Sabtu, 14 Mei 2011

Gonjang ganjing Lingkungan di Bumi “Kahyangan”







Dieng merupakan sebuah dataran tinggi yang secara administratif terletak di perbatasan Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah (Jateng). Dieng berasal dari dua kosa kata yakni “Di” yang berarti gunung atau dataran tinggi dan “Hyang” yang mengandung arti Kahyangan. Dieng dapat diartikan sebagai tempat bersemayamnya para dewa dewi. Tidak mengherankan jika pada zaman kerajaan Hindu di Jawa masih berjaya, kawasan itu dijadikan tempat sembahyang dan semedi. Makanya, di kawasan itu banyak tempat-tempat religi yang eksotik dan bernilai sejarah tinggi dengan ditandai banyaknya candi-candi.

Untuk mencapai dataran tinggi Dieng, setidaknya ada dua akses jalan yang dapat ditempuh. Dari Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo. Kalau melalui Banjarnegara, jalannya banyak tikungan terutama masuk ke Kecamatan Karangkobar hingga Kecamatan Batur. Sedangkan dari Wonosobo, jalannya lurus, sesekali menikung, namun tanjakannya cukup panjang. Hampir dapat dipastikan, kabut tebal akan menyergap di dalam perjalanan menuju kawasan itu. Biasanya pada pagi hari dan siang menjelang sore. Jarak pandang tidak lebih dari 10 meter.

Setelah kabut menghilang, pandangan mata langsung tertuju pada para petani sayur terutama kentang yang tengah bekerja di lahan pertanian persis berada di kiri kanan jalan. Sejauh mata memandang, dipastikan hanya lahan pertanian yang tampak. Tidak terlihat lagi hutan pegunungan yang hijau. Pohon-pohon hanya berada di kejauhan di kawasan yang datarannya lebih tinggi. Itu pun tidak terlalu lebat. Justru pemandangan yang lebih dominan lahan pertanian dan para petani yang menggunakan pakaian menutup seluruh badan dan hanya memperlihatkan mukanya saja.

Alih fungsi lahan di kawasan itu memang telah terjadi sejak beberapa dekade silam. Yakni ketika warga setempat, baik di wilayah Banjarnegara atau Wonosobo mulai mengenal kentang. Pelan-pelan daerah yang dulunya merupakan salah satu kawasan yang ditumbuhi dengan tanaman hutan, berubah menjadi lahan pertanian kentang. Masyarakat memilih kentang untuk dibudidayakan. Dari hasil kentang itulah, mereka mendapatkan hasil yang lumayan.

Awal perubahan terjadi pada tahun 1980-an. Ketika itu, baru sebagian kecil warga di Dieng yang bertanam kentang. Mengetahui hasilnya sangat menggiurkan, tanpa dikomando, warga ramai-ramai beralih menanam kentang. Titik kulminasinya terjadi mulai tahun 1990 hingga tahun 2000, di mana ketika itu merupakan masa keemasan kentang. Hasilnya benar-benar luar biasa.

Bayangkan saja, setiap satu hektare (ha), petani akan mendapatkan keuntungan minimal Rp60 juta setiap tahunnya untuk tiga kali masa panen. Bahkan, ada petani yang memperoleh penghasilan Rp36 juta sekali panen. Oleh karena itu, tidak mengherankan kawasan itu menjadi daerah yang potensial bagi penjaja barang-barang komersial. Warga Dieng merupakan primadona yang menjanjikan bagi dealer sepeda motor, peralatan elektronik seperti televisi dan parabola, bahkan mobil.

“Dengan daya tarik pendapatan yang luar biasa itu, warga di Dieng mulai keranjingan menanam kentang. Kami memang tidak terlalu berpikir panjang. Pikirannya hanya satu memperoleh pendapatan banyak dari bertanam kentang,”ungkap Ahmad, 46, salah seorang petani yang memiliki lahan di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara.

Petani lainnya, Fauzi, 37, mengungkapkan bahwa warga memang sudah telanjur sangat bergantung dengan tanaman kentang. Meski sebetulnya, lanjut Fauzi, pertanian kentang di Dieng mulai menurun drastis hasilnya. “Kalau antara tahun 1990-2000, setiap tahunnya, petani kentang mampu memperoleh pendapatan bersih dari panen kentang sebesar Rp60 juta per tahun, kini hanya berkisar antara Rp20 juta hingga Rp40 juta,”katanya.

Menurutnya, penurunan hasil kentang tersebut akibat penurunan kualitas tanah di dataran tinggi Dieng. “Para petani yang menggarap lahan pada lokasi yang lebih tinggi pasti akan lebih jelek hasilnya. Misalnya yang berada di atas pegunungan, paling-paling hasilnya hanya sekitar Rp20 juta setiap tahun. Ini terjadi karena humus semakin lama kian hilang karena terjadinya erosi terutama pada musim penghujan. Apalagi, lahan di Dieng tidak ada penahan erosinya karena sangat sedikit tanaman keras,”jelasnya.

Meski demikian, petani setempat tidak kapok untuk terus menanam kentang, meski hasil panenan merosot tajam. Bahkan, alih fungsi lahan di Dieng masih terus berlangsung dan bertambah luas. Data pada Dinas Pertanian Banjarnegara menyebutkan kalau setiap tahun lahan tanaman kentang di Dieng semakin meluas. Misalnya tahun 2005 lalu luasan lahan tanaman kentang di Dieng wilayah Banjarnegara tercatat mencapai 5.700 hektare (ha) dan terus mengalami peningkatan pada tahun 2008 menjadi 8.000 ha.

Tingginya alih fungsi lahan secara kasat mata memang sangat terlihat di dataran tinggi Dieng. Sejauh mata memandang hanya lahan pertanian yang terlihat. Tidak ada hutan lebat yang biasanya hidup di sebuah dataran tinggi atau pegunungan. Hilangnya hutan di Dieng menjadi pemicu terjadinya longsor dan tingginya sedimentasi yang masuk ke sungai.

Data dari Tim Kerja Pemulihan Dieng menyebutkan kalau lahan rusak di dataran tinggi Dieng mencapai 7.700 ha, 4.000 di antaranya berada di Wonosobo dan 3.700 ha lainnya di Kabupaten Banjarnegara.

Dampaknya, sejak beberapa waktu terakhir, telah terjadi berbagai macam bencana di dataran tinggi Dieng. Bencana yang cukup besar terjadi pada Januari 2010 di wilayah dataran tinggi Dieng yang masuk Desa Tieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Banjir lumpur dan longsor menimpa belasan rumah yang menyebabkan enam orang tewas. Banjir lumpur juga beberapa kali terjadi, padahal lokasinya berada di 1.500 mdpl.

Degradasi lingkungan di Dieng memang mengkhawatirkan, meski sebetulnya berbagai instansi terkait sudah mulai melakukan berbagai upaya penghijauan. Pemkab Banjarnegara misalnya telah menargetkan pernghijauan di kawasan Dieng dengan luas 340 ha pada tahun 2010 ini dengan dana dari APBN dan APBD Jateng. “Penghijauan juga diikuti dengan pemberian bantuan ternak yang diharapkan dipelihara oleh warga sehingga mampu memberikan pendapatan bagi masyarakat setempat,”kata Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Banjarnegara Widadi.

Penghijaun juga melibatkan pihak ketiga yang bekerja sama dengan Pemkab Banjarnegara dibantu LSM dan warga. Mereka menanam kawasan setempat dengan eucalyptus. Dengan penanaman eucalyptus maka dapat menghijaukan Dieng dan hasilnya menjadi bahan baku pembuatan minyak kayu putih.

Upaya itu memang membutuhkan proses panjang karena tidak hanya kegiatan fisik tetapi mengubah mindset masyarakat. Apalagi, petani di Dieng sudah lama dimanjakan dengan hasil dari pertanian kentang. Yang jelas gonjang-ganjing lingkungan di “Kahyangan” masih terus berlangsung. Bahkan sama sekali belum diketahui sampai kapan bisa dihentikan.

Terpapar pestisida

Suara mesin penyedot air menderu. Seorang petani ditemani isterinya mulai menyemprotkan air yang telah dicampur dengan pestisida. Mereka kemudian berkeliling lahan pertanian yang ditanami kentang.

