Minggu, 10 April 2011

Menyulap Sampah Jadi Gaun Nikah




Sekilas, gaun pengantin warna putih itu tidak ada bedanya dengan yang lain. Gaunnya menarik dengan berbagai variasi kerutan di sana sini. Benar-benar seperti gaun pengantin yang diproduk secara serius dengan kain mahal.

Benar, bahwa penggarapannya serius. Butuh waktu yang cukup lama dan tenaga kerja yang jumahnya lebih dari 10 orang. Tetapi, silakan disentuh. Pasti akan sangat kaget.

Ternyata gaun pengantin itu bukanlah terbuat dari kain yang mahal. Gaun tersebut berasal dari sampah terutama plastik. Makanya ketika disentuh langsung berbunyi kresek...kresek...kresek. Memang gaun pengantin setinggi sekitar 1,5 meter tersebut berasal dari limbah sampah. Ada sampah plastik dan kain bekas spanduk serta rumbai-rumbai yang berasal dari plastik sedotan minuman.

Itulah hasil dari kreasi dari para ibu-ibu yang tergabung dalam kelompok Perumahan Gumilir, Kelurahan Gumilir, Cilacap, Jawa Tengah yang dipimpin oleh Erni Suhaina Ilham Fadzry, 42. Ia adalah pemilik sekaligus pimpinan sebuah lembaga kursus yang juga merekrut para ibu-ibu di sekitar rumah setempat.

Salah seorang ibu yang mengerjakan baju pengantin tersebut, Desi Musikawati, 36, mengatakan pengerjaan gaun pengantin awalnya dilakukan pengumpulan sampah-sampah, terutama tas plastik warna putih. Kemudian dibuat polanya. Bagian dalam dari gaun pengantin itu terbuat dari spanduk bekas berwarna putih, walaupuin masih ada sisa tulisannya.

Setelah selesai membuat bagian dalam pengantin, baru tas plastik bekas mulai disambung-sambung untuk membuat berbagai variasi pada gaun tersebut. Bentuknya sungguh unik, karena seluruh bagian baju pengantin sangat variatif dengan renda-renda menarik. Hanya pada bagian lengan baju yang dibiarkan tidak ada hiasan, sebatas plastik panjang.

Menurut Desi, untuk membuat gaun tersebut membutuhkan waktu sampai 12 hari. "Yang mengerjakan juga banyak, lebih dari 10 orang. Mereka bertugas masing-masing, mulai dari menyambung plastik bekas, membuat hiasan sampai menjahitnya,"ujar Desi.

Sementara Erni Suhaina menambahkan sebetulnya untuk membuat gaun pengantin yang terbuat dari sampah tidak terlalu masalah. Yang jadi persoalan adalah, apakah ada calon pengantin yang mau menggunakan gaun pengantin yang terbuat dari sampah.

"Saya sudah sekitar tiga kali meminta kepada beberapa calon pengantin. Tetapi ditolak. Setelah itu ada calon pengantin yang menawarkan diri. Ini merupakan surprise bagi kami karena ada calon pengantin yang mau menggunakan baju pengantin dari bahan limbah plastik dan kain. Mereka adalah Ema Masitoh dan Adi Kuncoro,"ujarnya.

Dikatakan oleh Erni, bahwa sebetulnya kain pengantin dari bahan plastik tersebut merupakan salah satu kampanye lingkungan. "Dengan adanya gaun pengantin tersebut, kami ingin mengajak masyarakat untuk peduli terhadap lingkungan. Karena kami melihat banyak persoalan sampah di masyarakat, tetapi tidak banyak yang memanfaatkan,"katanya.

Paling tidak, lanjutnya, dengan membuat gaun pengantin itu dapat akan membukakan mata masyarakat bahwa ternyata limbah dapat dimanfaatkan untuk barang-barang yang lebih berguna. Ini dapat menjadi tonggak untuk menggerakkan masyarakat supaya melaksanakan kegiatan pemanfaatan limbah non B3. "Bahan-bahan itu dapat dipakai untuk di-recycle, reuse, dan reduce. Atau daur ulang, penggunaan kembali dan mengurangi penggunaan,"jelasnya.

Beragam Produksi

Menurut Erni, tidak hanya gaun pengantin saja, tetapi juga baju-baju lain. Ada yang terbuat dari kain spanduk bekas, plastik sisa maupun kertas. Namun itu semua tidak dijual, tetapi hanya untuk disewakan. Yang pasti sekali lagi saya katakan kalau itu sebagai contoh jika sampah dan limbah dapat dimanfaatkan,"ujarnya.

Rumah Erni juga digunakan sebagai tempat kursus dan pelatihan bagi warga sekitar itu juga menghasilkan produk suvenir. Produk-produk suvenir juga berbahan baku sampah. Misalnya saja botol bekas minuman yang dihias diubah menjadi tempat surat undangan. Selain itu compact disk bekas disulap menjadi suvenir cantik bagi para tamu undangan. Tidak hanya itu, ada sejenis hantaran yang dibentuk seperti masjid. “Kalau harga suvenir biasanya hanya berkisar antara Rp1.000 hingga Rp1.500 per biji, tetapi jika hantaran yang berbentuk masjid harganya Rp25 ribu,”katanya.

Dengan berbagai macam kegiatan itu, Erni berhasil merekrut para remaja dan ibu-ibu di sekitar Gumilir untuk turut serta dalam kegiatan produktif. Hasilnya cukup lumayan, setiap bulannya bisa mendapatkan Rp500 ribu.

Tidak hanya mereka yang datang ke rumah setempat, karena Erni dan kelompoknya juga membina beberapa dasawisma dan kelompok ibu lainnya. “Bagi kita, semakin banyak yang bisa kian suka. Karena kalau ada pesanan, banyak yang mengerjakan,”ujarnya.(liliek dharmawan)

Tidak ada komentar: