Dari rumah, mereka
telah mengenakan pakaian adat Jawa . Yakni sarung dan baju hitam atau batik.
Ada pula yang mengenakan kaos. Prasyarat paling utama adalah memakai sarung dan
penutup kepala yang disebut iket. Sedangkan yang perempuan memakai jarit serta
kebaya. Perjalanan yang ditempuh mencapai 25-30 kilometer melewati jalan raya,
jalan setapak serta pegunungan. Di sepanjang perjalanan mereka diam dan tidak
tidak boleh ada senda gurau.
Warga Bonokeling laki-laki yang masih muda membawa hasil
bumi dengan dipikul. Hasil bumi itulah yang kemudian dimasak bersama-sama di
kompleks perumahan Bedogol atau “pejabat” pada struktur adat Bonokeling.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 5-6 jam , mereka
kemudian beristirahat di rumah-rumah para Bedogol di Desa Pekuncen untuk
mempersiapkan diri mengikuti prosesi Unggah unggahan yang merupakan ritual inti
kaum adat Bonokeling. Ritual Unggah unggahan dihelat setahun sekali yang jatuh
pada Jumat paling akhir pada bukan Sadran menurut kalender Jawa sebelum
memasuki bulan puasa.
“Unggah unggahan ini merupakan ritual ziarah kubur yang
digelar setahun sekali. Jatuhnya tepat pada Jumat paling akhir sebelum memasuki
bulan puasa. Tahun ini, ada sekitar 800 warga Bonokeling dari Cilacap yang
mengikuti ritual “mlampah” atau berjalan sampai ke prosesi Unggah unggahan. Ada
tiga ekor sapi dan 21 ekor kambing yang disembelih. Sedangkan ayam berjumlah
ratusan. Ternak dan hasil bumi tersebut dimasak seluruhnya dan dimakan bersama
di kompleks makam,”kata tetua adat Bonokeling, Sumitro.
Pada awal prosesi Unggah unggahan, warga Bonokeling satu per
satu menghadap Kunci atau sebagai pemimpin tertinggi Bonokeling yang kini
dipegang oleh Kartasari, 70. Mereka mengadakan “sungkeman” satu per satu di rumah Kunci. Mereka minta didoakan
oleh Kunci agar beroleh keselamatan.
Selesai melakukan sungkeman, kaum adat Bonokeling berjalan
satu per satu menuju Kompleks Makam Bonokeling. Sebelum masuk, mereka membasuh
muka, tangan dan kaki dengan air. Di depan kaum Bonokeling berdoa dengan
didahului sikap menyembah. Sama halnya di luar makam, di dalam kompleks makam,
mereka juga melakukan ritual yang hampir sama. Tetapi, kalau di dalam, ada
tambahan pembakaran kemenyan.
Menurut Sumitro,
prosesi Unggah unggahan yang digelar setahun sekali tersebut sebagai bagian
dari ziarah kubur Bonokeling. “Warga Bonokeling berdoa di makam agar beroleh
keselamatan dan tetap setiap pada ajaran Bonokeling. Yakni jujur, sabar dan
nrimo atau tetap diberi kejujuran, kesabaran dan menerima apa adanya,”tandasnya.
(liliek dharmawan)
1 komentar:
Ternyata Jawa bagian selatan juga banyak mempunyai khazanah budaya yang kaya, tak hanya Jogja dan Solo. Kedepannya semoga daerah cilacap dan sekitarnya bisa jadi destinasi wisata budaya. Salut buat tulisannya Kang, Salam kenal.
Posting Komentar