Minggu, 24 Februari 2013

“Oemar Bakrie” Masih ada di Zaman Ini





Sepeda kumbang melaju di jalanan yang berlubang. Dengan cepat, Oemar Bakrie terus mengayuh agar tidak terlambat mengajar di sekolahnya. Pengabdiannya sebagai guru telah menjadikan siswa-siswanya menjadi  “orang-orang penting”. Tetapi, jangan tanya soal pendapatannya, sebab gajinya seperti dikebiri.

Cerita itu memang hanya dalam lagu yang digubah oleh Iwan Fals beberapa dekade lalu. Sebagian orang barangkali sudah nyinyir terhadap cerita itu. Sebab, guru sekarang telah sejahtera. Gaji dan tunjangan sertifikasi yang mereka peroleh membuat guru bisa mendapatkan penghasilan lebih dari Rp5 juta setiap bulannya. Dengan hanya mengajar dari jam 07.00 WIB hingga sekitar jam 14.00 WIB.

Barangkali benar, sudah banyak guru yang sejahtera, namun tidak jarang yang masih memelas nasibnya. Bagai bumi dan langit, karena gap pendapatan begitu timpang. Inilah yang dialami oleh Agung, 27, yang menjadi guru di salah satu SD Negeri di Kecamatan Karanglewas, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng). Ia hanya diberi gaji Rp100 ribu hingga Rp150 ribu per bulan.

Honor yang diberikan kepada Agung merupakan anggaran dari sekolah, karena ia diangkat menjadi guru wiyata bakti (WB) berdasarkan Surat Keputusan (SK) Komite Sekolah. Sebab, sejak tahun 2005 pemerintah telah memutuskan untuk tidak mengangkat guru honorer atau WB. “Tetapi, karena sekolahnya butuh, maka saya diangkat dengan SK Komite Sekolah. Konsekuensinya memang tidak digaji oleh pemerintah. Setiap bulannya hanya mendapatkan Rp100 ribu hingga Rp150 ribu,”jelasnya.

Ia masih bisa menerima, karena saat ini belum memiliki keluarga. Untuk mencukupi kebutuhan dirinya saja, jelas sangat tidak mungkin mengandalkan gaji dari sekolah tersebut. Makanya, ia rela untuk menjadi penjaga warung angkringan kalau malam hari. “Warung angkringan ini milik kakak saya. Dengan berjualan, saya bisa menambah penghasilan untuk membiayai kuliah sarjana,”kata Agung yang baru mempunyai ijazah D2 bidang olah raga tersebut.

Meski honornya seadanya, tetapi menjadi guru adalah sebuah panggilan. Makanya, ia tetap mengajar  walaupun gajinya untuk beli bensin motornya saja tidak cukup. “Mudah-mudahan, nanti kalau lulus S1, ada bukaan lagi guru atau pengangkatan guru PNS. Itu mimpi saya,”tambahnya.

Nasib lebih baik dialami oleh Deri, 31, seorang guru SMP swasta di wilayah Purwokerto Barat, Banyumas. Sebagai seorang guru swasta, gajinya memang berasal dari yayasan yang menaungi sekolah setempat. “Saya setiap minggu mengajar sekitar 31 jam dengan mata pelajaran Bahasa Inggris. Honor yang saya terima Rp400 ribu per bulan. Kalau dipikir-pikir memang tidak cukup, namun mau bagaimana lagi. Untuk menjadi guru PNS sangat minim kesempatannya,”jelas dia.

Ia masih tetap mengajar meski gajinya jauh dari harapan. Sebab, dengan mengajar ada tambahan pendapatan untuk keluarganya. “Barangkali saya masih beruntung, karena suami bekerja, sehingga dapur masih tercukupi meski pas-pasan,”tambahnya.

Nurhalimah, 28, yang mengajar di sebuah SD Negeri Kecamatan Patikraja, Banyumas, yang diangkat sebelum tahun 2005 sebagai guru WB, nasibnya lebih beruntung, walaupun tetap honornya di bawah upah minimum kabupaten (UMK) yang besarnya Rp877 ribu tahun 2013. “Saya memang mendapatkan honor dari sekolah Rp200 ribu per bulan. Karena diangkat sebelum tahun 2004, maka saya mendapat uang tunjangan fungsional dari pemerintah sebesar Rp300 ribu per bulan. Tetapi, tunjangan fungsional tidak diterima setiap bulan. Biasanya ada rapelan 3 atau 6 bulan sekali,”ujar Nurhalimah.

Sehingga, kata Nurhalimah, kalau dihitung-hitung, setiap bulannya saya mendapatkan honor Rp5000 ribu. Gaji tersebut memang masih lebih rendah jika dibandingkan dengan UMK Banyumas. “Tetapi mau bagaimana lagi. Saya malu sebetulnya, karena jelas tidak bisa mencukupi keluarga. Kebetulan suami saya juga kerja, sehingga masih tetap bisa membeli susu untuk anak saya,”tambahnya.

Untuk memperoleh pendapatan tambahan, Nurhalimah membuka les Bahasa Inggris untuk anak-anak. “Selepas mengajar di SD, saya memberi les untuk anak-anak. Lumayan lah guna menambah pendapatan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Kalau mau kerja lain, sepertinya tidak. Karena sudah sejak tahun sembilan tahun saya menjadi guru dan telanjur cocok dengan profesi ini,”jelasnya.

Untuk menambah pendapatan, ia kemudian membuka les Bahasa Inggris untuk anak-anak. Meski hasilnya juga tidak seberapa, tetapi setidaknya akan membantu untuk mencukupi kebutuhan keluarga. “Lumayan lah dengan membuka les Bahasa Inggris, karena ada pemasukan untuk membeli susu anak saya,”tambah Nurhalimah.

Para guru itu memang ibarat bumi dan langit jika dibandingkan dengan guru PNS yang telah mendapat tunjangan sertifikasi. Namun, pengabdiannya yang tulus tidak membuat mereka luluh hanya karena rendahnya pendapatan. (liliek dharmawan)









 

Tidak ada komentar: