Senin, 25 Februari 2013

Kekerabatan Bonokeling yang Tak Lekang Zaman






Siang yang cukup terik. Debu jalanan terbang ke udara ketika ada kendaraan lewat. Hari panas itu terasa sejuk ketika mendengar sapaan masyarakat Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng).

Sapaan warga memang mengesankan kalau mereka terbuka dengan siapa pun dan pengaruh apapun. Raut wajah sumringah terlihat begitu ada tamu yang datang. Sama sekali tidak ada kesan bahwa mereka tertutup. Padahal, warga setempat merupakan komunitas adat Bonokeling, sebuah masyarakat dengan segudang tradisi yang tetap bisa dipertahankan dan dilestarikan hingga kini.

Meski mereka adalah komunitas adat Bonokeling, namun warganya telah berbaur dengan masyarakat lain. Hingga kini tercatat, pengikut kaum adat Bonokeling tidak kurang dari 5 ribu orang. Pusatnya memang berada di Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang. Warga tersebar di 23 rukun tetangga (RT) dari 33 RT yang ada. Letak desa setempat tidaklah terpencil, hanya sekitar 3 kilometer (km) dari jalur selatan penghubung Yogyakarta-Bandung. Apalagi, jalannya telah diaspal. Selain di Pekuncen, warga Bonokeling lainnya bermukim di sejumlah kecamatan di Cilacap seperti Adipala, Kroya, Sidareja, Gandrungmangu dan lainnya.

Walaupun dipisahkan oleh jarak, tetapi komunitas adat Bonokeling terus menjalin komunikasi. Apalagi, secara berkala mereka juga mengadakan ritual tradisi. “Biasanya, setiap selapan (40 hari) kami mengadakan pertemuan di Bale Pasamuan. Pertemuan itu berisi mengenai berbagai macam hal, salah satunya adalah bagaimana kaum adat Bonokeling diingatkan akan ajaran nenak moyang,”kata Juru Kunci Komunitas Adat Bonokeling, Kartasari.

Tempat pertemuan berada di “kompleks perumahan” para pemuka adat Bonokeling. Selain “rumah dinas” di tempat itu ada juga Bale Malang yang merupakan tempat memasak bersama-sama. Hampir seluruh bangunan masih bercorak arsitektur rumah Jawa kuno yakni joglo. Meski bagian penutupnya ada yang menggunakan seng maupun genting. Hampir seluruh rumah dan bangunan tetap masih beralaskan tanah.

Menurut Kartasari, Juru Kunci dibantu oleh para Bedogol yang bertugas sebagai pemimpin putra wayah atau biasa disebut anak cucu. Sebutan itu merupakan putra wayah merupakan warga komunitas adat Bonokeling. “Tugas utama seorang Juru Kunci adalah menjaga kompleks makam Bonokeling. Selain itu juga memimpin ritual tradisi yang digelar. Misalnya saja Unggah-unggahan, Udunan, Sedekah Bumi, Suran dan lainnya,”jelasnya.

Tradisi

Sebagai komunitas adat, kaum Bonokeling memiliki beragam tradisi yang tak lekang oleh zaman. Unggah unggahan merupakan tradisi paling banyak diikuti oleh warga komunitas adat Bonokeling. Mereka datang dari berbagai penjuru dengan jalan kaki melewati perbukitan. Prosesi yang dilaksanakan pada hari Jumat terakhir bulan Ruwah dalam kalender Jawa. Prosesi dalam tradisi Unggah unggahan berlangsung selama tiga hari dan melibatkan ribuan warga Bonokeling.

Pada prosesi Unggah unggahan yang berlangsung pada bulan Juli lalu, setidaknya ada 1.500 warga komunitas Bonokeling yang datang ke Desa Pekuncen. Prosesi Unggah unggahan sejatinya adalah ziarah kubur di kompleks pemakaman Bonokeling, tokoh spiritual yang merupakan cikal bakal dari kaum adat Bonokeling. Hanya saja, tokoh tersebut sampai sekarang misteri, karena tidak pernah ada catatan sejarah yang secara pasti mencatat muasalnya.  Hanya disebutkan kalau Bonokeling merupakan seorang tokoh dari Kadipaten Pasir Luhur yang erat hubungannya dengan Kerajaan Padjajaran.

Di kompleks makam itulah, secara bergiliran, mereka melakukan ritual Unggah unggahan dengan berpakaian adat Jawa kuno. Prosesi itu ditutup dengan makan besar bersama seluruh warga komunitas Bonokeling. “Tradisi ini memang telah berlangsung ratusan tahun. Yang jelas, sampai sekarang masih tetap dipertahankan dan dilestarikan. Tidak hanya orang tua saja yang datang, tetapi juga anak-anak, pemuda dan para sepuh,”ungkap salah seorang warga Komunitas Bonokeling, Sanmiarja, 65.

Setelah ritual Unggahan, ada juga tradisi Udunan. Namun, tradisi tersebut tidak seramai Unggah unggahan. Prosesi budaya lainnya yang masih dilangsungkan adalah Sedekah Bumi. Tradisi ini juga dipimpin langsung oleh Juru Kunci Kartasari. Ritual tersebut sesungguhnya adalah gelaran doa menjelang masa tanam. Warga Bonokeling yang bermukim di Desa Pekuncen membawa bahan makanan lengkap dengan lauk pauk dan dibawa ke balai desa setempat. Setelah terkumpul semua, juru kunci berdoa dengan bahasa Jawa meminta kepada Yang Maha Kuasa serta meminta restu para leluhur agar dalam masa tanam tidak ada halangan dan bisa dipanen dengan hasil baik.

Dalam tradisi itu juga digelar acara lempar nasi yang telah dibentuk menjadi bulatan. Lempar-lemparan nasi tersebut sebagai bentuk kebersamaan, sehingga bagi mereka yang terkena lemparan tidak boleh marah. Nasi yang tercecer di jalanan kemudian dikumpulkan kembali dan diberikan kepada ayam dan unggas yang mereka pelihara.


Kebersamaan

Kebersamaan dalam kekerabatan kaum adat Bonokeling terus membudaya hingga sekarang. Kuncinya adalah generasi tua komunitas adat Bonokeling menularkan tradisi kepada anak cucu mereka. “Dalam setiap pertemuan, juru kunci maupun para bedogol memberikan wejangan pentingnya menjaga kelestarian adat,”tegas salah seorang tetua adat Sumitro.

Menurutnya, meski komunitas adat Bonekeling telah tersebar di mana-mana, tetapi dalam setiap ritual tradisi terutama Unggah unggahan merupakan ajang pertemuan dan interaksi kaum tersebut. “Kami dipersatukan dalam kekerabatan Bonokeling. Masyarakat di sini memang terbuka dengan siapa saja dan pengaruh apa pun, tetapi kalau sudah tentang tradisi, itu sangat kami pegang erat dan tetap dilestarikan sampai kapan pun,”jelas Sumitro.

Peneliti komunitas adat Bonokeling dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto Ridwan mengungkapkan bahwa sistem kekerabatan yang begitu erat pada komunitas Bonokeling dimulai dari sistem rekrutmen. “Jadi sejak kecil, mereka telah didata dan didaftarkan menjadi “anak putu” Bonokeling. Mereka yang telah direkrut nantinya akan dibina oleh tetua adat, baik yang ada di Banyumas atau Cilacap,”jelasnya.

Dengan kekerabatan itu, muncullah daya imunitas yang kuat terhadap pengaruh-pengaruh luar, meski sebetulnya komunitas tersebut bersifat terbuka. “Dari sisi budaya, itu merupakan aset yang hingga kini masih dapat bertahan terhadap gempuran zaman,”katanya.

Namun kalau dilihat dari sisi agama, agak sulit sebetulnya mereka itu masuk agama apa. “Kalau dikatakan Islam, mereka ada juga sebagai penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jika dikatakan Hindu atau Budha, juga bukan. Jadi sebetulnya, dilihat dari pendekatan agama, misalnya Islam, mereka tidak termasuk, karena juga tidak menjalankan ibadah salat lima waktu. Yang pasti, mereka memiliki tata cara tersendiri melakukan peribadahan,”ujar Ridwan. (liliek dharmawan)


Tidak ada komentar: