terapi kaki yang mengalami lumpuh layu sejak kecil di Rehabilitasi Centrum (RC) atau RS Orthopedi Solo. Di tempat itu, kebetulan banyak juga penyandang cacat. Mereka yang menunggu lama terapinya dilatih kerajinan sesuai bidangnya masing-masing. Di sanalah, ia kecantol sesama pasien yang kini menjadi suaminya.

Setelah selesai terapi, Irma kembali ke Semarang. Bersama Agus yang telah menjadi suaminya, mereka mulai menggeluti usaha kerajinan. Tahun 1999 merupakan tonggak dimulainya usaha di Kota Semarang. Mereka mengumpulkan para penyandang cacat yang kebetulan adalah kawan-kawannya semasa mengikuti pendidikan keterampilan di RC Solo. Usahanya di ibukota Provinsi Jateng itu menuai hasil. Bahkan, mereka bisa merekrut 50 penyandang cacat.

“Selama tiga tahun berusaha, ternyata hasilnya bagus. Sebanyak 50 penyandang cacat menjadi perajin pembuat keset dari kain perca. Masa kejayaan ketika itu tahun 2002. Kami telah memiliki rumah berikut mobil. Karena omzet penjualan hasil kerajinan sudah mencapai miliaran rupiah setiap bulannya. Manajemen juga telah tertata karena sistem produksi dan pemasaran sudah berjalan,”jelasnya.

Tiba-tiba, Irma menghela napas dalam-dalam. Kemudian senyum kecil mengembang. “Jerih payah yang kami rintis selama tiga tahun itu musnah dalam sekejap. Sebab, kompleks kami yang berada di Pasar Karangjati kebakaran. Api menghanguskan seluruhnya. Kami menjadi tidak punya apa-apa lagi. Benar-benar kembali ke titik nol,”lanjutnya.

Awalnya, lanjut Irma, dirinya bersama suami dan anaknya kebingungan. Karena apa yang mereka rintis dari nol ternyata hilang menjadi abu. “Sedih itu pasti. Namun saya yakin Tuhan memiliki rencana lain. Saya percaya itu. Makanya, saya bersama suami tidak larut dalam kesedihan. Untuk menghilangkan trauma itu, kami lalu hijrah ke Kebumen untuk memulai usaha baru. Karena kalau bertahan di Semarang, kesedihan itu pasti akan terus muncul,”kata Irma.

Mulai dari Nol

Meski pernah merasakan kejayaan, langkah awal tetap saja sulit. Setelah hijrah ke Kebumen, Irma mulai merangkai rencana dan memupuk harapan. Dengan gigih, ia bertekad bertemu dengan Bupati Kebumen saat itu yakni Rustriningsih yang kini menjadi Wakil Gubernur Jateng. Bertemu dengan pejabat ternyata tidak segampang yang ia bayangkan. Bahkan, ia sempat ditolak berkali-kali karena dikira ingin meminta sumbangan. Maklum, Irma datang ke kantor kabupaten dengan menggunakan tongkat penahan kakinya yang cacat.

“Seperti pandangan orang kebanyakan, biasanya kalau yang datang orang cacat hanya meminta sumbangan. Waktu itu, saya telah jelaskan bahwa saya ke kabupaten untuk berdiskusi dengan bupati. Berkali-kali memang tidak dibolehkan. Tetapi saya tetap nekad harus bertemu bupati. Alhasil memang bisa bertemu. Saya kemudian paparkan maksud saya yang ingin mengumpulkan penyandang cacat untuk bersama-sama berusaha mengembangkan kreatifitas. Sungguh, tanggapan Bu Rustriningsih sangat positif,” kenang Irma mengingat waktu bersejarah itu.

Gayung bersambut, Rustriningsih secara resmi mengundang seluruh penyandang cacat di seluruh Kebumen. Jumlahnya sekitar 300 orang. Di situlah para penyandang cacat berembuk. Terbentuklah paguyuban penyandang cacat yang diketuai oleh Irma. Bahkan kemudian mereka sepakat untuk membuka usaha. “Pemkab benar-benar peduli dengan memberikan modal dan mengontrak sebuah rumah di Sruweng, Kebumen sebagai tempat usaha,”jelasnya.

Dengan pengalaman semasa membuka usaha di Semarang, Irma mulai bangkit. Meski penyandang cacat dari 26 kecamatan yang ada di Kebumen hanya berjalan di 17 kecamatan. “Itu wajar saja, karena tidak semua penyandang cacat bisa menekuni bidang pembuatan keset. Setelah mulai berkembang, saya memutuskan untuk kembali ke kampung halaman di Desa Karangsari, Kecamatan Buayan sekalian membangun rumah sendiri. Itu sudah menjadi niat saya dan telah saya utarakan ketika paparan di depan bupati,”lanjutnya.

Menuai Hasil

Tak terasa oleh ibu beranak lima tersebut, kalau dirinya sudah sewindu berjerih payah membangun kembali usahanya di Kebumen. Perjalanan waktu yang sudah cukup panjang itu, kini menunai hasilnya. Saat ini, Irma telah memiliki 2.500 perajin, 150 di antaranya adalah para penyandang cacat. Ia mengakui kalau tidak seluruh perajin yang dibinanya aktif, karena sebagian memang hanya sambilan. Yang aktif hanya sekitar 750 perajin.
Namun demikian, secara konsisten telah mampu menghasilkan keset 20 ribu per bulan.

“Setiap bulannya omzetnya setidaknya 20 ribu. Itu adalah keset yang setiap bulan sudah pasti dipasarkan di Jakarta. Harganya rata-rata Rp4 ribu per buah. Namun masih ada produk kerajinan lainnya di antaranya adalah tas dan suvenir kecil-kecil. Khusus untuk keset, ada juga yang telah diekspor sampai ke Australia. Harganya cukup lumayan, per biji Rp35 ribu. Tiap bulannya, kini kami bisa mengekspor 500 biji buah. Bentuknya macam-macam, ada bentuk hati, tokoh kartun, bunga dan lainnya,”jelasnya.

Sebetulnya, lanjut Irma, pasar masih terbuka sangat lebar. Sebab, untuk mencukupi kebutuhan pasar Jakarta saja belum mampu. “Kebutuhan sebetulnya mencapai 60 ribu biji, namun kami baru mampu memasok 20 ribu. Padahal, sudah cukup banyak yang menjadi mitra, tidak hanya para penyandang cacat. Yang menjadi mitra saya, nanti saya kasih bahannya yang berasal dari kain sisa dengan harga Rp1.000 per kilogram (kg). Kemudian setor lagi ke saya untuk dipasarkan Rp3.000 per kg. Pekerjaan dilaksanakan di rumahnya masing-masing, jadi yang menentukan waktu dan lama pengerjaan para pekerja sendiri,”katanya.

Pasar yang masih terbuka tersebut membuat Irma bergerilya untuk memperbanyak tenaga kerja. Bahkan, kini ia juga mulai merambah kepada ibu-ibu PKK dan menjadi instruktur para waria dan pekerja seks komersial (PSK) yang didampingi lembaga Biyung Emban, sebuah LSM di Purwokerto. “Saya secara rutin juga memberikan pelatihan kepada ibu-ibu PKK di Kebumen dan daerah lainnya. Bahkan, terkadang ke luar Jawa seperti Manado dan Bali. Ya, pokoknya saya berangkat karena semakin banyak orang yang bisa berarti mereka akan memperoleh tambahan penghasilan. Apalagi kalau yang meminta adalah penyandang cacat, saya usahakan berangkat. Saya juga diajak oleh Menpora waktu itu, Pak Adhyaksa Dault ke Melbourne, Australia mewakili Indonesia dalam pameran kerajinan. Padahal pameran itu sebetulnya untuk umum, bukan penyandang cacat. Benar-benar membanggakan karena kami penyandang cacat setara dengan orang normal,”ungkapnya.

Cita-cita Irma ternyata tidak mandek di situ. Ia kini membangun rumah bagian belakang dengan ukuran sekitar 7 m x 9 m. Meski tergolong kecil, tetapi rumah yang hampir selesai tersebut akan dipakai untuk menampung para penyandang cacat. Mereka bakal bekerja dan diberikan tempat menginap. “Kami memang menyiapkan tempat bagi penyandang cacat yang rumahnya jauh. Jika mau menginap, silakan saja, tetapi tempatnya juga sederhana seperti ini. Di sini bisa dijadikan pusat usaha penyandang cacat. Niat saya memang bagaimana para penyandang cacat bisa lebih kreatif dan mereka mampu mandiri. Itu secara langsung akan mengangkat martabat penyandang cacat dan mengubah pandangan masyarakat kalau penyandang cacat hanya bisa mengiba dengan menjadi seorang peminta-minta,”tandasnya. (liliek dharmawan)

Kamis, 19 Mei 2011

Perajin Warangka yang Kian Langka




RUANGAN itu hanya berukuran sekitar 2 x 2 meter (m). Letaknya menempel dengan rumah di bagian samping. Dindingnya tembok rumah dan sampingnya hanya dari anyaman bambu. Berbagai peralatan sederhana tampak di ruangan setempat. Ada gergaji, bor, pisau, lem dan sebagianya. Di situlah Sadali, 55, warga Desa Sidakangen, Kecamatan Kalimanah, Purbalingga, Jawa Tengah (Jateng) “ngantor” setiap hari. Bergelut dengan pembuatan warangka atau tempat pusaka seperti keris, pedang, tombak, kudi, kujang dan lain sebagainya yang terbuat dari kayu.

Apa yang dikerjakan Sadali sebagai pembuat warangka, merupakan profesi yang langka. Bahkan, di wilayah Jateng bagian barat, ia adalah satu-satunya orang yang bisa membuat warangka benda pusaka. Tidak heran, pelanggannya datang dari berbagai kota di Jateng bagian barat, seperti Tegal, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Wonosobo dan Kebumen.

Sadali merupakan turunan keempat mulai dari kakek canggah, kakek buyut, kakek sampai ayahnya secara turun temurun yang menekuni pembuatan warangka. Sudah tidak terhitung banyaknya berapa warangka yang dibuat, sebab ia sudah mulai bergelut sejak tahun 1970 silam. “Ini memang profesi yang diturunkan sejak kakek canggah saya. Meski hasilnya tidak seberapa, tetapi cukup untuk menghidupi keluarga,”kata Sadali yang ditemui di bengkelnya di Desa Sidakangen.

Menurutnya, saat sekarang dirinya terkadang justru kewalahan menghadapi pesanan pembuatan warangka, karena ternyata semakin banyak orang yang suka mengoleksi benda pusaka. “Akhir-akhir ini, saya cukup kewalahan mengerjakan pesanan warangka untuk berbagai jenis pusaka. Tetapi yang paling banyak adalah keris. Tidak tahu kenapa, dalam beberapa waktu terakhir banyak orang yang mengoleksi benda pusaka atau biasa disebut dengan tosan aji,”jelas Sadali perajin warangka yang dalam istilahnya disebut Tukang Mranggi.

Biasanya, lanjutnya, ada dua jenis gaya warangka yakni ladrang dan gayaman. Masing-masing memiliki keistimewaan tersendiri. “Namun, dari segi kerumitan, lebih sulit jenis ladrang. Untuk membuat warangka jenis ladrang, paling cepat membutuhkan waktu sekitar dua hari. Sedangkan jenis gayaman, paling cepat sehari. Tetapi semuanya memang tergantung para pemesan, apalagi kalau mereka meminta jenis kayu yang khusus,”ujarnya.

Ia mengungkapkan, pada umumnya, jenis kayu yang dipakai bahan warangka benda pusaka adalah jenis cendana, jati dan sonokeling. “Yang paling sulit adalah ketika pemesan meminta kayu cendana. Biasanya, saya minta supaya yang bersangkutan mencari sendiri, karena memang waktu saya tidak cukup untuk belanja ke mana-mana. Yang masih gampang adalah kalau bahannya kayu jati atau sonokeling,”kata Sadali sambil menghaluskan warangka keris yang hampir jadi.

Sebagai sebiuah profesi yang langka terutama di wilayah Jateng bagian barat, Sadali tidak lantas melambungkan ongkos jasanya. “Untuk membuat warangka, rata-rata hanya Rp200 ribu saja. Itu pun sebetulnya untungnya kecil, karena untuk membeli bahan sampai Rp100 ribu. Praktis, tenaga dihargai Rp100 ribu. Tidak masalah, yang penting dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga,”ujarnya.

Kalau pelanggan minta cepat, biasanya ada uang lebih. “Namun sebetulnya saya tidak meminta, pelanggan yang tahu diri. Jika minta cepat, biasanya mereka akan memberi sampai Rp300 ribu,”katanya seraya tersenyum.

Sadali tidak hanya sebagai tukang Mranggi, melainkan juga menerima benda pusaka yang butuh dicuci. “Kalau mencuci benda-benda pusaka seperti keris, pedang dan tombak biasa disebut dengan “marangi”. Untuk membersihkan tosan aji juga membutuhkan keahlian khusus. Tidak hanya bagaimana caranya membersihkan, tetapi juga meramu bahan-bahan pencucian benda pusaka tau disebut dengan warangan. Warangan sebetulnya juga termasuk racun, kemudian dicampur dengan air jeruk. Bahan itulah yang dipakai untuk membersihkan tosan aji,”jelasnya.

Bahan warangan ia beli dari Yogyakarta. Pembelian warangan juga tidak gampang, hanya orang-orang tertentu yang diperbolehkan, karena bahan itu mengandung racun. Harganya cukup mahal, karena setiap gram membutuhkan harganya Rp35 ribu. “Untuk membuat satu liter cairan guna membersihkan tosan aji, dibutuhkan sekitar 20 gram warangan yang dicampur dengan 15 kg jeruk yang diambil airnya. Bahan-bahan itu dicampurkan dan bisa untuk membersihkan sekitar 40 biji keris atau jenis pusaka lainnya. Kalau hanya mencuci atau membersihkan benda pusaka, ongkosnya murah hanya Rp35 ribu per biji,”tambah Sadali.

Saban hari, Sadali rata-rata menerima sekitar satu sampai dua benda pusaka, atau sebulannya lebih dari 50 benda pusaka yang digarapnya, apakah minta dicuci atau dibikinkan warangka. Usaha ini, katanya, sebetulnya tetap menjanjikan, apalagi semakin banyak orang yang mengoleksi tosan aji.

Meski kini orang seperti Sadali kian sulit dijumpai, tetapi agaknya ia telah menyiapkan regeneresi. Bukan orang lain yang akan melanjutkan profesinya, tetapi anaknya yang bernama Hari Prasetyo. Meski kini masih berusia 10 tahun, tetapi tangan-tangan terampilnya sudah mulai terasah. Bahkan sesekali membantu ayahnya bekerja membuat warangka. (liliek dharmawan)

Sabtu, 14 Mei 2011

Gonjang ganjing Lingkungan di Bumi “Kahyangan”







Dieng merupakan sebuah dataran tinggi yang secara administratif terletak di perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah (Jateng). Dieng berasal dari dua kosa kata yakni “Di” yang berarti gunung atau dataran tinggi dan “Hyang” yang mengandung arti Kahyangan. Dieng dapat diartikan sebagai tempat bersemayamnya para dewa dewi. Tidak mengherankan jika pada zaman kerajaan Hindu di Jawa masih berjaya, kawasan itu dijadikan tempat sembahyang dan semedi. Makanya, di kawasan itu banyak tempat-tempat religi yang eksotik dan bernilai sejarah tinggi dengan ditandai banyaknya candi-candi.

Untuk mencapai dataran tinggi Dieng, setidaknya ada dua akses jalan yang dapat ditempuh. Dari Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo. Kalau melalui Banjarnegara, jalannya banyak tikungan terutama masuk ke Kecamatan Karangkobar hingga Kecamatan Batur. Sedangkan dari Wonosobo, jalannya lurus, sesekali menikung, namun tanjakannya cukup panjang. Hampir dapat dipastikan, kabut tebal akan menyergap di dalam perjalanan menuju kawasan itu. Biasanya pada pagi hari dan siang menjelang sore. Jarak pandang tidak lebih dari 10 meter.

Setelah kabut menghilang, pandangan mata langsung tertuju pada para petani sayur terutama kentang yang tengah bekerja di lahan pertanian persis berada di kiri kanan jalan. Sejauh mata memandang, dipastikan hanya lahan pertanian yang tampak. Tidak terlihat lagi hutan pegunungan yang hijau. Pohon-pohon hanya berada di kejauhan di kawasan yang datarannya lebih tinggi. Itu pun tidak terlalu lebat. Justru pemandangan yang lebih dominan lahan pertanian dan para petani yang menggunakan pakaian menutup seluruh badan dan hanya memperlihatkan mukanya saja.

Alih fungsi lahan di kawasan itu memang telah terjadi sejak beberapa dekade silam. Yakni ketika warga setempat, baik di wilayah Banjarnegara atau Wonosobo mulai mengenal kentang. Pelan-pelan daerah yang dulunya merupakan salah satu kawasan yang ditumbuhi dengan tanaman hutan, berubah menjadi lahan pertanian kentang. Masyarakat memilih kentang untuk dibudidayakan. Dari hasil kentang itulah, mereka mendapatkan hasil yang lumayan.

Awal perubahan terjadi pada tahun 1980-an. Ketika itu, baru sebagian kecil warga di Dieng yang bertanam kentang. Mengetahui hasilnya sangat menggiurkan, tanpa dikomando, warga ramai-ramai beralih menanam kentang. Titik kulminasinya terjadi mulai tahun 1990 hingga tahun 2000, di mana ketika itu merupakan masa keemasan kentang. Hasilnya benar-benar luar biasa.

Bayangkan saja, setiap satu hektare (ha), petani akan mendapatkan keuntungan minimal Rp60 juta setiap tahunnya untuk tiga kali masa panen. Bahkan, ada petani yang memperoleh penghasilan Rp36 juta sekali panen. Oleh karena itu, tidak mengherankan kawasan itu menjadi daerah yang potensial bagi penjaja barang-barang komersial. Warga Dieng merupakan primadona yang menjanjikan bagi dealer sepeda motor, peralatan elektronik seperti televisi dan parabola, bahkan mobil.

“Dengan daya tarik pendapatan yang luar biasa itu, warga di Dieng mulai keranjingan menanam kentang. Kami memang tidak terlalu berpikir panjang. Pikirannya hanya satu memperoleh pendapatan banyak dari bertanam kentang,”ungkap Ahmad, 46, salah seorang petani yang memiliki lahan di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara.

Petani lainnya, Fauzi, 37, mengungkapkan bahwa warga memang sudah telanjur sangat bergantung dengan tanaman kentang. Meski sebetulnya, lanjut Fauzi, pertanian kentang di Dieng mulai menurun drastis hasilnya. “Kalau antara tahun 1990-2000, setiap tahunnya, petani kentang mampu memperoleh pendapatan bersih dari panen kentang sebesar Rp60 juta per tahun, kini hanya berkisar antara Rp20 juta hingga Rp40 juta,”katanya.

Menurutnya, penurunan hasil kentang tersebut akibat penurunan kualitas tanah di dataran tinggi Dieng. “Para petani yang menggarap lahan pada lokasi yang lebih tinggi pasti akan lebih jelek hasilnya. Misalnya yang berada di atas pegunungan, paling-paling hasilnya hanya sekitar Rp20 juta setiap tahun. Ini terjadi karena humus semakin lama kian hilang karena terjadinya erosi terutama pada musim penghujan. Apalagi, lahan di Dieng tidak ada penahan erosinya karena sangat sedikit tanaman keras,”jelasnya.

Meski demikian, petani setempat tidak kapok untuk terus menanam kentang, meski hasil panenan merosot tajam. Bahkan, alih fungsi lahan di Dieng masih terus berlangsung dan bertambah luas. Data pada Dinas Pertanian Banjarnegara menyebutkan kalau setiap tahun lahan tanaman kentang di Dieng semakin meluas. Misalnya tahun 2005 lalu luasan lahan tanaman kentang di Dieng wilayah Banjarnegara tercatat mencapai 5.700 hektare (ha) dan terus mengalami peningkatan pada tahun 2008 menjadi 8.000 ha.

Tingginya alih fungsi lahan secara kasat mata memang sangat terlihat di dataran tinggi Dieng. Sejauh mata memandang hanya lahan pertanian yang terlihat. Tidak ada hutan lebat yang biasanya hidup di sebuah dataran tinggi atau pegunungan. Hilangnya hutan di Dieng menjadi pemicu terjadinya longsor dan tingginya sedimentasi yang masuk ke sungai.

Data dari Tim Kerja Pemulihan Dieng menyebutkan kalau lahan rusak di dataran tinggi Dieng mencapai 7.700 ha, 4.000 di antaranya berada di Wonosobo dan 3.700 ha lainnya di Kabupaten Banjarnegara.

Dampaknya, sejak beberapa waktu terakhir, telah terjadi berbagai macam bencana di dataran tinggi Dieng. Bencana yang cukup besar terjadi pada Januari 2010 di wilayah dataran tinggi Dieng yang masuk Desa Tieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Banjir lumpur dan longsor menimpa belasan rumah yang menyebabkan enam orang tewas. Banjir lumpur juga beberapa kali terjadi, padahal lokasinya berada di 1.500 mdpl.

Degradasi lingkungan di Dieng memang mengkhawatirkan, meski sebetulnya berbagai instansi terkait sudah mulai melakukan berbagai upaya penghijauan. Pemkab Banjarnegara misalnya telah menargetkan pernghijauan di kawasan Dieng dengan luas 340 ha pada tahun 2010 ini dengan dana dari APBN dan APBD Jateng. “Penghijauan juga diikuti dengan pemberian bantuan ternak yang diharapkan dipelihara oleh warga sehingga mampu memberikan pendapatan bagi masyarakat setempat,”kata Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banjarnegara Widadi.

Penghijaun juga melibatkan pihak ketiga yang bekerja sama dengan Pemkab Banjarnegara dibantu LSM dan warga. Mereka menanam kawasan setempat dengan eucalyptus. Dengan penanaman eucalyptus maka dapat menghijaukan Dieng dan hasilnya menjadi bahan baku pembuatan minyak kayu putih.

Upaya itu memang membutuhkan proses panjang karena tidak hanya kegiatan fisik tetapi mengubah mindset masyarakat. Apalagi, petani di Dieng sudah lama dimanjakan dengan hasil dari pertanian kentang. Yang jelas gonjang-ganjing lingkungan di “Kahyangan” masih terus berlangsung. Bahkan sama sekali belum diketahui sampai kapan bisa dihentikan.

Terpapar pestisida

Suara mesin penyedot air menderu. Seorang petani ditemani isterinya mulai menyemprotkan air yang telah dicampur dengan pestisida. Mereka kemudian berkeliling lahan pertanian yang ditanami kentang.

Mereka memang memakai celana dan kemeja panjang serta penutup kepala. Tetapi tampaknya itu hanya untuk menahan dinginnya suhu udara, bukan untuk melindungi tubuhnya dari pestisida. Sebab, wajah mereka terbuka. Sama sekali tidak ada masker yang melindungi hidung dam mulut. Mengherankan sebenarnya, karena pada saat mereka menyemprot pestisida ke tanaman kentang, bau pekat dari pestisida begitu terasa. Namun sepertinya mereka tak peduli terhadap dampak yang ditimbulkan.

“Ya memang setiap hari begini. Kami menyemprot pestisida tanpa masker. Sudah biasa. Hampir seluruh petani di Dieng seperti saya. Sudah bertahun-tahun seperti ini. Pernah saya mengalami mual dan pusing-pusing, tetapi ya biasa, setelah itu sembuh,”ujar Mahmud, 45, salah seorang petani di Desa Patakbanteng, Kecamatan Kejajar, Wonosobo.

Benar juga. Ternyata akibat setiap hari bergelut dengan pestisida, mereka akhirnya terpapar juga. Adalah Dinas Kesehatan (Dinkes) Wonosobo yang melakukan riset selama tiga tahun mulai tahun 2007, 2008 dan 2009. Sampel diambil dari empat desa dari dua kecamatan yakni Kejajar dan Kertek. Masing-masing desa sebanyak 40 petani. Ternyata mereka semuanya terpapar pestisida.

Kepala Laboratorium Teknik Lingkungan dan Air Dinkes Wonosobo Titik Eka Wahyuni mengatakan bahwa pihaknya secara mandiri mengadakan penelitian terhadap para petani kentang di sekitar Dieng yang setiap hari bergelut dengan pestisida. “Ternyata setelah kami melakukan riset dengan mengambil sampel darah para petani di Dieng, ada kandungan pestisidanya. Tingkatnya ringan sampai tinggi. Kami mengadakan sampling di empat desa, masing-masing desa ada 40 petani. Hasilnya memang cukup mengkhawatirkan, karena paparan pestisida berdampak sangat negatif bagi tubuh manusia,”ujar Titik.

Ahli toksikologi lingkungan pada Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jateng, Slamet Santoso mengungkapkan bahwa paparan pestisida dapat melalui pernafasan, makanan yang dicerna serta kontak kulit dengan pestisida. “Memang sangat memprihatinkan, kondisi petani di Dieng, karena mereka sepertinya tidak pernah terlalu peduli terhadap kesehatannya. Kan dapat dilihat kalau mereka tidak menggunakan peralatan pengaman seperti masker,”kata Slamet.

Paparan pestisida hampir pasti setiap hari masuk ke dalam tubuh petani kentang di kawasan itu. Kalau mereka tidak menyemprotkan pestisida, misalnya, masih ada petani lain yang ternyata menyemprot. “Padahal paparan pestisida akan terakumulasi dalam tubuh. Dampaknya sangat luar biasa. Potensi yang ditimbulkan di antaranya kanker, kerusakan syaraf, cacat lahir hingga mutasi genetik,”lanjutnya.

Ternyata tidak hanya pestisida yang berdampak pada lingkungan. Hasil riset yang dilakukan oleh tim dari Unsoed lainnya menyebutkan kalau kandungan N, P dan K di Sungai Serayu dan Waduk Mrica Banjarnegara sangat tinggi. Kandungan N,P dan K tersebut bersalah dari sisa-sisa pupuk yang dibawa air hujan masuk ke sungai dan waduk. “Kandungannya sangat tinggi, sehingga juga berdampak pada lingkungan khususnya di Waduk Mrica,”jelas Gentur Waluyo, ketim tim peneliti.

Ekses yang ditimbulkan di Waduk Mrica, kata Gentur, sudah mulai tampak yakni dengan munculnya eceng gondok. Sedimentasi yang tinggi ke waduk dengan kandungan N,P dan K tinggi membuat perkembangbiakan eceng gondok di waduk setempat mulai booming, karena saat ini mencapai ratusan hektare (ha). Beruntung pengelola mulai tanggap, dengan terus membersihkan eceng gondok. Kalau tidak segera diatasi, biasa jadi Waduk Mrica sama nasibnya dengan Rawa Pening di Kabupaten Semarang.(liliek dharmawan)

Rabu, 04 Mei 2011

Nasib Penderes Nira tak Semanis Gula Kelapa





Hari itu cukup kelabu. Meski jarum jam baru menunjukkan pukul 08.00 WIB, namun terik matahari belum terlalu terasa karena dihalang-halangi awan. Keringat sudah mengalir deras di tubuh Mahwari. Karena ia baru saja selesai naik pohon kelapa untuk mengambil pongkor yang telah dipasangnya sejak sore hari sebelumnya. Apalagi, sebetulnya ia sudah cukup umur karena usianya menginjak 65 tahun.

Ia membawa dua pongkor yang terbuat dari batang pohon bambu yang diikat dengan tali dan dililitkan di pinggangnya. Hanya kurang dari lima menit, ia sudah sampai di pohon kelapa yang tingginya sekitar 10 meter. Pongkor yang telah diletakkan sejak sore lalu kemudian dibawa ke bawah, sementara dua pongkor yang dibawanya menggantikan pongkor yang sudah terisi air nira.

Hanya dalam waktu kurang dari 10 menit, pekerjaannya selesai. Kemudian ia membawanya ke bawah. Pekerjaan itu dilakukan ke pohon-pohon kelapa lainnya. Kalau sudah selesai semuanya, dia membawa pongkor-pongkor yang telah terisi nira ke rumahnya dengan cara dipikul.

Jaraknya tidak terlalu jauh dengan rumahnya, hanya beberapa ratus meter saja. Sesampai di rumahnya di Desa Pegeraji, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah, isterinya, Lasminah, 60, telah siap dengan tempat masak air nira berupa wajan besar. Ia mengambil kayu bakar yang diletakkan di papan bambu yang ada di bawah atap rumah yang berdinding anyaman bambu tersebut. Tanpa alas kaki, karena lantainya dari tanah, Lasminah bolak balik menyiapkan pongkor-pongkor yang berisi nira tersebut. Air nira dimasukkan ke dalam wajan besar dan dipanaskan dalam berjam-jam untuk mendapatkan air gula kelapa yang kemudian dimasukkan ke dalam cetakan gula kelapa atau gula Jawa.

Begitulah yang dilakukan pasangan Mahwari dan Lasminah selama lebih dari 45 tahun silam. Sebuah pekerjaan yang tidak pernah ia tinggalkan karena memang tidak punya pilihan lainnya. “Saya sudah sejak usia 20 tahunan telah memanjat kelapa untuk mengambil nira dijadikan gula kelapa. Dulu, sewaktu masih kuat saban hari bisa naik sampai 60 pohon. Pada pagi hari 30 pohon dan sore harinya 30 pohon. Itu dulu, kini paling-paling hanya lima pohon, itu pun hanya membantu-bantu saja,”jelas Mahwari.

Pekerjaannya bukanlah tergolong ringan. Setiap hari, para penderes harus naik pohon kepala dengan ketinggian 10-15 meter. Risikonya sangat tinggi, kalau terjatuh, hanya dua dampaknya. Meninggal atau luka berat sehingga tidak bisa apa-apa selama hidupnya. Itu sudah menjadi cerita selama puluhan tahun dan masih terus bersambung entah sampai kapan.

Namun, cerita miris semacam itu tidak membuat ciut nyali para penderes. Tuntutan ekonomi keluarga, membuat mereka tetap menekuni pekerjaannya. Sama seperti halnya Mahwari dan Lasminah. Padahal, setiap harinya paling-paling hanya mampu membuat gula kelapa sekitar 5 kilogram (kg) dan dijual kepada juragan gula Rp6.000 per kg. “Itu bukan pendapatan bersih, karena masih harus dipotong dengan ongkos pembelian kayu bakar Rp10 ribu tiap harinya. Apalagi kalau nanti masih utang kepada juragan gula, hasilnya bisa lebih kecil lagi,”ujar Lasminah yang tidak mau mengaku berapa utang kepada juragannya.

Tetapi dari salah seorang juragan gula di Desa Pageraji, Dasirin, 53, terungkap, kalau kebanyakan memang para penderes punya utang kepada juragan gula kelapa. “Biasanya memang, seperti saya memberikan “modal” kepada para penderes sekitar Rp1 juta. Uang tersebut sebagai “tanda jadi” supaya hasil gula kelapa disetorkan kepada saya. Cara peluanasannya dengan memotong harga jual. Misalnya, kalau harga jual Rp7.000 per kg, maka penderes akan menerima Rp6.700 per kg. Itu terus dilakukan,”ujarnya.

Dasirin yang memiliki toko semabko di desanya juga mengatakan kalau para penderes yang menyetok gulanya kepada dia, bisa saja mengambil kebutuhan sehari-hari tanpa bayar terlebih dahulu. “Banyak dari mereka yang membutuhkan beras, minyak, teh dan kopi misalnya tinggal ambil dulu. Yang penting, gula hasil produksinya masuk ke sini, hanya itu syaratnya,”kata Dasirin.

Penderes memang tidak punya pilihan lain, kecuali ikut permainan dari para tengkulak yang berani memberikan modal terlebih dahulu. Para penderes memang sering menjadikan para juragan gula sebagai “bank” yang tidak terlalu rumit birokrasinya. Inilah yang membuat penderes sangat tergantung kepada para tengkulak.

Bahkan, beberapa kali mendampingi para penderes, pegiat LSM Babad Purwokerto, Tri Subekti Bayuaji, menemukan berbagai fakta kalau para penderes pun tidak terlalu sadar kalau ketergantungan mereka kepada para tengkulak akan mudah dipermainkan harganya. “Tetapi penderes tidak begitu saja dapat disalahkan. Bayangkan saja, mereka sangat terbantu ketika menjelang hajatan dan kekurangan uang, siapa yang membantu kalau bukan para tengkulak atau juragan gula tersebut. Memangnya ada orang yang dengan rela meminjamkan uang kepada mereka selain para tengkulak itu, jelas tidak ada,”kata Bayu.

Sehingga memang, rantai jaringan tengkulak di lingkungan penderes sulit diputuskan. Apalagi, sebagian besar penderes tidak menyadari kalau mereka sebetulnya terperangkap dalam lingkaran permainan para tengkulak. “Celakanya, para penderes tidak terlalu ambil pusing, bahkan sudah nyaman dengan kondisi semacam itu. Yang penting bagi mereka, kalau butuh uang tinggal bilang kepada para juragan. Bagi mereka juragan seperti pahlawan yang menyelamatkan. Padahal kalau orang luar menilai kan merupakan penciptaan lingkaran kemiskinan,”tambahnya.

Peneliti sosial dari Universitas Jenderal Soedirman Luthfi Makhasin menyatakan kalau juragan gula memang menjadi tumpuan utama bagi para penderes dan perajin gula kelapa. Para juragan gula di desa juga cukup pintar memanfaatkan situasi. Ia sengaja membuka toko sembako sebagai salah satu pengikatnya. “Tidak jarang, para penderes memenuhi kebutuhan dengan jalan utang kebutuhan mereka sehari-hari kepada para juragan yang memiliki toko sembako,”kata Luthfi.

Menurut Luthfi, hubungan antara penderes dengan juragan gula bisa digambarkan dalam dua ekstrem. Eksploitatif dan bisa juga saling menguntungkan. Eksploitatif karena juragan menjadi penentu satu-satunya dan mutlak harga dan kualitas gula yang dibawa penderes. Sangat jarang terjadi seorang penderes menerima penuh uang penjualan gulanya. Seorang penderes biasanya menerima penjualan gula setelah dikurangi bunga pinjaman yang dikenakan seorang juragan. “Di sisi lain, hubungan ini juga bersifat saling menguntungkan karena seorang juragan adalah juga kreditor yang sangat gampang bagi penderes dalam situasi darurat seperti hajatan, sakit, dan lainnya. Tanpa ada birokrasi yang rumit seperti yang ditawarkan dunia perbankan,”katanya.

Kelabu pada siang hari itu bagai potret buram yang dialami oleh penderes selama berpuluh-puluh tahun. Itu juga berlaku Mahnari dan Lasminah yang senasib dengan tokoh Darsa yang digambarkan dalam novel Bekisar Merah karya budayawan Banyumas Ahmad Tohari. Darsa di dalam novel itu benar-benar nyata dalam keseharian para penderes yang kini jumlahnya mencapai 32 ribu penderes di seluruh Banyumas. Mahnari dan Lasminah yang tak kunjung terlepas dari kemiskinan tak mereka rasakan, tampaknya bakal berlanjut dan diikuti anaknya. Sebab, anaknya Slamet Budi Utomo yang kini berusia 21 tahun memutuskan untuk mengikuti jejak bapaknya. Maklum, pendidikannya hanya sampai SMP karena tidak ada biaya melanjutkan. Apakah garis hidupnya akan sama dengan bapaknya yang memulai menderes sejak usia 20 tahun? Entahlah....(liliek dharmawan)