Mereka memang memakai celana dan kemeja panjang serta penutup kepala. Tetapi tampaknya itu hanya untuk menahan dinginnya suhu udara, bukan untuk melindungi tubuhnya dari pestisida. Sebab, wajah mereka terbuka. Sama sekali tidak ada masker yang melindungi hidung dam mulut. Mengherankan sebenarnya, karena pada saat mereka menyemprot pestisida ke tanaman kentang, bau pekat dari pestisida begitu terasa. Namun sepertinya mereka tak peduli terhadap dampak yang ditimbulkan.

“Ya memang setiap hari begini. Kami menyemprot pestisida tanpa masker. Sudah biasa. Hampir seluruh petani di Dieng seperti saya. Sudah bertahun-tahun seperti ini. Pernah saya mengalami mual dan pusing-pusing, tetapi ya biasa, setelah itu sembuh,”ujar Mahmud, 45, salah seorang petani di Desa Patakbanteng, Kecamatan Kejajar, Wonosobo.

Benar juga. Ternyata akibat setiap hari bergelut dengan pestisida, mereka akhirnya terpapar juga. Adalah Dinas Kesehatan (Dinkes) Wonosobo yang melakukan riset selama tiga tahun mulai tahun 2007, 2008 dan 2009. Sampel diambil dari empat desa dari dua kecamatan yakni Kejajar dan Kertek. Masing-masing desa sebanyak 40 petani. Ternyata mereka semuanya terpapar pestisida.

Kepala Laboratorium Teknik Lingkungan dan Air Dinkes Wonosobo Titik Eka Wahyuni mengatakan bahwa pihaknya secara mandiri mengadakan penelitian terhadap para petani kentang di sekitar Dieng yang setiap hari bergelut dengan pestisida. “Ternyata setelah kami melakukan riset dengan mengambil sampel darah para petani di Dieng, ada kandungan pestisidanya. Tingkatnya ringan sampai tinggi. Kami mengadakan sampling di empat desa, masing-masing desa ada 40 petani. Hasilnya memang cukup mengkhawatirkan, karena paparan pestisida berdampak sangat negatif bagi tubuh manusia,”ujar Titik.

Ahli toksikologi lingkungan pada Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jateng, Slamet Santoso mengungkapkan bahwa paparan pestisida dapat melalui pernafasan, makanan yang dicerna serta kontak kulit dengan pestisida. “Memang sangat memprihatinkan, kondisi petani di Dieng, karena mereka sepertinya tidak pernah terlalu peduli terhadap kesehatannya. Kan dapat dilihat kalau mereka tidak menggunakan peralatan pengaman seperti masker,”kata Slamet.

Paparan pestisida hampir pasti setiap hari masuk ke dalam tubuh petani kentang di kawasan itu. Kalau mereka tidak menyemprotkan pestisida, misalnya, masih ada petani lain yang ternyata menyemprot. “Padahal paparan pestisida akan terakumulasi dalam tubuh. Dampaknya sangat luar biasa. Potensi yang ditimbulkan di antaranya kanker, kerusakan syaraf, cacat lahir hingga mutasi genetik,”lanjutnya.

Ternyata tidak hanya pestisida yang berdampak pada lingkungan. Hasil riset yang dilakukan oleh tim dari Unsoed lainnya menyebutkan kalau kandungan N, P dan K di Sungai Serayu dan Waduk Mrica Banjarnegara sangat tinggi. Kandungan N,P dan K tersebut bersalah dari sisa-sisa pupuk yang dibawa air hujan masuk ke sungai dan waduk. “Kandungannya sangat tinggi, sehingga juga berdampak pada lingkungan khususnya di Waduk Mrica,”jelas Gentur Waluyo, ketim tim peneliti.

Ekses yang ditimbulkan di Waduk Mrica, kata Gentur, sudah mulai tampak yakni dengan munculnya eceng gondok. Sedimentasi yang tinggi ke waduk dengan kandungan N,P dan K tinggi membuat perkembangbiakan eceng gondok di waduk setempat mulai booming, karena saat ini mencapai ratusan hektare (ha). Beruntung pengelola mulai tanggap, dengan terus membersihkan eceng gondok. Kalau tidak segera diatasi, biasa jadi Waduk Mrica sama nasibnya dengan Rawa Pening di Kabupaten Semarang.(liliek dharmawan)

1 komentar:

Amisha mengatakan...


Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut