Kamis, 31 Maret 2011

Rongsokan Jadi Gamelan





Gung....gung...gung...Suara itu nyaring terdengar di antara dentingan suara logam yang saling beradu. Suara datang dari salah satu rumah di sentra kerajinan logam di Desa Pesayangan, Kecamatan Purbalingga Kota, Purbalingga, Jawa Tengah (Jateng). Setelah didekati, ternyata salah seorang pekerja sedang mencoba suara gamelan jenis gong yang baru saja diselesaikan pengerjaannya. Terlihat ada tiga gong yang sudah digantung dengan seutas kawat besi di salah satu sudut ruangan.

“Yang ini telah selesai. Makanya dicoba, apakah suaranya bagus atau tidak. Setelah dirasa cukup baik suaranya, maka langsung dibungkus dengan kardus dan siap dikirimkan,”kata salah seorang pekerja, Tunut, 38.

Tak berapa lama, ia kemudian ganti mengerjakan yang lainnya. Tunut yang ditemani oleh Prayit, 38, kembali meneruskan pekerjaannya memotong logam yang berasal dari drum-drum bekas. Setelah dipotong, logam itu ditempelkan sampai membentuk sebuah alat musik gamelan. Alat yang digunakan sederhana, hanya sebuah palu dan pengelas.

Pemilik usaha tersebut, Marliah, 49, mengungkapkan bahwa gamelan yang dibuat dari Pesayangan pada umumnya berbahan baku logam bekas. Biasanya, bahan baku adalah drum bekas tempat minyak tanah atau bensin yang sudah tidak terpakai. “Jadi memang boleh dikatakan sebagai barang rongsokan atau limbah, karena sudah tidak digunakan. Drum-drum tersebut kemudian dipotong-potong untuk kemudian dibuat alat musik tradisional Jawa, yakni gamelan,”ujarnya.

Yang dibuat oleh Marliah bersama pekerjanya di antaranya adalah jenis gong, bonang, demung, saron, kenong dan lainnya. Pokoknya seluruh jenis alat musik gamelan yang terbuat dari logam. “Kalau jenisnya tergantung pesananannya. Misalnya, untuk Jawa Barat tentu beda dengan Jateng atau Bali,”katanya.

Biasanya, jika pesanan dari Bandung, alat musik gamelan untuk mengiringi Jaipongan, sehingga berbeda dengan pesanan dari Yogyakarta atau Bali yang disesuiakan dengan gamelan khas di wilayah tersebut. “Kalau saya, biasanya pesanan berasal dari Bandung, Yogyakarta dan Bali. Ada yang membeli satu set, tetapi ada yang pesan per satuan. Misalnya gong saja atau bonang. Semuanya kami layani tanpa kecuali,”jelas Marliah yang mulai membuka usahanya sejak tahun 1980-an silam.

Perjalanan para perajin Pesayangan untuk membuat kerajinan gamelan dimulai sejak lebih dari 50 tahun silam. Salah satu perajin gaamelan yang cukup tua di Pesayangan, Achmad Markus yang kini berusia sekitar 70 tahun menuturkan bahwa dirinya mulai menekuni usaha gamelan sejak tahun 1960. Ia meneruskan usaha ayahnya. “kalau dihitung-hitung, sudah lebih dari 50 tahun para perajin di Pesayangan menekuni pembuatan gamelan,”ujar Achmad sambil terus mengayunkan palunya meratakan logam.

Lelaki yang saban kerja tidak mengenakan baju tersebut mengatakan bahwa Pesayangan memang lebih khusus membuat gamelan dari drum-drum bekas, bukan dari kuningan. “Di sini masih ada sekitar lima hingga tujuh perajin yang menekuni pembuatan gamelan. Tetapi kami tidak bersaing, sebab sudah memiliki pangsa pasar masing-masing. Para perajin mempunyai langganan yang pasti. Kalau saya, biasanya pesanan datang dari luar Jawa,”katanya.

Seperti sudah menjadi kesepakatan para perajin, satu set gamelan biasanya dijual dengan harga Rp25 juta. Biasanya terdiri dari seluruh alat musik gamelan yang berasal dari logam, mulai bonang, gong, kenong, demung, saron dan lainnya. Tetapi kalau per satuan, harganya beragam. Ada yang harganya Rp350 ribu hingga Rp2 juta. Drum bekas yang digunakan harganya Rp80 ribu. Untuk membuat satu set gamelan dibutuhkan tidak kurang dari 79 drum dengan waktu pengerjaan antara 1,5 – 2 bulan. Kalau ada yang pesan dari kuningan, para perajin juga siap membuatkan, tetapi harganya jauh lebih tinggi, karena satu set gamelan harganya mencapai Rp150 juta.

Menurut Achmad, pekerjaan yang ditekuninya sejak puluhan tahun silam itu masih tetap bertahan karena memang mendatangkan keuntungan. “Pendapatan sebulan tidak pasti. Tergantung sama pesanan. Kalau memang banyak pesanan, pendapatan bisa mencapai Rp5 juta, tetapi ada kalanya memperoleh Rp2 juta. Ya, namanya saja usaha, kadang ramai, kadang sepi,”katanya.

Namun, kalau dibandingkan dengan sebelum tahun 1965 silam, usaha pembuatan gamelan memang lebih redup. Sebab, sebelum tahun 1965, usaha pembuatan gamelan benar-benar mengalami masa jayanya. “Meski begitu, kami tetap bertahan karena usaha ini tetap mendatangkan pendapatan,”ujar Achmad.

Di Desa Pesayangan yang merupakan sentra perajin logam, kini memang tinggal menyisakan sekitar tujuh perajin. Dulunya, tahun 1960 silam perajin gamelan jumlahnya mencapai puluhan. Tetapi dengan berjalannya waktu, satu per satu perajin bertumbangan akibat pesanan yang semakin langka. Namun, bagi Marliah, Achmad dan perajin lainnya bertahan menjadi sebuah jalan, jumlah pesanan gamelan semakin terbatas. Mereka bertahan karena dari situlah sumber pendapatan mereka. (liliek dharmawan)

Rabu, 30 Maret 2011

Batu Le Sang du Christ dari Purbalingga




Mengagetkan. Ternyata, setelah dilakukan penelusuran di daerah aliran

sungai (DAS) Sungai Klawing di sekitar Kecamatan Bobotsari, Purbalingga,

Jawa Tengah (Jateng) ternyata menemukan berbagai jenis batu mulia.

Bagi warga setempat, batu-batu yang ditemukan mahasiswa itu biasa saja,

mereka menyebutnya sebagai Nogo Sui. Namun, setelah diteliti lebih

mendalam oleh pakar batu mulia, Nogo Sui adalah batu yang dikenal di

Perancis dengan nama Le sang du Christ atau batu darah Kristus.

Batu itulah yang juga disebut sebagai Heliotrope yang biasanya digunakan

untuk mempelajari pergerakan matahari. Dalam dunia batu mulia, batu

tersebut juga biasa disebut Blood Jasper. Batu itu berwarna hijau dengan

bintik-bintik kemerahan. Selain itu, juga ada batu mulia yang disebut

dengan Jasper Kalsedon yang berwarna kemerahan.

Batu-batu mulia itu tidak hanya ditemukan di DAS Klawing, namun juga

berada di sawah-sawah. Misalnya di Desa Dagan, Kecamatan Bobotsari. “Kalau

cuma batu seperti itu, di sini sangat banyak. Saya juga tidak tahu kalau

itu ternyata batu mulia,”kata Darsun, 46, penduduk setempat.

Namun, bagi Sudjatmiko, Sekretaris Jenderal Masyarakat Batu Mulia

Indonesia, penemuan itu amat berarti. Karena ternyata selain batu-batu

yang ditemukan di sekitar DAS Klawing tidak sekadar sebagai batu mulia

yang tentu bernilai ekonomis tinggi. Tetapi lebih dari itu, batu-batu

mulia yang ditemukan tersebut mencerminkan peradaban manusia zaman purba.

Sebab, batu-batu mulia yang warnanya menyejukkan itu tidak hanya berbentuk

alamiah, namun telah ada yang dimodifikasi. Sehingga, sebagian di

antaranya memang sudah merupakan artefak.

Sudjatmiko yang juga dosen tamu Institut Teknologi Bandung (ITB) dan dosen

luar biasa Geologi Unsoed Purwokerto menyatakan setelah mengambil sampel,

ternyata ada batu-batu yang terpotong. Setelah diteliti lebih lanjut,

Sudjatmiko menemukan kemiripan satu sama lainnya. Bentuk yang terbanyak

seperti kapak perimbas atau disebut chopper dan kapak penetak atau

chopping.

Ekskursi lapangan ke kawasan DAS Klawing dan beberapa tempat di

sekitarnya, ternyata juga menemukan serpihan batu-batu kecil dan sisa-sisa

gelang yang diperkirakan dari budaya Neolithikum. Bahkan, kalau dilihat

dari bentuk kapak perimbas dan penetak yang begitu sederhana, kemungkinan

dari budaya Paleotilikum.

Contoh-contoh peralatan zaman Neolithikum yang biasa disebut zaman batu

muda sebetulnya peralatannya sudah cukup sempurna karena sudah diasah,

sehingga terlihat indah. Dari budayanya, mereka sudah tinggal dan bercocok

tanam. Bukti peralatan pada masa itu telah diperoleh di sejumlah tempat di

Indonesia, misalnya kapak persegi di Bogor serta ada juga gelang dan

cinton yang tersebar di beberapa daerah di Jawa.

Namun, bagi Sudjatmiko, yang lebih mengherankan adalah, kenapa peralatan

batu manusia prasejarah itu sangat banyak. “Jika itu karena proses erosi

dan pelapukan, rasanya tidak mungkin sampai menghasilkan produk gravels

yang beberapa bagiannya terpangkas sempurna,”ujar Sudjatmiko.

Dari beberapa penemuan itu, Sudjatmiko mengatakan kalau di wilayah

Purbalingga merupakan “pusat industri” peralatan zaman prasejarah. “Bisa

dibayangkan, batu-batu yang bisa disebut artefak karena telah dimodifikasi

itu juga ditemukan di sawah-sawah. Para mahasiswa menemukan tersebar di

berbagai tempat. Apakah mungkin, begitu banyak peralatan perdaban saat itu

hanya dipakai sendiri, atau sudah di sini merupakan bengkelnya dan

didistribusikan ke daerah lainnya. Barangkali ada hubungannya, ketika ada

penemuan peralatan semacam itu di Kebumen, sedangkan di tempat itu tidak

ada batu yang seperti ditemukan di Purbalingga,”jelasnya.

Dalam penelusuran lainnya, mereka juga menemukan adanya sisa pembuatan

gelang yang biasa dipakai oleh manusia purba. Sejumlah batu yang merupakan

buangan dari gelang manusia purba tidak dalam kedalaman tanah, melainkan

teronggok begitu saja di sawah-sawah dan sungai. “Dengan adanya penemuan

limbah gelang itu, sangat mungkin kalau di sini dulunya merupakan industri

batu zaman purba. Karena jumlahnya memang sangat banyak,”katanya.

Bukti-bukti peradaban prasejarah yang ada di Purbalingga tidak hanya itu.

Di beberapa tempat, misalnya, di Desa Dagan dan Limbasari, Kecamatan

Bobotsari, ditemukan sejumlah bukti zaman megalithikum atau disebut zaman

batu besar. Di antaranya yang sampai sekarang dipelihara oleh penduduk

setempat adalah Menhir. Salah satu Menhir berada di pelataran rumah Midun,

42. “Saya sudah lama mengurus Menhir yang berada di tempat ini. Ada juga

beberapa Menhir yang berada di tempat lainnya,”ujarnya.

Dalam beberapa riset, salah satunya oleh Arkeolog Nurul Laili menyebutkan,

kalau di Purbalingga ditemukan setidaknya 15 situs perbengkelan batu

prasejarah yang tersebar di Sungai Klawing dan anak-anak sungainya.

Dosen Jurusan Geologi Unsoed Purwokerto Siswandi mengatakan bahwa penemuan

berbagai batu-batuan yang berserakan di DAS Klawing dan sekitarnya di

Purbalingga memang membuat mata terbelalak. “Namun, ini kan baru penemuan

batu saja. Sehingga para arkeolog bisa menindaklanjutinya. Karena tidak

mungkin kami tahu, zona utamanya sebetulnya di mana. Di sinilah peran para

arkeolog untuk memetakannya. Apalagi sebetulnya sudah banyak riset yang

digelar oleh arkeolog,”ujarnya.

Sudjatmiko menjelaskan pihaknya baru menggagas pertemuan antara para

arkeolog dengan para geolog untuk saling sharring untuk menindaklajuti

penemuan “harta karun” tersebut.(liliek dharmawan)

Minggu, 27 Maret 2011

Tantangan Berat Perajin Keramik Banjarnegara





Naga-naganya tahun-tahun mendatang bakal menjadi tahun berat bagi para perajin khususnya keramik. Begitu juga dengan yang dirasakan oleh perajin di sentra keramik Desa Kampok, Kecamatan Purwareja Klampok, Banjarnegara. Itu tidak lain karena mulai tahun ini diberlakukan ACFTA, pedagangan bebas di wilayah Asean dan Cina.

Belum ada yang tahu, apakah para perajin di Klampok akan mampu bertarung dan tetap menjadi pilihan masyarakat. Itu semua memang pertanyaan besar yang hanya dapat dijawab pada waktu-waktu mendatang.

Sejarah panjang industri keramik Klampok telah dimulai sejak tahun 1960-an silam. Dalam perjalanannya, tahun 1970-an, Klampok yang berada di jalur utama penghubung Purwokerto-Semarang tersebut menjadi sentra keramik. Ratusan perajin yang merupakan warga desa setempat mampu menghidupi keluarganya dengan membuat keramik.

Zaman keemasan mulai benar-benar terlihat sekitar tahun 1985 hingga pertengahan 1997. Tahun-tahun tersebut, kerajinan keramik Klampok setara dengan Kasongan, Bantul, Yogyakarta. Bahkan, para perajin juga membuat showroom di Bali dan Jakarta. Bahkan,

pembeli dari luar negeri, misalnya Singapura dan Malaysia datang langsung ke Klampok untuk membeli produk keramik.

Sentra kerajinan mulai redup ketika krisis ekonomi menerpa tahun 1998 silam, khususnya para perajin yang hanya mengandalkan pasar dalam negeri limbung. Harga-harga bahan baku melonjak drastis. Para perajin mulai kolaps satu per satu. Namun, tetap ada perajin yang masih bertahan, karena menggantungkan pasar luar negeri. Meski bahan baku harganya melonjak, tetapi dapat diimbangi dengan naiknya nilai tukar dolar AS.

Recovery memang berjalan, namun “kesehatannya” tidak sepenuh ketika sebelum terjadi krisis. Hanya sebagian perajin yang mampu melanjutkan usahanya. Namun demikian masalah kembali muncul ketika pemerintah menerapkan konversi minyak tanah ke gas. Perajin juga mulai beradaptasi, meski dengan susah payah harus mengganti alat pembakaran dengan bahan bakar gas.

Hampir dalam waktu bersamaan muncul krisis global finansial yang berdampak pada ekspor. Bahkan, ada perajin yang sudah deal dengan AS, namun kemudian perusahaan di Paman Sam tersebut membatalkannya karena krisis global tersebut. Kini, masalah besar di depan mata, dengan pemberlakuan ACFTA yang mengharuskan peerajin Klampok harus bertarung bebas dengan produk dari Cina. (liliek dharmawan)

Selasa, 22 Maret 2011

Ritual Suran Warga Sekitar Sungai Serayu




Ritual memperingati bulan Suro biasanya ramai dirayakan oleh berbagai kelompok di Jawa, termasuk di Desa Tambaknegara, Kecamatan Rawalo, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng). Di desa setempat, ritual Suran diikuti oleh ratusan warga desa setempat.

Mereka menggelar upacara adat sedekah bumi memperingati suran. Ritualnya beragam, mulai dari mandi di Sungai Serayu, makan bersama, sampai larungan sesaji di Sungai Serayu.

Prosesi adat yang telah berusia ratusan tahun itu, dimulai dengan kungkum atau mandi bersama di Sungai Serayu oleh kaum laki-laki pada. Sedangkan para perempuan desa setempat mempersiapkan berbagai macam hidangan dan makanan. Siang harinya, mereka berkumpul di jalan desa untuk bersama-sama makan di tempat itu. Mereka membawa tenong atau tempat nasi dan lauk-pauknya. Tenong-tenong tersebut dijajar oleh warga dan di belakangnya adalah warga yang telah berusia lanjut.

Setelah didoakan oleh ketua adat, mereka kemudian makan bersama di jalanan. Di sela-sela kegiatan itu, warga juga mengubur kepala kambing di perempatan jalan desa sebagi simbol kurban atau mengucap syukur kepada Yang Maha Kuasa.

Mereka juga telah mempersiapkan sesajen yang terdiri dari hasil bumi. Setelah mereka makan bersama, warga baik laki-laki maupun perempuan membawa sesaji yang berupa hasil bumi ke pinggir Sungai Serayu. Sebagian hasil bumi diperebutkan oleh warga, sebagian lainnya dilarung ke Sungai Serayu.

Ketua Paguyuban Masyarakat Pariwisata Serayu Edi Wahono menyatakan bahwa upacara adat yang digelar pada bulan Sura tersebut sudah berlangsung ratusan tahun silam. “Pada intinya, peringatan suran ini sebagai sedekah bumi. Warga memanjatkan doa agar dalam bertani dapat membawa hasil panen yang baik,”ujar Edi. (liliek dharmawan)

Minggu, 20 Maret 2011

Kudi, Senjata dan Alat Kerja dari Banyumas




Wilayah Nusantara memang kaya terhadap karya seni khususnya senjata. Masing-masing daerah memiliki karakteristik. Di Yogyakarta dan Solo misalnya, dikenal memiliki Keris. Di Jawa Barat (Jabar) ditemukan Kujang. Di wilayah Banyumasan atau Jateng bagian barat ada senjata yang kini nyaris punah karena sulit ditemukan, yakni Kudi. Senjata itu unik bentuknya. Fungsinya ganda, sebagai alat kerja sekaligus senjata.

Sekilas Kudi mirip dengan Kujang. Bentuknya unik, karena tidak seperti Keris yang beraturan. Panjangnya hanya sekitar 20 sentimeter (cm). Bentuknya melengkung, tetapi di bagian lengkung dalam bentuknya agak kotak. Sedangkan lengkung luarnya bergerigi seperti gergaji. Ada lubang-lubang pada logamnya. Ada yang lima, ada pula yang jumlahnya sembilan.

Kudi memang belum terlalu terkenal, karena sudah semakin sulit ditemukan. Bahkan, lokasi pembuatannya yang ada di sekitar Jateng bagian barat seperti Banjarnegara dan Banyumas, jumlah yang dikoleksi dapat dihitung dengan jari. Meski demikian, Kudi sudah menjadi ikon Banyumas, di mana senjata tersebut biasa dibawa oleh Bawor, tokoh pewayangan yang menjadi simbol kabupaten tersebut.

Salah satu pengoleksi Kudi adalah Raden Tumenggung (RT) Noerring W. Doyo Dipuro yang juga pemilik Padepokan Jolo Sutro Banjarnegara. Menurut Noerring, dirinya mendapatkan Kudi Banyumasan secara kebetulan. “Kudi yang saya koleksi termasuk cukup tua, karena dibuat pada zaman Kerajaan Mataram. Kudi ini saya peroleh di Desa Gumelem, Kecamatan Susukan, Banjarnegara,”kata Noerring kepada Media Indonesia.

Menurutnya, Kudi memang memiliki karakteristik bentuk tersendiri. Namun kalau dilihat dari bentuknya, Kudi sangat dipengaruhi oleh Kujang atau Kudi Kukilo yang dibuat pada zaman Kerajaan Padjajaran. “Lihat saja Kujang dan Kudi Kukilo yang dibuat saat zaman Padjajaran, hampir sama. Namun, kalau Kudi Banyumasan lebih melengkung dan itu dibuat ketika zaman Kerajaan Mataram. Kebetulan, wilayah Banyumasan atau Jateng bagian barat masih dalam daerah kekuasaan Mataram,”kata Noerring.

Diakuinya, kalau Kudi yang kini menjadi ikon Kabupaten Banyumas sudah sangat langka. “Setahu saya yang dikoleksi hanya tinggal beberapa saja, salah satunya di tempat saya. Kepunyaan saya punya lubang sembilan,”kata dia.

Pada umumnya, kata Noerring, bahan yang dipakai untuk membuat benda-benda pusaka, seperti Kudi, Kujang, Keris, Tombak dan sebagianya ada tiga unsur. Yakni baja, titanium dan batu meteor. “Proses pembuatannya memang masih misteri sampai sekarang, tetapi yang jelas titik didih untuk membuat senjata-senjata semacam itu sangat tinggi mencapai 1.300 derajad Celcius. Bahkan, konon senjata-senjata itu juga mengandung senyawa arsenik, sebuah senyawa yang mematikan,”ujarnya.

Menurut Noerring, di kalangan masyarakat Jawa, senjata seperti Kudi, Keris, Tombak, Kujang dan lainnya mengandung dua dimensi. Yakni isoteris dan eksoteris. “Isoteris berhubungan denga kasat mata, di mana sebagian orang memiliki senjata untuk “pengandel” atau sugesti. Sedangkan dimensi eksoteris terkait dengan “art” atau seni, di mana sebetulnya benda-benda tersebut memang sangat mengagumkan dari kaca mata proses pembuatannya dan memiliki karakteristik seni tersendiri,”ujarnya.

Mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dishubpar) Banyumas Bambang Hartono mengungkapkan kalau Kudi di tingkat masyarakat Banyumas merupakan alat kerja. “Kudi biasa dipakai oleh warga Banyumas zaman dulu sebagai alat pertanian. Di sisi lain, para kestaria atau pejabat di wilayah Jateng bagian barat menggunakannya sebagai senjata. Bahkan diyakini kalau lubang-lubang yang ada di senjata Kudi merupakan tanda kepangkatan,”ujar Bambang yang gemar mengoleksi senjata-senjata kuno.

Dikatakan oleh Bambang, sekilas benda-benda tersebut memang seperti pisau yang terbuat dari baja. Tetapi sebetulnya, lanjut Bambang, kandungan logam di dalam senjata itu sangat berbeda. “Makanya, kebanyakan pengoleksi senjata kuno itu melakukan kajian dengan teknik metalurgi, sehingga akan diketahui apa saja kandungan di dalamnya. Umumnya memang baja, titanium dan batu meteor. Sehingga kalau ada transaksi jual beli, harganya bisa selangit. Banyak yang harganya sapai puluhan juta,”kata Bambang.

Sementara Ketua Tosan Aji Banyumas Pararto Widjajakusuma mengungkapkan kalau saat sekarang semakin banyak generasi muda yang kurang mengenal warisan adi luhung bangsa tersebut. “Banyak di antara anak muda yang sama sekali tidak tahu apa itu Kudi, Keris dan sebagianya. Kalau di Banyumas, mereka hanya tahu salah satu ikon Banyumas adalah Kudi, tetapi sebetulnya dibuat pada zaman apa dan bahannya apa saja, mereka tidak mengetahuinya,”tambahnya.

Ia juga mengakui kalau Kudi Banyumas hanya tinggal beberapa gelintir saja yang menjadi koleksi para kolektor senjata tajam. “Tidak banyak yang memiliki senjata yang dibuat pada zaman Kerajaan mataram itu, meski saat ini telah menjadi ikon Kabupaten Banyumas,”jelas Pararto. (liliek dharmawan)

Jumat, 18 Maret 2011

Ironi Kehidupan Perajin Wayang Kulit



Menjadikan wayang sebagai salah satu budaya yang dicatat sebagai warisan dunia oleh Unsesco tentu tidak semudah membalikkan tangan. Dengan menjadi world herritage, sudah barang tentu menjadi kebanggaan bagi Bangsa Indonesia. Tetapi apakah dengan dijadikannya wayang sebagai warisan dunia secara otomatis membuat kesejahteraan bagi orang yang berkecimpung di dalamnya?

“Sepertinya sejak dulu sampai sekarang sama saja. Saya masih tetap di sini. Bengkel pun tak berubah,”ujar Joko Purwanto, 49, warga Jl Supriyadi Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah.

Ia adalah salah satu perajin wayang kulit yang tersisa di kawasan Jateng selatan bagian barat. Joko lantas menunjukkan tempatnya bekerja. Bengkel itu hanya berada pada ruangan yang disekat dengan papan tripleks dengan ukuran 2 x 2 meter. Cukup sempit untuk sebuah tempat pembuatan wayang kulit. Rumah perajin itu juga sangat sederhana dengan tembok yang terlihat tua yang berdebu. Maklum, rumah Joko berada di dalam Kompleks Panti Asuhan Darmo Yuwono. Di situlah ia melakukan aktivitasnya sebagai seorang perajin wayang kulit, selain profesinya sebagai pengasuh anak-anak yatim piatu yang menjadi penghuni panti tersebut.

Meski kondisinya pas pasan, bagi Joko, menjadi perajin wayang kulit merupakan kebanggaan tersendiri. “Saya memang sejak kecil telah menyukai meski hasilnya juga biasa-biasa saja. Untuk pembuatan wayang kulit, satu tokoh pewayangan dihargai dalam kisaran Rp100 ribu, namun ada pula Rp400 ribu hingga Rp600 ribu. Semuanya tergantung besar kecilnya tokoh pewayangan. Yang paling mahal adalah gunungan, karena selain ukurannya besar, pembuatannya cukup rumit, sebab ukiran-ukirannya cukup banyak,”ujar Joko.

Kesetiannya sebagai perajin wayang kulit sudah dibuktikan sejak ia menjadi siswa SD. Awalnya, kata Joko, dimulai tatkala ia berusia sekitar 9 tahun. “Tidak seperti sekarang dengan menggunakan bahan dari kulit kerbau, dulu saya pakai kertas. Baru setelah waktu berjalan dan duduk di bangku SMP, saya memulai membuat wayang dengan bahan kulit kerbau,”ujarnya.

Tak mudah

Sudah empat puluh tahun, Joko bergelut menjadi perajin wayang kulit. Meski demikian, pembuatannya tidak bisa sangat cepat, sehari jadi misalnya. Karena pembuatan wayang kulit bukanlah persoalan teknis semata, tetapi merupakan pekerjaan seni. Kesabaran dan ketelitian menjadi hal utama dalam pembuatan wayang kulit.

Pembuatan wayang kulit dimulai dengan membeli kulit kerbau yang telah dihaluskan. Kulit kerbau dengan ukuran sekitar satu meter misalnya, harganya Rp75 ribu. Setelah itu, kulitnya didesain sesuai dengan kebutuhan. Apakah tokoh pewayangan atau gunungan. Pola-pola yang telah dibuat, kemudian mulai diukir sedikit demi sedikit. “Ada perbedaan membuat wayang dengan gunungan. Kalau gunungan, dimulai dari bawah, sedangkan tokoh pewayangan mulai diukir dari atas,”jelasnya.

Pekerjaan mengukir itulah yang cukup menyita waktu dan tenaga, karena rumit sehingga membutuhkan kesabaran dan ketelitian. Misalnya saja, gunungan. Di dalamnya terdapat sejumlah ukiran berbeda-besa, misalnya ada dua hewan yang diwakili harimau dan banteng. Ada pula penjaga yang disebut dengan bolo upoto dan cingkoro bolo. Tidak ketinggalan bentuk rumah joglo. Langkah terakhir setelah ukir-ukiran terbentuk adalah mengecatnya sesuai dengan warna pakem yang telah ada.

“Kalau untuk gunungan, waktunya cukup panjang sampai dua pekan, sehingga harganya pun cukup mahal mencapai Rp600 ribu. Namun, kalau tokoh pewayangan macam Arjuna waktunya sekitar sepekan dengan harga Rp200 ribu,”ujarnya.

Setiap bulannya, rata-rata mendapat pesanan sekitar empat buah wayang, terkadang lebih. Namun, hasil dari kerajinan wayang itu tidak hanya untuk kepentingan pribadi Joko, karena sebagian untuk membantu operasional Panti Asuhan Darmo Yuwono. “Barangkalai melihat keadaan saya, anak-anak di panti asuhan ini juga enggan belajar membuat wayang. Alasan lainnya adalah rumit. Ternyata memang anak-abak sekarang kurang kesabarannya,”ungkapnya seraya tersenyum.

Lalu bagaimana kalau ada tawaran dari negara lain, misalnya Malaysia supaya bekerja di sana untuk membuat wayang. “Kalau memang pendapatannya bagus, kenapa tidak? “ Ironis memang, tetapi sangat manusiawi. (liliek dharmawan)

Selasa, 15 Maret 2011

Nusakambangan, Pulau Bui yang Eksotik




DALAM kurun waktu satu dekade terakhir, Nusakambangan menjadi pulau yang amat terkenal, terutama setelah masuknya Bob Hasan, Tommy Soeharto dan kemudian trio terpidana kasus Bom Bali I. Tak henti-hentinya tersiar kabar Nusakambangan sebagai pulau bui atau biasa disebut Al-Catraz –nya Indonesia.

Sebagai pulau penjara, Nusakambangan memang angker. Tidak hanya dihuni oleh narapidana kelas berat dengan berbagai kasus mulai dari pembunuhan, narkoba sampai kasus terorisme. Bahkan, pada beberapa tahun lalu, pulau penjara itu juga dijadikan tempat eksekusi. Tepatnya di sekitar di sekitar enam kilometer (km) arah selatan lembaga pemasyarakatan (LP) Batu yang merupakan daerah bekas LP Nirbaya. Di tempat itulah, dua terpidana kasus narkoba asal Nigeria menghembuskan nafasnya yang terakhir di depan regu tembak.

Bahkan kemudian dua warga Nigeria tersebut Samuel Iwuchukwu Okoye, serta Hansen Anthony Nwaolisa juga dikuburkan tidak jauh dari tempat eksekusi. Seolah memantapkan dirinya sebagai pulau bui sekaligus eksekusi, kejaksaan juga telah memutuskan untuk melakukan eksekusi terhadap tiga terpidana Bom Bali I Amrozi, Muklas dan Imam Samudra di pulau itu.

Nusakambangan ditetapkan sebagai pulau penjara oleh Hindia Belanda melalui ordonasi staatblad no 25 tanggal 10 Agustus 1912. Kemudian pulau luas 210 km persegi itu, kewenangannya diserahkan kepada Departemen Van Justitie atau Departemen Kehakiman (sekarang Departemen Hukum dan HAM).

Pemerintah Belanda kemudian membangun sembilan penjara yakni Nirbaya dan Karanganyar (1912), Batu serta Gliger (1925), Besi (1927), Permisan (1928), Karang Tengah dan Limus Buntu (1935). Lalu, pemerintah Indonesia menambah penjara Kembangkuning tahun 1950. Tetapi perubahan terjadi. Sejarah mencatat ketika keluar Keppres no 38 tahun 1974. Keppres tersebut mencabut status Pulau Nusakambangan sebagai wilayah tertutup bagi penyelidikan dan eksploitasi pertambangan.

Dengan adanya Keppres itu, maka Pulau Nusakambangan sedikit terbuka, karena masuk kegiatan penambangan pasir besi. Meski sebagai pulau penjara, namun akhirnya pemerintah melalui SK Menteri Kehakiman tahun 1985, pemerintah hanya menggunakan empat penjara yakni Batu, Besi, Kembangkuning dan Permisan.

Tetapi, dalam perkembangannya, Depkumham memantapkan Nusakambangan sebagai pulau penjara. Walaupun tidak mencabut sebagai area eksploitasi pertambangan, namun menambah tiga LP lagi, yakni LP Pasir Putih, LP Narkoba dan LP Terbuka. LP Pasir Putih yang merupakan LP super maximum security menjadi tempat para bandar narkoba dengan hukuman mati, seumur hidup dan hukuman berat lainnya.

Namun sebetulnya, di balik keangkeran sebagai pulau bui dan eksekusi, Nusakambangan memiliki keeksotikan alam yang luar biasa.Di bagian timur pulau setempat, ada gua kecil dan batu-batu karang disertai dengan pantai pasir putih.

Demikian juga di sebelah barat, ada Pantai Permisan yang sungguh menakjubkan. Deburan ombak yang kencang menyapu karang-karang yang menyembul di sekitar pantai. Di tengah karang yang besar ada tanda pisau besar yang menjadi kebanggaan Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat. Sebab, selama ini di wilayah itu menjadi tempat gladi Kopassus. Hutannya juga masih cukup lumayan, meski di sana-sini illegal logging masih marak, terutama di bagian selatan, timur dan barat Nusakambangan.

Pada hari-hari biasanya, Pantai Permisan memang tergolong sepi, karena Nusakambangan dinyatakan sebagai pulau tertutup dan tidak boleh ada wisatawan yang masuk. Sedangkan di Nusakambangan timur, ada juga pantai pasir putih. Di wilayah itu, wisatawan masih boleh masuk dengan akses dari Teluk Penyu. Di tempat itu, pengunjung dapat menikmati deburan ombak pantai dan merasakan lembutnya pasir putih.

Banyak yang menyayangkan Nusakambangan menjadi pulau tertutup yang tidak lagi dijadikan obyek wisata. “Saya sudah lama ingin masuk ke Nusakambangan terutama di Pantai Permisan. Katanya di sana sangat eksotik. Namun sepertinya tidak bisa. Kalau di Nusakambangan timur di Pantai Karangbolong masih dapat dijangkau dan tidak dilarang. Tetapi saya tetap masih penasaran dengan Permisan,”kata Hermiana, 37, seorang wisatawan dari Purwokerto ketika berada di Teluk Penyu Cilacap.

Begitu juga dengan pemilik perahu wisata di sekitar Teluk Penyu. Dulunya, mereka dapat mengantarkan wisatawan sampai ke wilayah-wilayah dalam Nusakambangan. Namun demikian saat ini tidak boleh lagi. “Keinginan kita di sini ya, kalau bisa selain pulau untuk penjara bisa juga dijadikan pulau wisata. Karena alamnya masih bagus,”kata Sutikno, 42, pemilik perahu wisata. (liliek dharmawan)

Senin, 14 Maret 2011

Deretan Gua di Pulau Nusakambangan




Pulau Nusakambangan di Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) tidak hanya menjadi pulau bui, tetapi di dalamnya menyimpan kekayaan berbagai gua yang masih alami.

“Mau ke Karangbolong? Biaya sewa perahunya murah, hanya Rp15 ribu pulang balik. Nanti kalau sudah puas jalan-jalan, tinggal telepon saja,”kata Narno, 48, tukang perahu di Teluk Penyu, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng).

Karangbolong adalah pantai, sama seperti Teluk Penyu. Hanya saja, Pantai Karangbolong berada di Pulau Nusakambangan sebelah timur, sehingga kalau ingin ke tempat itu harus naik perahu kecil. Cukup membuat adrenalin naik saat melewati Segara Anakan, apalagi kalau gelombang tinggi. Namun, para tulang perahu menjamin selamat asal tidak panik dan perahu telah dilengkapi dengan kayui penyeimbang.

Perjalanan memakan waktu sekitar 15 menit. Begitu sampai ke pantai di Pulau Nusakambangan itu, suasana dan kondisinya memang berbeda dengan pantai di Cilacap. Di tempat itu, pantainya berpasir putih, berbeda dengan di Cilacap yang pasirnya berwarna hitam. Selepas pantai, perjalanan langsung melewati hutan belantara. Hanya jalan setapak dari tanah yang ada di Nusakambangan timur. Sekitar 1 km dari pantai, mulai ada gua-gua yang masih alami.

Dari jalan utama tidak kelihatan, karena jalan berbatu yang naik sekitar 100 meter dan kemudian turun sekitar 50 meter. Gua itu bernama Eyang Wiryalodra. Stalaktit dan stalakmitnya cukup menakjubkan. Hanya saja, gua tersebut tidak terlalu dalam, hanya masuk sekitar limaa meter. Sementara ketinggiannya mencapai lima meter. Namun yang unik, di antara stalaktit dan stalakmit ada sebuah batu seperti tempat duduk. Itulah yang biasanya digunakan orang untuk menyepi.

Juru kunci gua di Nusakambangan Timur, Mardiyono, mengatakan di dekat pantai timur, ada dua gua yakni Eyang Wiryalodra dan Eyang Nagaraja. “Kedua gua ini bisanya dipakai untuk menyepi. Banyak sudah yang datang ke sini. Biasanya mereka mengajukaan permohonan. Permintaannya macam-macam, tergantung mereka. Saya hanya mengantarkan saja,”ujarnya.

Selama ini, katanya, gua-gua tersebut memang dibiarkan tetap seperti apa adanya. Bahkan, ada dinding gua yang ambrol dan sampai sekarang juga masih teerlihat sisa-sisanya. “Memang gua tersebut belum disentuh oleh pihak yang berwenang dijadikan objek wisata yang kemersial. Paling-paling yang datang ke sini adalah peziarah saja,”ungkap laki-laki yang sejak kecil hidup di Nusakambangan itu.

Gua yang ada di Nusakambangan timur tidak hanya itu, masih ada sejumlah gua-gua kecil lainnya. Misalnya ada Gua Singabarong, Gua Kepatihan dan lainnya. Bahkan, di Pulau Majeti, pulau kecil di seberang Nusakambangan juga ada gua. Biasanya di pulau yang merupakan tempat tumbuh bunga Wijaya Kusuma itu digunakan sebagai ritual larungan pada Sedekah Laut nelayan Cilacap.

“Setiap gua di Nusakambangan mempunyai makna masing-masing sesuai dengan karakter gua. Semuanya juga memiliki cerita kesejarahan tersendiri. Pada umumnya memang gua di Nusakambangan lebih banyak dipakai untuk kegiatan menyepi dibandingkan sebagai tempat wisata,”tambahnya.

Selain gua di Nusakambangan timur, di bagian barat pulau bui itu juga banyak memiliki gua yang masih alami. Salah satu gua yang terkenal adalah Gua Masigitsela. Dari cerita-cerita masyarakat yang berkembang dan kemudian direkam oleh Dinas Pariwisata Cilacap menyebutkan kalau Gua Masigitsela dipercaya sebagai tempat ibadah Sunan Kalijaga. Bahkan disebutkan juga Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono. Bentuk guanya memang cukup unik, selain menjulangnya stalaktit dan stalakmitnya, di dalam gua juga ada mata air yang digunakan untuk membersihkan diri atau wudlu.

Untuk sampai ke Gua Masigitsela, memakan waktu cukup lama, karena harus ditempuh dengan perahu dari Cilacap sekitar dua jam. Setelah sampai ke Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut, berjalan kaki melewati jalan setapak sekitar setengah jam. “Umumnya yang datang memang para peziarah yang berdoa memohon sesuatu. Sementara ini, bagi peziarah yang baru pertama kali datang bisa meminta tolong warga Klaces menjadi guide,”kata Agus, 37, warga Desa Klaces.

Masih di sekitar Nusakambangan barat, ada juga Gua Bendung. Gua tersebut, berdasarkan penuturan warga dan juga disebutkan oleh Dinas Pariwisata Cilacap, pernah digunakan untuk ibadah umat Nasrani pada abad ke-16 ketika Belanda menguasai Indonesia. Kini, gua yang memiliki lorong 150 meter dan lebar 10 meter tersebut dikenal sebagai Gua Maria. Disebut Gua Maria karena di dalamnya ada altar tempat berkhotbah dan stalaktit yang bentuknya seperti Bunda Maria. Biasanya yang datang adalah para peziarah umat Katholik dan ramai pada waktu-waktu menjelang Paskah.

“Saya dua kali berziarah di Gua Maria Nusakambangan barat. Memang berbeda dengan gua-gua Maria yang lainnya karena Gua Maria di sini lebih allami,”tutur Robertus Sudibya, 37, warga Cilacap.

Sebetulnya masih banyak gua-gua lainnya yang ada di Nusakambangan, namun sejauh ini memang tidak digarap secara komersial. Sebab, Pulau Nusakambangan tetap diputuskan sebagai pulau tertutup sebagai pulau bui yang kaya gua alami. (liliek dharmawan)

Jumat, 11 Maret 2011

Memacu Adrenalin di Derasnya Sungai Serayu



Bagi yang suka wisata petualangan, inilah tempatnya. Para wisatawan yang datang di tempat ini bakal diajak memacu adrenalin mengarungi derasnya aliran air Sungai Serayu yang berada di wilayah Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo, Jawa Tengah (Jateng).

Lokasinya rafting tidak terlalu sulit dijangkau. Sebab, tempat itu hanya sekitar 50 meter dari jalan protokol penghubung antara Purwokerto-Semarang, tepatnya di Desa Singamerta, Kecamatan Sigaluh, Banjarnegara. Di situ ada posko yang menjadi basecamp Serayu Adventure Indonesia. Mereka inilah yang akan menjadi guide dalam wisata petualngan menembus derasnya Sungai Serayu.

Sebelum mengarungi Sungai Serayu, tim guide akan memberikan sejumlah alternatif pilihan bagi mereka yang menyukai petualangan. Ada enam alternatif paket yang ditawarkan.

Menurut Direktur Operasional Serayu Adventure Indonesia Ahmad Arif paket yang cukup lengkap adalah River Camp yakni selain melakukan rafting, para wisatawan juga bakal diajak bermalam di sekitar Sungai Serayu. Rafting dalam paket itu bermula dari Desa Tunggorono sampai ke Desa Singamerta dengan menempuh jarak 18 kilometer (km) dengan waktu tempuh sekitar 4 jam.

“Sementara lima paket lainnya minus berkemah. Yakni paket rafting paling panjang dengan jarak 26 km dari Desa Belimbing di Kabupaten Wonosobo sampai ke Desa Singamerta, Banjarnegara. Waktu tempuhnya sampai 5 jam. Sementara paket kedua dari Desa Tunggorono sampai ke Desa Singamerta sejauh 18 km selama 4 jam. Paket-paket tersebut memang tidak direkomendasikan bagi para pemula atau hanya sekadar fun rafting. Sebab, selain medannya cukup berat karena melewati sejumlah jeram yang cukup deras juga fisiknya harus benar-benar kuat,”katanya.

Masih ada tiga paket lainnya yang diperuntukkan bagi para pemula atau untuk fun rafting. Yakni antara Desa Randegan sampai ke Desa Singamerta dengan jarak 16 km dengan waktu tempuh mencapai 3,5 jam. Paket berikutnya adalah dari Desa Bojanegara sampai ke Desa Singamerta dengan jarak 14 km dan waktu tempuh 3 jam. Paket lainnya adalah dari Desa Singamerta sampai ke Taman Wisata Serulingmas dengan jarak 10 km dengan waktu tempuh 2,5 jam.

“Dari enam paket yang ditawarkan, paket yang paling digemari dan ramai adalah dari Desa Bojanegara sampai ke Desa Singamerta. Jalur tersebut memang cukup “aman” bagi para pemula, meski ada beberapa titik yang menegangkan karena ada jeram yang cukup deras dan kondisi menurun,”ujar Ahmad.

Para wisatawan biasanya datang ke basecamp utama yakni di Desa Singamerta. Di tempat itu, mereka harus berganti baju untuk berbasah-basah di Sungai Serayu. Selain itu, berbagai peralatan seperti pelampung dan helm harus mulai dipakai di basecamp. Masing-masing wisatawan juga membawa dayung satu-satu. Setelah memakai peralatan rafting, mereka kemudian diangkut dengan menggunakan kendaraan menuju tempat di mana start dilakukan.

Misalnya ada wisatawan yang memilih paket dari Bojanegara menuju Singamerta, maka kendaraan akan membawa ke desa start awal. Seluruh tas, pakaian ganti, dompet, telepon seluler dan berbagai barang yang dibawa dimasukkan ke dalam loker di basecamp Desa Singamerta. Sehingga para wisatawan saat memakai perlengkapan sudah tidak membawa apa-apa lagi, kecuali air mineral.

Sebelum mulai terjun ke sungai untuk rafting, mereka diberi “kursus” singkat. Bagimana cara menggunakan dayung, apa yang dilakukan kalau perahu menabrak tebing, bagaimana jika perahu terbalik dan sebagainya. “Kursus” singkat itu penting, supaya khususnya bagi wisatawan yang pertama kali tidak terlalu panik kalau terjadi apa-apa. Segala macam risiko diterangkan oleh guide yang telah berpengalaman. Intinya adalah, jangan sampai panik, itu yang menjadi modal utama dalam rafting.

Usai diberi bekal dari para guide, wisatawan langsung masuk ke perahu masing-masing. Pada umumnya, ada enam wisatawan dalam satu perahu dan datu orang lagi adalah guide yang duduk paling belakang. Perjalanan pun dimulai dengan memutar-mutar perahu di sekitar lokasi itu sebagai bagian dari pemanasan sebelum mengarungi Sungai Serayu.

Kalau dari Desa Bojanegara, alur sungai pada awalnya datar-datar saja dengan arus yang tidak begitu deras. Tetapi di sisi kanan kiri sungai terdapat bebatuan yang licin, sehingga terkadang benturan antara perahu karet dengan batu terasa. Selanjutnya, arus mulai terlihat deras. Biasanya menghadapi arus deras, wisatawan harus benar-benar mengikuti petunjuk guide yang mengawal. Apakah dayung harus kuat atau dilepaskan, mengangkat dayung karena akan berbenturan dengan tebing dan sebagainya.

Sensasinya sungguh luar biasa, karena membuat jantung berdetak cepat. Adrenalin benar-benar dipacu menghadapi gempuran arus deras di depan perahu. Bahkan, tidak jarang perahu kandas di tengah-tengah karena terantuk batu. Sehingga, guide terpaksa harus turun ke sungai untuk mendorong perahu karet yang kandas.

Di sebuah jeram yang cukup deras, jika perahu lebih dari satu, maka harus antre terlebih dahulu. Paling awal adalah perahu yang ditumpangi tim Search and Rescue (SAR) yang mengawal. Perahu yang ditumpangi wisatawan akan bergerak setelah ada aba-aba dari tim SAR tersebut. Satu per satu perahu berangkat. Seorang guide yang ada di perahu mulai memberikan aba-aba untuk mendayung secara cepat menghadapi “gempuran” arus yang deras tersebut.

Perahu bergerak naik turun mengikuti arus yang datang. Air dingin dari Sungai Serayu menampar muka dan badan. Tidak jarang juga badan terpental ke kanan dan kiri, bahkan ada pula yang jatuh ke air. Ada yang terus mendayung, tetapi ada juga wisatawan yang terkadang takut dan berpegangan pada tali yang ada di perahu karena takut terjatuh. Setelah berkali-kali tubuh terguncang mengikuti irama perahu dan melewati jeram deras, munculah rasa plong. Tetapi ada pula rombongan yang justru karena takut dan tidak mencoba mendayung secara kuat justru membuat perahu karet menjadi terbalik. Tetapi, tenang saja, karena sudah dilengkapi dengan pelampung, wisatawan tidak akan tenggelam. Nanti tim SAR akan kembali menarik ke atas perahu.

Salah seorang pemandu rafting, Arif, 23, mengatakan bahwa dalam perjalanan guide harus benar-benar mengetahui kondisi psikologis dari wisatawan. “Kan ada wisatawan yang baru pertama kali dan masih takut. Sehingga tidak mungkin guide mengajak rafting secara ekstrim. Kalau menghadapi para wisatawan yang baru pertama kali, biasanya guide juga tidak akan mengajak untuk rafting yang ekstrim,”katanya.

Namun, bila sudah ada wisatawan yang ingin ekstrim, maka guide pun akan meladeninya. “Misalnya saja, ada wisatawan yang ingin supaya perahu terbalik, maka kami akan bermain-main di lokasi yang safety. Kalau ingin terbalik, biasanya perahu ditabrakkan ke batu besar atau tebing yang berada di sisi kanan atau kiri sungai. Setelah menabrak, guide akan menarik perahu sampai terbalik. Keinginan seperti ini, biasanya datang dari wisatawan untuk menambah sensasi rafting,”ujarnya.

Jadi, kata Arif, guide yang berada di perahu kan meladeni sesuai keinginan wisatawan. “Mau ekstrim oke, mau yang fun-fun saja tidak masalah.” (liliek dharmawan)

Senin, 07 Maret 2011

Anak-anak Berambut Gimbal dari Dataran Tinggi Dieng



SIANG hari, sekitar jam 11.00 WIB. Sinar matahari tidak kelihatan karena tertutup awan dan kabut tebal. Sejumlah anak-anak kecil yang umumnya memakai jaket lalu lalang dan berlari-lari di sekitar Kompleks Candi Arjuna di dataran tinggi Dieng, Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng) pada ketinggian 2.093 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Keriuhan terjadi manakala orang-orang yang ada di tempat itu melihat Muhammad Alfarizi Massaid yang kini berusia 8 tahun. Rizi-demikian panggilan akrabnya-bak artis sinetron yang tengah naik daun. Ia sangat terkenal karena gaya rambutnya. Rambut milik Rizi hampir sama dengan almarhum Mbah Surip atau Bob Marley. Rambutnya gimbal atau pada kalangan penggemar musik reggae yang identik dengan gaya rambut itu menyebutnya “dreadlocks”.

Rambut anak kelas tiga sekolah dasar di Desa Patakbanteng, Kecamatan Kejajar, Wonosobo memang diurai panjang. Sekolahnya tidak melarang, karena rambut gimbal yang dipelihara oleh Rizi tidaklah seperti Bob Marley atau Mbah Surip. Kedua musisi reggae sengaja membuat gaya rambutnya “dreadlocks”, namun rambut Rizi tumbuh gimbal dengan sendirinya.

Memang sebuah fenomena. Bahkan, orang tuanya Rizi pun tidak pernah tahu kalau anak sulungnya itu kemudian berambut gimbal setelah menginjak pada usia 2 tahun. “Sejak lahir sampai umur 2 tahun, rambut Rizi biasa-biasa saja. Tetapi pada umur 2 tahun, rambutnya mulai menjadi gimbal. Prosesnya cukup panjang untuk menjadi gimbal seperti ini,”kata Ahmad Said, 32, ayah Rizi sambil memperlihatkan rambut gimbal anaknya.

Awalnya, kata Said, dirinya juga tidak tahu kalau anaknya akan tumbuh rambut gimbal. Sebab, ketika Rizi menginjak usia 2 tahun, ia tiba-tiba mengalami panas tinggi disertai kejang-kejang. “Waktu itu, saya dan isteri panik. Pergi ke dokter puskesmas dan telah diberi obat. Ternyata panasnya tidak turun dan masih tetap mengalami kejang. Bahkan, kami sempat ke Kota Wonosobo untuk mencari dokter spesialis anak. Hasilnya sama saja,”jelasnya.

Yang mengherankan, lanjutnya, setiap kali badannya panas dan malam harinya kejang-kejang, keesokan harinya rambut mulai menggimbal. Begitu seterusnya. “Kira-kira untuk membuat rambut Rizi menjadi gimbal seperti ini membutuhkan waktu setahun. Waktunya memang panjang, tetapi setelah mengetahui dari para tetua di sini kalau Rizi rambutnya akan gimbal, saya tidak lagi membawanya ke dokter. Dan sekarang sudah tidak lagi panas atau kejang-kejang karena seluruhnya telah tumbuh,”kata Said.

Menurut Said, perkembangan psikologisnya sama dengan anak-anak lainnya. Malah cenderung atraktif dan pemberani. “Lihat saja, meski banyak orang datang mengerubutinya, tetapi dia tidak malu sama sekali. Bahkan, ia juga tampil berani waktu ada beberapa stasiun televisi swasta mengajaknya membuat acara,”ujar Said bangga.

Benar, polah tingkah Rizi memang cukup atraktif. Ia sama sekali tidak malu kalau ada orang menggendongnya. Bahkan, ia juga bergaya ketika diajak berfoto bersama. Diakui Said, baik di rumah, sekolah ataupun saat main, Rizi selalu tampil ceria. Dia juga tidak rendah diri memiliki rambut gimbal alami tersebut. Malah ketika orang tuanya ingin memotongnya, Rizi mengatakan,”Kalau dipotong, nanti tidak gaul.”

Tidak hanya Rizi yang mengalami fenomena gimbal seperti itu. Tetapi ratusan bahkan ribuan anak pernah mengalaminya. Sebab, hampir setiap tahun pasti ada anak yang rambutnya menjadi gimbal.

Pengalaman lain juga dialami oleh Wahyono, 30, karena anaknya, Ahmad Rizal Lutfi, 3,5, rambutnya juga gimbal. Hanya saja, gimbalnya tidak seperti Rizi. Rambut gimbalnya hanya terpusat di tengah kepala saja. Sehingga rambut lainnya masih bisa disisir. “Kalau kami coba-coba menyisir rambut yang gimbal tersebut, dipastikan akan akan sakit panas. Saya juga tidak tahu kenapa bisa seperti ini,”kata Wahyono.

Permintaan

Lalu apakah rambut gimbal akan dipelihara sampai dewasa? Sejauh ini, belum pernah ada penduduk yang membiarkan anaknya berambut gimbal sampai usia dewasa. Biasanya, sebelum lulus SD, rambutnya sudah dipotong. Namun demikian, pemotongan rambut gimbal tersebut membutuhkan prosesi khusus dan harus memenuhi permintaan anak tersebut. Satu hal yang paling penting, kesanggupan anak. Jika tidak mau, maka tidak diperbolehkan.

Lutfi yang merupakan anak Wahyono, misalnya, meminta sepasang ayam untuk dipelihara. “Jadi, sebelum nanti dipotong rambutnya, saya harus membeli sepasang ayam. Karena dia sudah minta dua ayam untuk dipelihara dan harus dikabulkan,”ujarnya.

Permintaannya dari anak-anak berambut gimbal bermacam-macam. Bahkan, kadang-kadang membuat orang-orang dewasa geleng-geleng kepala atau tertawa. Misalnya saja, ada anak yang minta bakso sebanyak 100 buah. Ada pula yang mengajukan permintaan tempe gembus sebanyak 100 buah.Ada juga yang cukup membuat orang tua harus menambung dahulu, karena anak meminta sapi.

Rizi yang berambut gimbal penuh itu juga memiliki permintaan khusus. Anak dari Said tersebut meminta pagelaran seni Barongsai dan Reog. Sebuah permintaan yang membutuhkan waktu bagi orang tuanya untuk mengumpulkan uang terlebih dahulu. “Saya masih harus menabung terlebih dahulu, karena untuk menanggap pementasan Barongsai dan Reong membutuhkan uang yang tidak sedikit. Apalagi, Rizi juga belum mau dipotong rambutnya. Jadi masih ada waktu bagi kami, orangtuanya, untuk mencari uang demi permintaan Rizi,”lanjutnya.

Tetua adat di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Mbah Naryono, 60, mengungkapkan sejak awal ia menjadi yang dipercaya untuk memimpin ruwatan dan pemotongan rambut gimbal, baru menemukan satu anak yang istimewa yakni Rizi. “Dia merupakan anak yang istimewa, karena seluruh rambutnya menjadi gimbal. Biasanya, anak yang berambut gimbal hanya sebagian saja,”ujar Naryono.

Menurut Naryono yang dulunya juga merupakan anak berambut gimbal, fenomena rambut gimbal hanya terjadi pada penduduk di lereng empat gunung. Yakni Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Prahu dan Gunung Rogojembangan. Dua gunung di antaranya yakni Prahu dan Rogojembangan berada di dataran tinggi Dieng. Keempat gunung itu masuk dalam empat wilayah administratif kabupaten yakni Banjarnegara, Wonosobo, Batang dan Kendal.

Dari cerita turun temurun di wilayah empat gunung itu, sampai kapan pun fenomena rambut gimbal pasti bakal terjadi. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, anak-anak yang rambutnya gimbal merupakan titipan Anak Bajang dari Samudra Kidul. Mereka merupakan titisan dari Eyang Agung Kolotede bagi anak laki-laki dan perempuan merupakan titisan dari Nini Dewi Roro Ronce. “Kalau ingin menghilangkan rambut gimbal harus diruwat. Mereka diminta untuk mengajukan permintaan dan harus dipenuhi oleh keluarganya. Setelah dipenuhi, mereka baru dipotong rambutnya dan rambut gimbal tidak tumbuh lagi,”ujarnya.

Jadi Wisata Budaya

Prosesi pemotongan rambut gimbal di dataran tinggi Dieng mulai dijadikan wisata budaya, karena prosesinya memang unik. “Tahun ini, ada delapan anak yang rambut gimbalnya dipotong. Delapan anak tersebut merupakan anak-anak di sekitar Dieng,”ujar Kelompok Sadar Wisata (Pokdawis) Dieng Pandhawa Banjarnegara Ali Faozi, kemarin.

Mereka sengaja dikumpulkan untuk diruwat. Permintaan mereka beragam. Misalnya ada yang minta memelihara ayam, telur sebanyak 100 butir, kepala ayam sebanyak 100 biji, kemudian ada pula yang minta tempe gembus. “Kami memenuhi permintaan mereka, apalagi mereka rata-rata berasal dari keluarga tidak mampu,”tambah Ali.

Prosesi dilaksanakan pada Sabtu (10/7) hingga kemarin. Pada Sabtu, tetua adat berziarah ke makam-makam yang berada di Komplek Candi Arjuna, Dieng. Dengan dipimpin oleh Mbah Naryono, mereka mengunjungi satu per satu makam yang berada di dalam candi untuk mengadakan ritual. Selain itu juga mengunjungi sejumlah tempat lain di antaranya adalah Sendang Maerokoco, telaga Balekambang dan Kawah Candradimuka.

Kemudian kemarin, anak-anak yang berambut gimbal diarak mulai dari sesepuh adat, kemudian mampir sebentar ke Sendang Maerokoco dan Sedang Sedayu. Di sendang yang berada di Komplek Candi Arjuna tersebut, anak-anak gembel dimandikan atau disebut dengan jamasan. Air yang dipakai diambil dari Sendang Maerokoco ditambah dengan air dari mata air Bima Lukar, Sendang Buana, Kencen dan lainnya. Yang jelas, air yang dipakai untuk jamasan berasal dari tujuh sumber mata air. Makna diambilnya air dari tujuh mata air. Dalam bahasa Jawa, tujuh disebut “pitu” atau dapat diartikan “pituduh” yang berarti pelajaran dari Yang Maha Kuasa.

Usai jamasan, dilangsungkan pemotongan rambut gimbal anak-anak yang diruwat. Baru setelah itu, makan bersama dari seluruh “ubo rampe” yang telah tersedia di tempat itu. Rambut gimbal yang telah dipotong kemudian dilarung ke Sungai Tulis yang alirannya mengalir hingga Samudra Kidul atau Samudra Indonesia.

Ali Faozi menambahkan bahwa ruwatan yang digelar tahun ini sengaja dilangsungkan berbarengan delapan anak sebagai salah satu daya tarik wisata. “Jadi, wisata ke Dieng tidak hanya menikmati Candi, telaga, dan kawah saja. Tetapi juga dapat menyaksikan bagaimana ritual pemotongan rambut gimbal anak-anak di sekitar Dieng,”kata Ali. (liliek dharmawan)


Sabtu, 05 Maret 2011

Matadewa




Matadewa. Itulah judul sebuah lagu Iwan Fals bersama Kantata Taqwa. Matadewa boleh saja untuk menyebut ketika matahari baru saja tampak. Itu juga yang membuat inspirasi untuk merekam matahari yang baru saja beranjak dari peraduannya. Momen “sunrise” yang memerah hanya beberapa detik saja. Kalau dihitung tidak lebih dari 30 detik. Biasanya munculnya setelah jam 05.30 WIB.

Merahnya sinar mentari sama baik yang dibidik dari pegunungan maupun dari pantai. Inilah rekaman detik-detik “sunrise” di Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah dan di Pantai Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat.

ld

Jumat, 04 Maret 2011

Berpetualang Menikmati Air Terjun yang Masih Perawan



Bagi yang suka berpetualang, sabuk Gunung Slamet sebelah selatan yang masuk wilayah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah (Jateng), menjanjikan air terjun sensasional dan rata-rata masih perawan. Air terjun yang masih mengalirkan air sepanjang tahun menjadi bukti kalau hutan wilayah lereng selatan Gunung Slamet masih menjadi wilayah tangkapan air yang cukup baik.

Bagi pecinta alam di wilayah Purwokerto dan Banyumas, air terjun sering dijadikan target sebagai bagian dari latihan navigasi gunung hutan. Biasanya, mereka melakukannya dengan membaca peta topografi. Kemudian secara bersama-sama mencari titik koordinat yang dicurigai sebagai air terjun. Sebuah air terjun akan terlihat di peta topografi ketika ada kontur-kontur berbentuk V yang rapat dan ada garis putusnya. Kontur V adalah punggungan dan garis putus adalah sungai. Di situlah biasanya ada air terjun.

Salah seorang penggiat lingkungan dan pecinta alam Prastowo Harso Utomo menyatakan sudah menjadi kelaziman bagi pecinta alam khususnya yang sering bermain di sabuk Gunung Slamet guna mencari air terjun yang masih perawan. “Ternyata memang masih banyak. Namun, untuk mencapainya butuh petualangan kecil alias harus turun lembah dan menaiki punggungan,”jelas Prastowo.

Pemerhati lingkungan lainnya Dhani Armanto yang juga aktivis Komunitas Peduli Slamet (Kompleet) menyatakan seringkali bersama kawan-kawannya menemukan curug atau air terjun yang cukup jauh masuk ke hutan. “Saya yakin, pemerintah pun belum pernah melakukan survei sampai daerah itu, karena air terjunnya terletak di ketinggian sekitar 1.500 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan jarak dari desa terakhir sebelum hutan sekitar satu jam perjalanan,”katanya.

Air terjun yang masih benar-benar perawan itu memang cukup sulit dijangkau. Tetapi sudah banyak air terjun yang dapat dinikmati karena lokasinya cukup terjangkau, sebab dari jalan raya tidak terlalu jauh. Sebut saja Curug Gede yang terletak di Baturraden, kemudian Curug Cipendok di Cilongok dan Curug Ceheng di Sumbang. Semuanya dapat terjangkau walaupun mereka yang datang masih harus berjalan kaki menuruni lembah.

Sebetulnya di Lokawisata Baturraden, salah satu andalannya adalah air terjun. Sebab, di tempat itu ada air terjun Gumawang. Berbeda dengan air terjun di dalam hutan, curug yang ada kawasan wisata Baturraden sudah sangat akrab oleh para pelancong. Di tempat itu juga ada anak-anak kecil yang rela terjun dari puncak ke bawah dengan ketinggian 15 meter. Hanya saja anak-anak itu baru mau terjun kalau ada orang yang melemparkan uang di Sungai Gumawang. Lantas secara berebutan mereka akan terjun dan mencarinya di dasar sungai.

Hanya sekitar 3 km dari Lokawisata Baturraden, ada lagi air terjun yang dinamakan Curug Gede. Tempat itu menjadi favorit bagi anak-anak muda terutama pada Sabtu dan Minggu. Bahkan, sering dijadikan tempat untuk sesi pemotretan pre wedding bagi warga di Purwokerto dan sekitarnya. “Tempatnya memang mengasyikan. Karena meski panas matahari mencapai puncaknya, di Curug Gede tetap sejuk karena di sisi kanan dan kiri ditumbuhi pepohonan rindang,”kata Andiranto, salah seorang pengunjung.

Curug Gede memang belum dijadikan sebagai objek wisata resmi yang ditarik restribusi, sehingga para pengunjung yang datang hanya menyediakan uang parkir saja. Yang telah digarap, tetapi belum maksimal adalah Curug Ceheng yang terletak di Kecamatan Sumbang, Banyumas. Tempat itu telah dijadikan objek wisata dengan uang retribusi masuk sangat murah, hanya Rpp2.000 per orang sudah termasuk biaya parkir kendaraan. Untuk sampai ke curug tersebut, mereka yang datang harus turun ke lembah dengan kedalaman sekitar 100 meter (m). Agar dapat menikmati Curug Ceheng, pengunjung harus melewati batu-batu yang telah tertata. Baru setelah turun ada tanah cukup lapang untuk menikmati indahnya air terjun.

Hal yang sama juga berlaku di Curug Cipendok yang dikelola oleh Perhutani. Air terjun yang terletak di Kecamatan Cilongok itu memang jauh dari pusat Kota Purwokerto dengan jarak 15 km. Jalan masuk ke Cipendok juga berbukit-bukit. Namun, kalau telah sampai ke Curug Cipendok, sensasinya luar biasa. Angin semilir, suara air terjun yang begitu deras dan cipratan-cipratan airnya membuat suasana semakin sejuk.

“Kalau sampai di Curug Cipendok, hanya kedamaian yang tercipta. Apalagi di sini tidak terlalu ramai pengunjung, sehingga cukup dapat menikmati suasana air terjun yang masih alami seperti ini,”ujar Burhannudin pengunjung asal Purwokerto yang telah beberapa kali menikmati suasana Curug Cipendok.

Kepala Seksi Objek Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyumas Deskart Jatmiko mengakui bahwa kebanyakan air terjun yang ada di kabupaten setempat belum banyak yang tergarap. “Baru beberapa yang benar-benar dijadikan objek wisata, karena air terjun di Banyumas cukup banyak. Air terjun yang ada tidak hanya di sabuk Gunung Slamet tetapi juga ada di Pegunungan Serayu,”jelas Jatmiko.

Pihaknya, katanya, baru melakukan survei dan menemukan belasan air terjun yang potensial bisa dikembangkan menjadi objek wisata. Namun semuanya tergantung alokasi dana. Tetapi meski belum dikembangkan, setidaknya sudah banyak orang yang menikmatinya terlebih dahulu. Malah gratisan dan masih perawan. (liliek dharmawan)