Senin, 18 April 2011

Mangrove Hilang, Nelayan Meradang





Sebuah perahu jukung melintas di Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng). Si nelayan memelankan laju perahunya dan menambatkannya di sela-sela pepohonan mangrove di kawasan setempat. Dia kemudian mengeluarkan jaringnya untuk memperoleh ikan.

Sekali, dua kali sampai berkali-kali, jaring sengaja dilemparkan di Kawasan Segara Anakan itu. Lumayanlah, akhirnya dia mendapatkan juga. Bermacam ikan dan udang kecil diperolehnya dari hasil menjaring itu. “Sebetulnya hasil sekitar 5 kilogram (kg) ini jauh dibandingkan beberapa tahun lalu. Karena waktu itu, hasilnya bisa mencapai 15-20 kg. Akhir-akhir ini memang sulit mendapatkan ikan,”jelas Slamet, 48, nelayan asal Desa Klaces, Kecamatan Kampung Laut.

Penurunan hasil tangkapan ikan juga dikatakan oleh Ketua II Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Cilacap Indon Cahyono. Menurutnya, semakin sempitnya Segara Anakan serta kian menyusutnya hutan mangrove menjadikan ikan semakin sulit dicari selain perubahan iklim yang semakin tidak pasti.

“Memang saat ini semakin sulit nelayan mencari ikan. Selain musim yang sulit diterka dan kian seringnya cuaca buruk di laut membuat tidak kurang dari 30 ribu nelayan di Cilacap nasibnya semakin suram. Apalagi ditambah dengan kian rusaknya ekosistem mangrove dan menyempitnya Segara Anakan,”ujarnya.

Kondisi mangrove memang memprihatinkan, karena saat sekarang hanya tinggal 8.000 hektare (ha) dari sebelumnya di tahun 1975 mencapai15 ribu ha. Demikian juga dengan Segara Anakan yang hanya tinggal memiliki luas 600 ha dari sebelumnya di tahun 1900-an mencapai 6.460 ha dan tahun 2000 silam masih 1.200 ha. Rusaknya mangrove salah satunya adalah pembalakan liar serta sedimentasi yang terus-menerus masuk Segara Anakan. Pengendapan lumpur dari berbagai sungai terutama Citanduy dan Cimeneng tiap tahunnya mencapai 760 ribu meter kubik. Dengan perubahan Segara Anakan menjadi daratan, maka ekosistem mangrove juga berubah dan menyebabkan kematian hutan bakau.

Padahal, menurut Kepala Kantor Pengelola Sumberdaya Segara Anakan (KPSSA) Cilacap Supriyanto menyatakan kombinasi laguna dan mangrove di Cilacap sebagai yang terunik di Kawasan Asia Pasifik dan menjadi wilayah penting bagi rantai kehidupan biota laut. “Kawasan itu juga merupakan tempat pemijahan ikan dan udang. Bahkan juga sebagai tempat perlidungan dan mencari makan bagi biota laut,”kata Supriyanto.

Dalam ekosistem itu juga berkembang 26 jenis pohon mangrove dan ratusan spesies udang dan ikan laut. Dari riset yang pernah dilakukan, setiap ha mangrove dengan biota laut yang ada, nilai ekonomisnya mencapai Rp17 juta. Jika penyusutan telah mencapai sekitar 7.000 ha, maka kerugian selama ini telah mencapai Rp119 miliar. Itu belum perhitungan berapa banyak penurunan hasil laut setelah terganggunya pemijahan biota laut.

Rusaknya mangrove memang tidak dapat dilepaskan dari pembalakan liar yang masih saja berlangsung. Administratur Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Barat Sangudi Muhamad menyatakan bahwa kondisi mangrove di sekitar Segara Anakan memang membutuhkan penanganan serius. “Pembalakan memang masih terjadi, karena kondisi ekonomi. Sulitnya mencari ikan, membuat sebagian warga kemudian beralih membabat kayu mangrove yang terdiri dari Rhizopora sp, Bruguera sp, dan Soneratia sp untuk dijadikan arang. Karena kayu mangrove paling cocok dijadikan arang karena kayunya keras,”ujarnya.

Upaya penyelamatan

Berbagai instansi, misalnya Perhutani dan KPSSA menaruh perhatian terhadap penyelamatan mangrove dan Segara Anakan. Bahkan, pemerintah pusat melalui Kementrian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra) juga turun tangan dan siap menanganinya.

Kemenkrokesra, misalnya, kata Supriyanto,telah mengagendakan guna mengooridinasikan penyelamatan Segara Anakan dari sedimentasi. “Pengerukan bakal dilakukan pada tahun 2011 mendatang, setelah sebelumnya didahului oleh kegiatan lainnya. Langkah itu akan menjadi salah satu solusi nyata,”tandasnya.

Langkah lainnya, tambah Supriyanto, adalah mencari format baru konservasi. Dalam program konservasi Segara Anakan, KPSSA tidak lagi hanya bagaimana menghijaukan mangrove kembali yang dalam tiga tahun terakhir telah mencapai sekitar 2.500 ha, tetapi mulai masuk pemberdayaan masyarakat secara ekonomi. “Kita mengajak masyarakat di Kecamatan Kampung Laut seperti Klaces, Mangunjaya, dan Lempungpucung untuk membudidayakan kepiting. Selanjutnya mereka juga kita minta untuk tanam mangrove,”tambah Supriyanto.

Perhutani KPH Banyumas Barat juga tidak mau ketinggalan. Instansi yang menangani kehutanan itu merintis pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) pada tahun 2009 ini terutama di lahan Perhutani yang kini dihuni oleh warga karena telah menjadi tanah timbul seluas 7.600 ha. “Dalam PHBM itu, kita mengembangkan silvofishery yakni perpaduan antara mangrove dengan empang serta agrosilvofishery yakni memadukan antara mangrove, empang dan palawija,”ujar Sangudi

Targetnya adalah bagaimana ekonomi masyarakat semakin terangkat dan tidak lagi menebangi hutan mangrove yang sesungguhnya menjadi aset masa depan mereka. Karena jika mangrove hilang, masa depan mereka bakal suram. Bahkan, tidak hanya warga sekitar saja yang merasakan dampaknya, tetapi juga masyarakat pesisir, warga nelayan. (liliek dharmawan)

Tidak ada komentar: