Kamis, 28 Februari 2013

Aksi Lokal Kurangi Pemanasan Global


SIANG yang panas. Matahari begitu menyengat. Tetapi bagi Marsih, 50, dan Cipto, 56, terik matahari tak dihiraukannya. Mereka tetap asyik dengan pekerjaan yang telah dimulai sejak pagi. Tangan-tangannya terlihat penuh dengan lumpur. Sesekali ia memasukkan jari-jarinya ke genangan air. Setelah itu, tangannya kembali meraih tanah, dimasukkan ke dalam plastik kecil. Lalu diraihnya tanaman yang tingginya masih sekitar 20 sentimeter (cm) dan ditanam pada polybag yang sudah diberi tanah.


“Pekerjaan setiap harinya memang seperti ini. Kami mengalihkan bibit tanaman bakau ke dalam polybag. Kalau dihitung, setiap harinya bisa ratusan bibit bakau yang masuk ke dalam kantung plastik tersebut. Tanaman ini merupakan bibit tanaman bakau yang sengaja dibudidayakan,”ungkap Cipto, 56, yang mamakai caping untuk penutup kepala.

Ia bersama Marsih dan sejumlah petani lainnya memang tampak begitu sibuk. Kalau dihitung, sudah ada ribuan tanaman bakau hasil pembibitan yang ada di lokasi kebun bibit di Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) tersebut. Kebun bibit itu dikelola oleh masyarakat setempat yang tergabung dalam kelompok Patra Krida Lestari. Kelompok itu memang telah memulai pengembangan bibit sejak tahun 2001 silam.

Ketua Kelompok Patra Krida Lestari Wahyono mengatakan ia bersama kelompoknya sengaja memulai mengumpulkan bibit bakau untuk kembali menghijaukan kawasan Kampung Laut khususnya Desa Ujung Alang.

“Di wilayah ini, kondisi mangrove sudah mengalami kerusakan cukup parah. Apalagi pada sekitar tahun 1990-an silam di mana ada usaha besar-besaran pembudidayaan bandeng di kawasan ini. Usaha itu membuka lahan mangrove dengan menebangi pohon-pohon bakau. Namun akhirnya, budidaya itu mengalami kebangkrutan. Banyak tambak yang ditutup, tetapi dampaknya, hutan mangrove jadi rusak akibat penebangan. Yang dulunya hijau, berubah jadi lahan terbuka,”jelasnya.

Kerusakan mangrove memang membawa keprihatinan. Hingga akhirnya, sejumlah warga sepakat untuk memulai menghijaukan kawasan itu. Targetnya tidaklah muluk-muluk, yang penting bekas tambak ditanami kembali pepohonan bakau.


Hektare per hektare lahan yang rusak akibat penebangan mangrove dihijaukan. Hingga kini, setidaknya ada 28 ha areal yang telah ditanami tanaman bakau. Bahkan, Wahyono juga berinisiatif untuk membudidayakan berbagai jenis mangrove yang dulu pernah ada, namun sekarang mulai langka. “Sampai sekarang ada setidaknya 18 jenis tanaman mangrove yang kami kembangkan pada lahan 6 ha. Saya harus mencari jenis lainnya, sebab ada setidaknya 28 jenis tanaman mangrove. Saya sudah mencari jenis-jenisnya dan sedang melakukan pencarian untuk dikembangkan. Yang masih sangat sulit dicari adalah jenis gebang dan kayu duduk,”ujar Wahyono.

Pengembangan bibit mangrove ini, kata Wahyono, tidak ada yang membiayai. Seluruhnya murni inisiatif kelompok. Mengapa mereka mau? Ya, karena bibit yang ditanam sebetulnya juga bisa menghasilkan uang, jika ada yang membeli. “Memang kalau ada perusahaan atau pihak pemerintah membutuhkan, kami akan menjualnya. Tetapi jika yang meminta adalah masyarakat biasa, kami akan memberikan cuma-cuma,”lanjut Wahyono.

Selain itu, kata dia, tanaman mangrove yang sudah besar, kayunya bisa digunakan sendiri untuk membuat rumah. “Kalau untuk rumah sendiri, tentu penebangan tidak banyak. Hanya sesuai kebutuhan saja. Jelas akan lebih hemat, sebab, per batang kayu sekarang telah mencapai Rp6 ribu. Jika sudah hutan mangrove bagus, maka sebagian bisa ditebang untuk kepentingan sendiri. Namun, anggota telah sepakat kalau penebangan tidak boleh sembarangan,”tandasnya.

Pada sisi lain, dengan tumbuhnya hutan mangrove, maka lingkungannya dapat digunakan untuk budidaya, misalnya kepiting. “Budidaya kepiting hasilnya sangat bagus. Tetapi sekali lagi, untuk budidaya bandeng atau kepiting, syaratnya adalah hutan mangrove bagus. Dari lahan sekitar 0,5 ha, hasil kepiting sekali panen bisa mencapai Rp4 juta. Hal ini tentu akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Ada dua keuntungan, lingkungan menjadi baik dan pendapatan masyarakat meningkat,”jelasnya.

Kondisi hutan mangrove di wilayah Segara Anakan, Cilacap itu juga sempat menjadi perhatian dalam sebuah seminar internasional di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Jateng pada Oktober 2012 lalu. Dalam seminar tersebut terungkap kalau luas hutan mangrove Indonesia tinggal 3,2 juta ha saja atau 22% dari luasan mangrove di dunia.

Para ahli prihatin dengan kondisi mangrove yang sebetulnya menjadi ekosistem penting dalam mengurangi dampak pemanasan global. Pada seminar itu juga terungkap, riset yang telah dilakukan Ocean and Coastal Policy Program Duke University menyebutkan kalau merusak 1 ha hutan mangrove, sama dengan menebang 3-5 ha hutan tropis. Dapat disimpulkan bahwa hutan mangrove bisa mengurangi emisi karbon lebih besar jika dibandingkan dengan hutan tropis.

Hutan mangrove yang dikategorikan ekosistem lahan basah mampu menyimpan 800-1.200 ton CO2 per ha. Pelepasan emisi ke udara pada hutan mangrove lebih kecil daripada hutan di daratan. Pembusukan serasah tanaman akuatik tidak melepaskan karbon ke udara. Tanaman hutan tropis yang mati melepas 50 persen karbon.

Barangkali, Wahyono berserta kelompoknya tidak terlalu berfikir jauh kalau kawasan Kampung Laut yang dihijaukannya ternyata berdampak besar bagi pengurangan pemanasan global, meski mereka beraksi secara lokal. Masyarakat setempat tidak terlalu paham kalau pengurangan dampak pemanasan global menjadi perbincangan yang tiada henti. Tak dinyana langkah mereka sejalan dengan yang dilakukan Oxfam. Oxfam adalah konfederasi internasional dari tujuh belas organisasi yang bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat kemiskinan.

Bagi masyarakat setempat, berfikirnya sederhana saja yakni melakukan penghijauan. Karena dengan menghijaukan mangrove, pendapatan masyarakat akan meningkat karena hutan mangrove yang hijau dan baik bisa digunakan warga untuk budidaya kepiting. Sederhana bukan? Padahal, sejatinya, aksi mereka bisa menjadi inspirasi masyarakat dunia akan pentingnya pengurangan dampak pemanasan global. (***)



Senin, 25 Februari 2013

Kekerabatan Bonokeling yang Tak Lekang Zaman






Siang yang cukup terik. Debu jalanan terbang ke udara ketika ada kendaraan lewat. Hari panas itu terasa sejuk ketika mendengar sapaan masyarakat Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng).

Sapaan warga memang mengesankan kalau mereka terbuka dengan siapa pun dan pengaruh apapun. Raut wajah sumringah terlihat begitu ada tamu yang datang. Sama sekali tidak ada kesan bahwa mereka tertutup. Padahal, warga setempat merupakan komunitas adat Bonokeling, sebuah masyarakat dengan segudang tradisi yang tetap bisa dipertahankan dan dilestarikan hingga kini.

Meski mereka adalah komunitas adat Bonokeling, namun warganya telah berbaur dengan masyarakat lain. Hingga kini tercatat, pengikut kaum adat Bonokeling tidak kurang dari 5 ribu orang. Pusatnya memang berada di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang. Warga tersebar di 23 rukun tetangga (RT) dari 33 RT yang ada. Letak desa setempat tidaklah terpencil, hanya sekitar 3 kilometer (km) dari jalur selatan penghubung Yogyakarta-Bandung. Apalagi, jalannya telah diaspal. Selain di Pekuncen, warga Bonokeling lainnya bermukim di sejumlah kecamatan di Cilacap seperti Adipala, Kroya, Sidareja, Gandrungmangu dan lainnya.

Walaupun dipisahkan oleh jarak, tetapi komunitas adat Bonokeling terus menjalin komunikasi. Apalagi, secara berkala mereka juga mengadakan ritual tradisi. “Biasanya, setiap selapan (40 hari) kami mengadakan pertemuan di Bale Pasamuan. Pertemuan itu berisi mengenai berbagai macam hal, salah satunya adalah bagaimana kaum adat Bonokeling diingatkan akan ajaran nenak moyang,”kata Juru Kunci Komunitas Adat Bonokeling, Kartasari.

Tempat pertemuan berada di “kompleks perumahan” para pemuka adat Bonokeling. Selain “rumah dinas” di tempat itu ada juga Bale Malang yang merupakan tempat memasak bersama-sama. Hampir seluruh bangunan masih bercorak arsitektur rumah Jawa kuno yakni joglo. Meski bagian penutupnya ada yang menggunakan seng maupun genting. Hampir seluruh rumah dan bangunan tetap masih beralaskan tanah.

Menurut Kartasari, Juru Kunci dibantu oleh para Bedogol yang bertugas sebagai pemimpin putra wayah atau biasa disebut anak cucu. Sebutan itu merupakan putra wayah merupakan warga komunitas adat Bonokeling. “Tugas utama seorang Juru Kunci adalah menjaga kompleks makam Bonokeling. Selain itu juga memimpin ritual tradisi yang digelar. Misalnya saja Unggah-unggahan, Udunan, Sedekah Bumi, Suran dan lainnya,”jelasnya.

Tradisi

Sebagai komunitas adat, kaum Bonokeling memiliki beragam tradisi yang tak lekang oleh zaman. Unggah unggahan merupakan tradisi paling banyak diikuti oleh warga komunitas adat Bonokeling. Mereka datang dari berbagai penjuru dengan jalan kaki melewati perbukitan. Prosesi yang dilaksanakan pada hari Jumat terakhir bulan Ruwah dalam kalender Jawa. Prosesi dalam tradisi Unggah unggahan berlangsung selama tiga hari dan melibatkan ribuan warga Bonokeling.

Pada prosesi Unggah unggahan yang berlangsung pada bulan Juli lalu, setidaknya ada 1.500 warga komunitas Bonokeling yang datang ke Desa Pekuncen. Prosesi Unggah unggahan sejatinya adalah ziarah kubur di kompleks pemakaman Bonokeling, tokoh spiritual yang merupakan cikal bakal dari kaum adat Bonokeling. Hanya saja, tokoh tersebut sampai sekarang misteri, karena tidak pernah ada catatan sejarah yang secara pasti mencatat muasalnya.  Hanya disebutkan kalau Bonokeling merupakan seorang tokoh dari Kadipaten Pasir Luhur yang erat hubungannya dengan Kerajaan Padjajaran.

Di kompleks makam itulah, secara bergiliran, mereka melakukan ritual Unggah unggahan dengan berpakaian adat Jawa kuno. Prosesi itu ditutup dengan makan besar bersama seluruh warga komunitas Bonokeling. “Tradisi ini memang telah berlangsung ratusan tahun. Yang jelas, sampai sekarang masih tetap dipertahankan dan dilestarikan. Tidak hanya orang tua saja yang datang, tetapi juga anak-anak, pemuda dan para sepuh,”ungkap salah seorang warga Komunitas Bonokeling, Sanmiarja, 65.

Setelah ritual Unggahan, ada juga tradisi Udunan. Namun, tradisi tersebut tidak seramai Unggah unggahan. Prosesi budaya lainnya yang masih dilangsungkan adalah Sedekah Bumi. Tradisi ini juga dipimpin langsung oleh Juru Kunci Kartasari. Ritual tersebut sesungguhnya adalah gelaran doa menjelang masa tanam. Warga Bonokeling yang bermukim di Desa Pekuncen membawa bahan makanan lengkap dengan lauk pauk dan dibawa ke balai desa setempat. Setelah terkumpul semua, juru kunci berdoa dengan bahasa Jawa meminta kepada Yang Maha Kuasa serta meminta restu para leluhur agar dalam masa tanam tidak ada halangan dan bisa dipanen dengan hasil baik.

Dalam tradisi itu juga digelar acara lempar nasi yang telah dibentuk menjadi bulatan. Lempar-lemparan nasi tersebut sebagai bentuk kebersamaan, sehingga bagi mereka yang terkena lemparan tidak boleh marah. Nasi yang tercecer di jalanan kemudian dikumpulkan kembali dan diberikan kepada ayam dan unggas yang mereka pelihara.


Kebersamaan

Kebersamaan dalam kekerabatan kaum adat Bonokeling terus membudaya hingga sekarang. Kuncinya adalah generasi tua komunitas adat Bonokeling menularkan tradisi kepada anak cucu mereka. “Dalam setiap pertemuan, juru kunci maupun para bedogol memberikan wejangan pentingnya menjaga kelestarian adat,”tegas salah seorang tetua adat Sumitro.

Menurutnya, meski komunitas adat Bonekeling telah tersebar di mana-mana, tetapi dalam setiap ritual tradisi terutama Unggah unggahan merupakan ajang pertemuan dan interaksi kaum tersebut. “Kami dipersatukan dalam kekerabatan Bonokeling. Masyarakat di sini memang terbuka dengan siapa saja dan pengaruh apa pun, tetapi kalau sudah tentang tradisi, itu sangat kami pegang erat dan tetap dilestarikan sampai kapan pun,”jelas Sumitro.

Peneliti komunitas adat Bonokeling dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto Ridwan mengungkapkan bahwa sistem kekerabatan yang begitu erat pada komunitas Bonokeling dimulai dari sistem rekrutmen. “Jadi sejak kecil, mereka telah didata dan didaftarkan menjadi “anak putu” Bonokeling. Mereka yang telah direkrut nantinya akan dibina oleh tetua adat, baik yang ada di Banyumas atau Cilacap,”jelasnya.

Dengan kekerabatan itu, muncullah daya imunitas yang kuat terhadap pengaruh-pengaruh luar, meski sebetulnya komunitas tersebut bersifat terbuka. “Dari sisi budaya, itu merupakan aset yang hingga kini masih dapat bertahan terhadap gempuran zaman,”katanya.

Namun kalau dilihat dari sisi agama, agak sulit sebetulnya mereka itu masuk agama apa. “Kalau dikatakan Islam, mereka ada juga sebagai penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jika dikatakan Hindu atau Budha, juga bukan. Jadi sebetulnya, dilihat dari pendekatan agama, misalnya Islam, mereka tidak termasuk, karena juga tidak menjalankan ibadah salat lima waktu. Yang pasti, mereka memiliki tata cara tersendiri melakukan peribadahan,”ujar Ridwan. (liliek dharmawan)


Minggu, 24 Februari 2013

“Oemar Bakrie” Masih ada di Zaman Ini





Sepeda kumbang melaju di jalanan yang berlubang. Dengan cepat, Oemar Bakrie terus mengayuh agar tidak terlambat mengajar di sekolahnya. Pengabdiannya sebagai guru telah menjadikan siswa-siswanya menjadi  “orang-orang penting”. Tetapi, jangan tanya soal pendapatannya, sebab gajinya seperti dikebiri.

Cerita itu memang hanya dalam lagu yang digubah oleh Iwan Fals beberapa dekade lalu. Sebagian orang barangkali sudah nyinyir terhadap cerita itu. Sebab, guru sekarang telah sejahtera. Gaji dan tunjangan sertifikasi yang mereka peroleh membuat guru bisa mendapatkan penghasilan lebih dari Rp5 juta setiap bulannya. Dengan hanya mengajar dari jam 07.00 WIB hingga sekitar jam 14.00 WIB.

Barangkali benar, sudah banyak guru yang sejahtera, namun tidak jarang yang masih memelas nasibnya. Bagai bumi dan langit, karena gap pendapatan begitu timpang. Inilah yang dialami oleh Agung, 27, yang menjadi guru di salah satu SD Negeri di Kecamatan Karanglewas, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng). Ia hanya diberi gaji Rp100 ribu hingga Rp150 ribu per bulan.

Honor yang diberikan kepada Agung merupakan anggaran dari sekolah, karena ia diangkat menjadi guru wiyata bakti (WB) berdasarkan Surat Keputusan (SK) Komite Sekolah. Sebab, sejak tahun 2005 pemerintah telah memutuskan untuk tidak mengangkat guru honorer atau WB. “Tetapi, karena sekolahnya butuh, maka saya diangkat dengan SK Komite Sekolah. Konsekuensinya memang tidak digaji oleh pemerintah. Setiap bulannya hanya mendapatkan Rp100 ribu hingga Rp150 ribu,”jelasnya.

Ia masih bisa menerima, karena saat ini belum memiliki keluarga. Untuk mencukupi kebutuhan dirinya saja, jelas sangat tidak mungkin mengandalkan gaji dari sekolah tersebut. Makanya, ia rela untuk menjadi penjaga warung angkringan kalau malam hari. “Warung angkringan ini milik kakak saya. Dengan berjualan, saya bisa menambah penghasilan untuk membiayai kuliah sarjana,”kata Agung yang baru mempunyai ijazah D2 bidang olah raga tersebut.

Meski honornya seadanya, tetapi menjadi guru adalah sebuah panggilan. Makanya, ia tetap mengajar  walaupun gajinya untuk beli bensin motornya saja tidak cukup. “Mudah-mudahan, nanti kalau lulus S1, ada bukaan lagi guru atau pengangkatan guru PNS. Itu mimpi saya,”tambahnya.

Nasib lebih baik dialami oleh Deri, 31, seorang guru SMP swasta di wilayah Purwokerto Barat, Banyumas. Sebagai seorang guru swasta, gajinya memang berasal dari yayasan yang menaungi sekolah setempat. “Saya setiap minggu mengajar sekitar 31 jam dengan mata pelajaran Bahasa Inggris. Honor yang saya terima Rp400 ribu per bulan. Kalau dipikir-pikir memang tidak cukup, namun mau bagaimana lagi. Untuk menjadi guru PNS sangat minim kesempatannya,”jelas dia.

Ia masih tetap mengajar meski gajinya jauh dari harapan. Sebab, dengan mengajar ada tambahan pendapatan untuk keluarganya. “Barangkali saya masih beruntung, karena suami bekerja, sehingga dapur masih tercukupi meski pas-pasan,”tambahnya.

Nurhalimah, 28, yang mengajar di sebuah SD Negeri Kecamatan Patikraja, Banyumas, yang diangkat sebelum tahun 2005 sebagai guru WB, nasibnya lebih beruntung, walaupun tetap honornya di bawah upah minimum kabupaten (UMK) yang besarnya Rp877 ribu tahun 2013. “Saya memang mendapatkan honor dari sekolah Rp200 ribu per bulan. Karena diangkat sebelum tahun 2004, maka saya mendapat uang tunjangan fungsional dari pemerintah sebesar Rp300 ribu per bulan. Tetapi, tunjangan fungsional tidak diterima setiap bulan. Biasanya ada rapelan 3 atau 6 bulan sekali,”ujar Nurhalimah.

Sehingga, kata Nurhalimah, kalau dihitung-hitung, setiap bulannya saya mendapatkan honor Rp5000 ribu. Gaji tersebut memang masih lebih rendah jika dibandingkan dengan UMK Banyumas. “Tetapi mau bagaimana lagi. Saya malu sebetulnya, karena jelas tidak bisa mencukupi keluarga. Kebetulan suami saya juga kerja, sehingga masih tetap bisa membeli susu untuk anak saya,”tambahnya.

Untuk memperoleh pendapatan tambahan, Nurhalimah membuka les Bahasa Inggris untuk anak-anak. “Selepas mengajar di SD, saya memberi les untuk anak-anak. Lumayan lah guna menambah pendapatan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Kalau mau kerja lain, sepertinya tidak. Karena sudah sejak tahun sembilan tahun saya menjadi guru dan telanjur cocok dengan profesi ini,”jelasnya.

Untuk menambah pendapatan, ia kemudian membuka les Bahasa Inggris untuk anak-anak. Meski hasilnya juga tidak seberapa, tetapi setidaknya akan membantu untuk mencukupi kebutuhan keluarga. “Lumayan lah dengan membuka les Bahasa Inggris, karena ada pemasukan untuk membeli susu anak saya,”tambah Nurhalimah.

Para guru itu memang ibarat bumi dan langit jika dibandingkan dengan guru PNS yang telah mendapat tunjangan sertifikasi. Namun, pengabdiannya yang tulus tidak membuat mereka luluh hanya karena rendahnya pendapatan. (liliek dharmawan)