Rabu, 01 Mei 2013

Tiga Anak Perempuan Itu Memburuh Demi Sekolah...


Tiga saudara kandung itu berjalan pulang menyusuri jalanan batu yang menanjak setelah keluar dari SMP Negeri 4 Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah (Jateng). Rumah mereka hanya berukuran 6 x 5 meter berlantai lantai tanah dan berbilik bambu di Dusun Batur, Desa Panusupan, Kecamatan Rembang

Di dalam rumah, hanya ada tiga dipan, satu televisi dan meja kursi yang tidak terawat. Namun, televisi 12 inchi tidak dapat lagi hidup karena rusak. Sedangkan di dapur, tidak ada kompor. Hanya terlihat tungku dari tumpukan batu. Kalau memasak, kayu bakar jadi andalan. Tanah tempat rumahnya berdiri, juga bukan milik mereka. Itu adalah tanah milik desa yang harus disewa. Sejak lama mereka menempati dengan sewa. Kini, tagihannya telah sampai Rp4 juta.

Di rumah, ketiganya berbagi peran. Indahsari, 17, yang kini kelas 9 SMP dan Supriyani Astuti, 15, kelas 7 masuk ke dapur untuk memasak. Sedangkan Juliah, 13, menggendong Sayang, 5, yang tengah mainan sendiri di lantai tanah rumah mereka. Saban hari, Sayang memang masih di rumah bersama ibu mereka. Tetapi, sejak lima tahun silam, Tarmini, 40, hanya dapat menjaga anaknya yang kecil karena mengalami depresi. Praktis saban hari, anak-anak SMP itu berjuang untuk menghidupi diri mereka bersama dengan adik paling bungsu.

Pembagian peran itu dilakukan sejak bapaknya, Winarto, meninggal di usia 45 tahun pada Desember 2012 lalu. Dulu, bapaknya masih bisa membantu mengurus adik memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Namun hampir empat bulan terakhir, ketiganya banting tulang mengurus keluarga secara mandiri. “Ibu sudah sejak lama, kira-kira lima tahun tidak bisa apa-apa. Saya juga tidak tahu penyebabnya, karena tiba-tiba ibu diam dan sulit diajak berkomunikasi. Kadang-kadang berbicara sendiri,”ungkap Indahsari.

Empat bulan terakhir, Indahsari berperan menjadi kepala keluarga sekaligus berjuang untuk menyelesaikan sekolah di SMP. Kalau dibandingkan dengan usianya sekarang, Indahsari memang terlambat pendidikannya. Seharusnya ia sudah menginjak SLTA, tetapi karena kesulitan rumah tangga mereka, Indahsari baru akan lulus tahun ini. Baik Indahsari maupun adiknya sempat berhenti sekolah, tetapi setelah ada ongkos, mereka kemudian melanjutkan lagi.

Mereka masih bisa mengandalkan kakaknya, Tanto Purnomo, 23, yang bekerja sebagai buruh bengkel di Samarinda, Kalimantan Timur. Setiap bulan, Tanto mengirimkan uang sebesar Rp300 ribu untuk keluarga di dusun yang berada di pegunungan Ardi Lawet yang letaknya sekitar 35 kilometer (km) dari Purbalingga. “Kiriman sebesar Rp300 ribu tersebut kami gunakan untuk melunasi utang setiap bulan Rp100 ribu dan sisanya untuk membayar listrik dan kebutuhan harian. Kami harus membayar tagihan listrik sebulan Rp40 ribu. Kami juga harus membayar sewa tanah 4 juta. Namun saat ini, kami baru mampu membayar Rp1 juta,”jelasnya.

Untuk tetap melanjutkan hidup mereka, Indah, Supri dan Juliah sepakat bekerja. Karena masih ada tanggungan sekolah dan menunggu ibu serta adiknya, mereka bekerja membuat bulu mata palsu di rumah mereka.

Setelah memasak yang hanya dilakukan satu kali sehari selepas sekolah, mereka memulai aktivitas lain, membuat bulu mata palsu. “Pekerjaan membuat bulu mata palsu saya lakukan sejak kelas 5 SD. Sebab, pada saat bapak masih hidup, keperluan sehari-hari masih belum tercukupi sehingga saya dan adik-adik belajar membuat bulu mata palsu,”kata Indah.

Setiap dua hari sekali, kata Indah, ia bersama adik-adiknya mendapatkan upah sekitar Rp10 ribu sehingga setiap bulan hanya mendapatkan Rp150 ribu. Uang tersebut digunakan untuk membeli berbagai macam kebutuhan sehari-hari seperti beras dan sayuran. “Kalau dihitung-hitung memang tidak cukup, makanya kadang-kadang kami juga mencucikan baju-baju milik tetangga. Setiap mencuci baju, mendapatkan upah sekitar Rp10 ribu. Lumayan bisa untuk makan sehari dua kali dengan sayur,”katanya.

Meski telah lelah bersekolah dan bekerja, mereka masih tetap mampu menyempatkan diri untuk belajar saban malam. Kedisiplinan membuat mereka berprestasi di sekolah. Bahkan Indah dan Juliah termasuk dalam ranking 10 besar di sekolah. “Kami harus belajar agar dapat meneruskan sekolah. Mudah-mudahan setelah lulus SMP, saya bisa melanjutkan ke jenjang SLTA. Saya ingin bersekolah di SMK, agar bisa cepat mendapatkan kerja demi adik-adik saya,”ungkap Indah.

Mereka mengaku beruntung, karena bisa bekerja dan bersekolah. “Selama ini, sekolah memang tidak menarik biaya apapun, apalagi sekolahnya dekat dengan rumah sehingga tidak perlu ongkos angkutan. Kalau sekolah jauh, belum tentu kami sekolah,”kata Supri, adik Indah.

Dirinya juga masih ingin melanjutkan sekolah sambil mengejar cita-cita menjadi atlet tenis meja. “Saya hanya ingin jadi atlet tenis meja. Karena itu kesukaan saya,”ujarnya. Sedangkan Juliah, masih tetap memupuk asanya sebagai seorang guru.

Kepala SMP Negeri 4 Rembang Sumarmo mengungkapkan meski mereka tidak mampu dan harus bekerja mencukupi kebutuhan hidup, namun tidak pernah terlambat mengikuti pelajaran sekolah. “Bahkan, mereka termasuk anak yang cukup pintar di sekolah. Indah dan Juliah termasuk 10 besar di sekolah. Sementara Supriyani juga cukup baik prestasinya, bahkan dirinya mendapatkan beasiswa siswa miskin (BSM) sehingga bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan sekolah dirinya. Jika ada masih ada kebutuhan sekolah lain, kami para guru telah bersepakat untuk membantu mereka, karena mereka benar-benar tidak mampu. Barangkali tidak seberapa, namun kami menginginkan agar anak-anak itu tetap melanjutkan sekolah sampai selesai,”katanya.

Indah, Supriyani, dan Juliah adalah anak-anak yang tidak pernah menyerah terhadap kondisi. Semangat mereka untuk terus bersekolah tetap menyala, bahkan mereka tetap berani untuk bermimpi bagi masa depannya. Kini, Indah tinggal menyelesaikan sekolahnya di SMP. Namun, terkadang dirinya agak gamang, apakah mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Mengingat di SLTA harus membayar, sedangkan adik-adiknya juga butuh biaya. (liliek dharmawan)


Tidak ada komentar: