Memasuki kompleks sesepuh kaum Bonokeling di Desa Pekuncen, Kecamatan
Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) bagai kembali pada zaman Jawa
kuno. Bentuk rumahnya masih seperti Joglo, meski atapnya telah digantikan
seng. Sedangkan dindingnya masih tetap terbuat dari anyaman bambu. Begitu
juga lantainya bukanlah dari keramik, masih tetap tanah.
Ada sejumlah bangunan tua yang sudah kelihatan tidak terlalu kokoh lagi.
Misalnya saja bangunan Pasemuan yang biasanya digunakan sebagai tempat
memuji dengan menembangkan lagu-lagu Jawa. Ada pula Balai Malang yang
biasa digunakan untuk tempat makanan dan minuman pada saat ada ritual
khusus. Ada pula enam bangunan rumah joglo yang digunakan sebagai rumah
dinas juru kunci dan lima rumah untuk bedogol. Bedogol merupakan pembantu
juru kunci atau pemimpin kelompok-kelompok dalam Bonokeling.
Dalam keseharian, masyarakat di tempat itu sama dengan warga kebanyakan.
Terlihat anak-anak yang bermain dengan sepeda dan memakai baju zaman
sekarang. Kontras dengan generasi tua yang masih memakai baju kejawen.
Yang perempuan memakai jarit, sedangkan laki-laki menggunakan baju hitam
dengan penutup kepala atau disebut iket. Kesemuanya menyatu dalam harmoni
indah, meski rumah-rumah yang mereka tinggali terlihat amat sederhana.
Area tersebut merupakan wilayah para tokoh yang masih “trah” atau
keturunan dari Bonokeling. Makam dari Bonokeling tidak jauh dari rumah
dinas juru kunci dan bedogol hanya sekitar 200 meter. Bonokeling bisa
disebut dengan tokoh misterius, karena Bonokeling sebetulnya merupakan
nama alias, bukan nama sesungguhnya. Nama Bonokeling dapat diartikan
sebagai “wadah hitam”. Bono berarti wadah dan keling artinya hitam.
Keturunan dari Bonokeling biasanya memakai pakaian serba hitam, terutama
pada waktu-waktu ritual tertentu. Tidak ada sejarah yang mencatat, kapan
tokoh Bonokeling berkiprah di tempat itu dan kapan meninggalnya.
Juru kunci Makam Bonokeling Kartasari, 75, mengungkapkan bahwa tidak ada
catatan secara persis kapan sebetulnya Bonokeling ada di desanya. Tetapi
dari penuturan para sesepuh sebelumnya, Bonokeling ada jauh sebelum Islam
masuk ke Banyumas. Kartasari mengatakan kalau dia baru menjabat sebagai
juru kunci tiga bulan. Ada lima Bedogol yang membantu. Semua bedogol
rumahnya di sini. “Selain itu ada juga Ketua Adat Bonokeling. Biasanya
ketua adat ini yang berhubungan dengan masyarakat di luar Bonokeling dan
pemerintah. Bahkan, Ketua Adat Bonokeling juga masuk struktur Badan
Perwakilan Desa (BPD) dari unsur adat,”kata Kartasari yang tidak dapat
berbahasa Indonesia.
Sebagai seorang juru kunci, ada sejumlah tugas yang diembannya. Di
antaranya adalah membersihkan makam, biasanya pada hari Kamis. Selain itu,
juru kunci juga memimpin ritual-ritual yang telah terjadwal maupun tidak.
Ritual yang terjadwal di antaranya adalah Unggah-unggahan, Sedekah Bumi,
Kupatan Senin Paing, dan lainnya. Yang tidak terjadwal di antaranya adalah
upacara melebuh.
Unggah-unggahan merupakan ritual paling besar. Karena ritual itu tidak
hanya diikuti oleh kaum Bonokeling dari desa setempat melainkan dari
pesisir Cilacap seperti Maos, Kroya, Adipala, Binangun hingga Nusawungu.
Mereka datang dengan berjalan kaki menuju makam Bonokeling. Biasanya
ritual itu berlangsung selama tiga hari. Intinya adalah berkumpul di Makam
Bonokeling dan makan bersama.
Selain itu, ada juga Sedekah Bumi yang dilaksanakan pada bulan Jawa Apit.
Pada ritual itu, warga khususnya Bonokeling berkumpul untuk mengumpulkan
hasil bumi sebagai ucapan terima kasih kepada Yang Maha Pencipta. Ada lagi
ritual Kupatan Senin Paing. Kalau ritual itu berisi puji-pujian kepada
Penguasa Alam melalui tembang-tembang Jawa. Dalam ritual tersebut
dilengkapi dengan kupat yang berarti Laku Papat, sebuah laku untuk menuju
keselamatan.
Prosesi yang tidak terjadwal adalah Mlebu. Mlebu merupakan prosesi di mana
seseorang yang telah dewasa mau masuk ke dalam Kaum Bonokeling. Biasanya
untuk kaum perempuan usianya menginjak 17 tahun dan laki-laki 12 tahun.
Dalam ritual Mlebu, mereka yang akan masuk harus menguasai pranata
Bonokeling sebagai syaratnya. Jika laki-laki, akan dikukuhkan oleh
Bedogol, sedangkan kalau perempuan dikukuhkan oleh istri Bedogol.
Ketua Adat Bonokeling Sumitro mengatakan bahwa mereka tetap beragama
Islam, namun budaya Bonokeling tetap dipegang teguh. “Misalnya saja,
budaya Unggah-unggahan. Budaya itu sebetulnya merupakan prosesi awal musim
tanam. Tetapi ketika Islam sudah masuk dan waktunya menjelang Ramadan,
prosesi Unggah-unggahan disamakan dengan ritual Sadranan. Sadranan biasa
dilakukan menengok dan membersihkan makam leluhur sebelum masuk bulan
puasa,”jelas Sumitro.
Dijelaskan oleh Sumitro, Bonokeling sampai sekarang memang masih
misterius. Meski demikian, sebetulnya para tetua adat tahu siapa
sebetulnya Bonokeling, namun tidak boleh memberikan keterangan kepada
khalayak. “Ya Bonokeling saja, walaupun itu sebenarnya hanyalah nama
samaran. Ia adalah tokoh yang berasal dari Pasir Luhur. Pasir Luhur
merupakan kadipaten di bawah Kerajaan Padjajaran atau
Galuh-Kawali,”katanya.
Setelah masuknya Islam, berbagai budaya ala Bonokeling tetap dipertahankan
tetapi mengalami akulturasi. Sehingga ada percampuran yang unik antara
tradisi Islam dengan Bonokeling.
Peneliti dari Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto Ridwan
yang melakukan riset etnografi terhadap kaum Bonokeling mengatakan bahwa
di kalangan kaum Bonokeling terjadi akulturasi budaya antara budaya lokal
dengan Islam. “Ada local wisdom yang sebetulnya sangat erat dan melekat
dalam kaum Bonokeling yakni “guyub rukun” atau persaudarannya. Mereka akan
menjadi anak cucu Bonokeling melalui prosesi “mlebu” yang dilakukan oleh
Bedogol kalau laki-laki dan perempuan dengan istri Bedogol,”jelas Doktor
lulusan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut.
Ridwan mengaku cukup heran karena di saat gempuran budaya globalisasi
seperti sekarang masih ada yang memegang teguh pranata dan budaya lokal
yang mereka miliki. “Kuncinya adalah kekerabatan yang begitu kuat di
ataranya kaum Bonokeling. Padahal, mereka sangat terbuka, baik dalam
komunikasi maupun secara geografis. Apalagi, kaum Bonokeling juga tersebar
di Banyumas dan Cilacap. Saya masih yakin sampai 10 tahun mendatang, kaum
Bonokeling masih tetap eksis. Meski sebenarnya tetap ada
perubahan-perubahan yang terjadi apalagi kalau anak-anak keturunan “trah”
Bonokeling tersebut bersekolah atau merantau ke luar daerah,”kata Ridwan
yang juga dosen STAIN Purwokerto tersebut.
Bagi Ridwan, local wisdom yang masih dimiliki oleh kaum Bonokeling harus
mendapat perhatian dari pemerintah daerah khusus budaya yang mereka
miliki. Meski sebetulnya masih ada persoalan dalam perspektif teologis
Islam. (liliek dharmawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar