Selasa, 28 Oktober 2014

Tambora, Dulu Mengguncang Dunia, Kini Menyapa Dunia

                                          volcano.si.edu


Napoleon Bonaparte, 100 hari selepas hari kebebasannya atau 18 Juni 1815. Ia bergerak menggempur pasukan koalisi yang dipimpin Laksamana Wellington, di Waterloo atau 15 km selatan Brussels, Belgia. Ternyata perang yang disebut Pertempuran Waterloo tersebut merupakan babak pamungkas dari sepak terjang Napoleon.


Kekalahan Napoleon sebetulnya tidak diperhitungkan, karena dia dan pasukannya sangat siap. Sayang, cuaca yang tidak semestinya muncul. Pada saat penyerangan, terjadi hujan lebat yang menimbulkan banjir sehingga sulit baginya untuk membawa meriam-meriam berat. Napoleon memutuskan untuk menunggu tanahnya mengering, tetapi sayang hal itu tidak terjadi. Napoleon takluk dan kekaisaran Prancis juga tumbang.


Barangkali Napoleon tidak pernah membayangkan adanya hujan deras yang turun pada bulan Juni. Sebab, biasanya pada Juni sudah tidak ada hujan karena akan memasuki musim panas. Namun, kenyataan berkata lain. Karena nun jauh di sana, atau tiga bulan sebelumnya, ada peristiwa mahadahsyat yakni meletusnya Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat pada 10 April 1815. Meski tidak terdengar letusannya, tetapi abu letusan Tambora sampai ke lapisan stratosfir yang dimungkinkan menyublim di langit Eropa, sehingga hujan deras masih terjadi.


Bahkan, dalam catatan sejarah menyebutkan, tahun 1816, disebut sebagai “the year without summer”. Debu vulkanis Gunung Tambora telah menghalangi sinar matahari, sehingga tidak muncul musim panas. Dampaknya, musim dingin di Eropa dan Amerika Utara bertambah panjang. Sedangkan Australia dan Afrika Selatan turun salju saat musim panas.


Suhu bumi yang diperkirakan menurun sampai 0,5 derajat Celcius itu membuat perubahan yang dahsyat. Dampaknya gagal panen di mana-mana. Kelaparan dan wabah penyakit pun terjangkit di hampir seluruh belahan dunia.


Letusan Tambora dicatat paling dahsyat dalam sejarah manusia modern. Magnitudo letusan Tambora, berdasarkan Volcanic Explosivity Index (VEI), berada pada skala 7 dari 8, hanya kalah dari letusan Gunung Toba (Sumatera Utara), sekitar 74.000 tahun lalu, yang berada pada skala 8.


Gunung yang sebelumnya memiliki ketinggian 4.200 meter di atas permukaan laut (mdpl) tersebut terpotong hingga 1.500 mdpl menjadi 2.700 mdpl. Isi dari perut gunung juga dimuntahkan dengan meninggalkan kawah hingga sedalam 1.100 meter dan diameter 6,2 km. Total volume Tambora yang dikeluarkan mencapai 150 miliar meter kubik. Padahal, Gunung Merapi yang meletus tahun 2010 silam “hanya” memuntahkan 140 juta meter kubik. Abu yang dilontarkan terdeteksi hingga 1.300 km dari lokasi setempat. Jumlah total gabungan awan panas (piroklastik) dan batuan totalnya 874 kilometer persegi. Ketebalan awan panas rata-rata 7 meter, tetapi ada yang mencapai 20 meter. Dalam radius sekitar 600 km dari Tambora gelap gulita sepanjang hari hampir sepekan.


Dampak yang ditimbulkan sungguh dahsyat. Tiga kerajaan yang berjaya sebelum Tambora meletus seperti Kerajaan Sanggar, Kerajaan Tambora dan Kerajaan Pekat, sama sekali tidak lagi tersisa. Korban tewas diperkirakan 91 ribu orang. Dari jumlah tersebut, 10 ribu di antaranya tewas akibat tersapu badai awan panas. Sisanya, sekitar 81 ribu lainnya adalah dampak sekunder akibat kelaparan dan penyakit yang muncul pascaletusan.


Empat tahun selepas letusan, ahli Botani asal Belanda, Junghuhn pernah menuliskan kalau sejauh mata memandang, yang terlihat di lautan hanya batu apung. Kepunahan benar-benar nyata di pelupuk mata. Bumi seakan menjadi kosong.


Waktu berjalan. Pelan-pelan, hancurnya peradaban akibat letusan Tambora mulai bergerak. Pulau Sumbawa, tempat Tambora, kembali menggeliat. Bahkan, selepas 200 tahun sejak letusan, Tambora telah menjadi gunung yang terus didatangi oleh pengunjung. Sejarah kedahsyatan letusannya, mampu menarik kunjungan warga domestik maupun manca. Alam di Tambora juga kaya akan fauna, seperti jenis burung kakaktua kepala putih, nuri merah, ayam hutan, elang dan gagak. Lainnya, adalah musang, biawak, landak, monyet dan sebagainya.


Untuk mendaki ke puncak Tambora, dapat melalui sejumlah pos pendakian. Di antaranya dari jalur barat dimulai dari Desa Pancasila sampai ke kaldera barat dengan membutuhkan waktu 2-3 hari. Sedangkan dari utara, melalui Desa Kawind Nae sampai ke kaldera utara. Jaraknya lebih pendek dan lebih cepat sampai. Sementara kalau melalui Desa Doropeti, bisa menggunakan mobil. Mobil dapat mencapai ketinggian hingga 1.200 mdpl dilanjutkan dengan jalan kaki 2-3 jam. Meski lelah, tetapi jika sampai di sana, sepertinya hilang segala penat. Dengan sapaan sinar matahari pagi yang sungguh luar biasa visualnya.


Wisata Tambora, di Nusa Tenggara Barat, menjadi magnet luar biasa, terutama bagi wisatawan manca negara. Apalagi, kesejarahan membuktikan jika Tambora memiliki misteri ilmu pengetahuan yang bisa diungkap. Inilah wisata kelas dunia. Wisata yang tidak saja melihat keindahan alam, tetapi juga mengungkap misteri masa lalu Tambora melalui perjalanan ke sana. Pengunjung bisa jadi bukan hanya warga awam semata, melainkan juga para ahli di bidangnya untuk menambah khazanah kelilmuan mereka.

Tak salah, jika kemudian Pemprov Nusa Tenggara Barat, telah memastikan ada satu acara dahsyat di Tamborsa yang bakal dihelat tahun 2015 mendatang. Sengaja, jauh-jauh hari rencana dimunculkan, agar pada puncaknya, 11 April 2015 atau dua abad kedahsyatan letusan Tambora, pengunjung dapat merasakan auranya. Tentu saja, bukan kedahsyatan letusan, tetapi aura Tambora yang menyapa dunia. Tambora yang siap dinikmati dan dieksplorasi dari berbagai disiplin keilmuan.


Di sana, anda ditunggu. Siapapun Anda. Warga biasa, petualang, backpacker, wisawatan, bahkan ilmuwan sekalipun. Itulah Tambora, yang siap menyatukan perbedaan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Yang pasti bukan rasa kekhawatiran, namun kesukacitaan bersama.


Inilah Nusa Tenggara Barat. Wisata yang tersaji tak hanya sebatas alam indah yang mengasyikkan untuk dinikmati. Pantainya yang aduhai dipadu dengan kondisi alam yang eksotik, menjadi daya tarik bagi mereka yang datang. Keindahkan alam itu, kemudian dipadu dengan beragam adat istiadat yang budaya masyarakatnya. Imaji bakal tercipta dan diejawantahkan melalui tulisan dan rekam gambar. Eiittt...tidak hanya itu. Sejatinya yang lebih misteri dan mengguncang hati adalah ketika berziarah ke masa lampau, lewat wisata Tambora. (Lilik Darmawan)




Referensi


1. Harian Kompas
2. Majalah NGI
3. Majalah Ilmiah Populer: EKSPEDISI GEOGRAFI INDONESIA 2010 NUSA TENGGARA BARAT – BAKOSURTANAL





Tidak ada komentar: