Rabu, 30 Maret 2011

Batu Le Sang du Christ dari Purbalingga




Mengagetkan. Ternyata, setelah dilakukan penelusuran di daerah aliran

sungai (DAS) Sungai Klawing di sekitar Kecamatan Bobotsari, Purbalingga,

Jawa Tengah (Jateng) ternyata menemukan berbagai jenis batu mulia.

Bagi warga setempat, batu-batu yang ditemukan mahasiswa itu biasa saja,

mereka menyebutnya sebagai Nogo Sui. Namun, setelah diteliti lebih

mendalam oleh pakar batu mulia, Nogo Sui adalah batu yang dikenal di

Perancis dengan nama Le sang du Christ atau batu darah Kristus.

Batu itulah yang juga disebut sebagai Heliotrope yang biasanya digunakan

untuk mempelajari pergerakan matahari. Dalam dunia batu mulia, batu

tersebut juga biasa disebut Blood Jasper. Batu itu berwarna hijau dengan

bintik-bintik kemerahan. Selain itu, juga ada batu mulia yang disebut

dengan Jasper Kalsedon yang berwarna kemerahan.

Batu-batu mulia itu tidak hanya ditemukan di DAS Klawing, namun juga

berada di sawah-sawah. Misalnya di Desa Dagan, Kecamatan Bobotsari. “Kalau

cuma batu seperti itu, di sini sangat banyak. Saya juga tidak tahu kalau

itu ternyata batu mulia,”kata Darsun, 46, penduduk setempat.

Namun, bagi Sudjatmiko, Sekretaris Jenderal Masyarakat Batu Mulia

Indonesia, penemuan itu amat berarti. Karena ternyata selain batu-batu

yang ditemukan di sekitar DAS Klawing tidak sekadar sebagai batu mulia

yang tentu bernilai ekonomis tinggi. Tetapi lebih dari itu, batu-batu

mulia yang ditemukan tersebut mencerminkan peradaban manusia zaman purba.

Sebab, batu-batu mulia yang warnanya menyejukkan itu tidak hanya berbentuk

alamiah, namun telah ada yang dimodifikasi. Sehingga, sebagian di

antaranya memang sudah merupakan artefak.

Sudjatmiko yang juga dosen tamu Institut Teknologi Bandung (ITB) dan dosen

luar biasa Geologi Unsoed Purwokerto menyatakan setelah mengambil sampel,

ternyata ada batu-batu yang terpotong. Setelah diteliti lebih lanjut,

Sudjatmiko menemukan kemiripan satu sama lainnya. Bentuk yang terbanyak

seperti kapak perimbas atau disebut chopper dan kapak penetak atau

chopping.

Ekskursi lapangan ke kawasan DAS Klawing dan beberapa tempat di

sekitarnya, ternyata juga menemukan serpihan batu-batu kecil dan sisa-sisa

gelang yang diperkirakan dari budaya Neolithikum. Bahkan, kalau dilihat

dari bentuk kapak perimbas dan penetak yang begitu sederhana, kemungkinan

dari budaya Paleotilikum.

Contoh-contoh peralatan zaman Neolithikum yang biasa disebut zaman batu

muda sebetulnya peralatannya sudah cukup sempurna karena sudah diasah,

sehingga terlihat indah. Dari budayanya, mereka sudah tinggal dan bercocok

tanam. Bukti peralatan pada masa itu telah diperoleh di sejumlah tempat di

Indonesia, misalnya kapak persegi di Bogor serta ada juga gelang dan

cinton yang tersebar di beberapa daerah di Jawa.

Namun, bagi Sudjatmiko, yang lebih mengherankan adalah, kenapa peralatan

batu manusia prasejarah itu sangat banyak. “Jika itu karena proses erosi

dan pelapukan, rasanya tidak mungkin sampai menghasilkan produk gravels

yang beberapa bagiannya terpangkas sempurna,”ujar Sudjatmiko.

Dari beberapa penemuan itu, Sudjatmiko mengatakan kalau di wilayah

Purbalingga merupakan “pusat industri” peralatan zaman prasejarah. “Bisa

dibayangkan, batu-batu yang bisa disebut artefak karena telah dimodifikasi

itu juga ditemukan di sawah-sawah. Para mahasiswa menemukan tersebar di

berbagai tempat. Apakah mungkin, begitu banyak peralatan perdaban saat itu

hanya dipakai sendiri, atau sudah di sini merupakan bengkelnya dan

didistribusikan ke daerah lainnya. Barangkali ada hubungannya, ketika ada

penemuan peralatan semacam itu di Kebumen, sedangkan di tempat itu tidak

ada batu yang seperti ditemukan di Purbalingga,”jelasnya.

Dalam penelusuran lainnya, mereka juga menemukan adanya sisa pembuatan

gelang yang biasa dipakai oleh manusia purba. Sejumlah batu yang merupakan

buangan dari gelang manusia purba tidak dalam kedalaman tanah, melainkan

teronggok begitu saja di sawah-sawah dan sungai. “Dengan adanya penemuan

limbah gelang itu, sangat mungkin kalau di sini dulunya merupakan industri

batu zaman purba. Karena jumlahnya memang sangat banyak,”katanya.

Bukti-bukti peradaban prasejarah yang ada di Purbalingga tidak hanya itu.

Di beberapa tempat, misalnya, di Desa Dagan dan Limbasari, Kecamatan

Bobotsari, ditemukan sejumlah bukti zaman megalithikum atau disebut zaman

batu besar. Di antaranya yang sampai sekarang dipelihara oleh penduduk

setempat adalah Menhir. Salah satu Menhir berada di pelataran rumah Midun,

42. “Saya sudah lama mengurus Menhir yang berada di tempat ini. Ada juga

beberapa Menhir yang berada di tempat lainnya,”ujarnya.

Dalam beberapa riset, salah satunya oleh Arkeolog Nurul Laili menyebutkan,

kalau di Purbalingga ditemukan setidaknya 15 situs perbengkelan batu

prasejarah yang tersebar di Sungai Klawing dan anak-anak sungainya.

Dosen Jurusan Geologi Unsoed Purwokerto Siswandi mengatakan bahwa penemuan

berbagai batu-batuan yang berserakan di DAS Klawing dan sekitarnya di

Purbalingga memang membuat mata terbelalak. “Namun, ini kan baru penemuan

batu saja. Sehingga para arkeolog bisa menindaklanjutinya. Karena tidak

mungkin kami tahu, zona utamanya sebetulnya di mana. Di sinilah peran para

arkeolog untuk memetakannya. Apalagi sebetulnya sudah banyak riset yang

digelar oleh arkeolog,”ujarnya.

Sudjatmiko menjelaskan pihaknya baru menggagas pertemuan antara para

arkeolog dengan para geolog untuk saling sharring untuk menindaklajuti

penemuan “harta karun” tersebut.(liliek dharmawan)

1 komentar:

Akik Klawing mengatakan...

Mantep bos artikele, kiye pamer koleksi akik klawing mbok pada minat... http://akikklawing.com/