Senin, 07 Maret 2011

Anak-anak Berambut Gimbal dari Dataran Tinggi Dieng



SIANG hari, sekitar jam 11.00 WIB. Sinar matahari tidak kelihatan karena tertutup awan dan kabut tebal. Sejumlah anak-anak kecil yang umumnya memakai jaket lalu lalang dan berlari-lari di sekitar Kompleks Candi Arjuna di dataran tinggi Dieng, Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah (Jateng) pada ketinggian 2.093 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Keriuhan terjadi manakala orang-orang yang ada di tempat itu melihat Muhammad Alfarizi Massaid yang kini berusia 8 tahun. Rizi-demikian panggilan akrabnya-bak artis sinetron yang tengah naik daun. Ia sangat terkenal karena gaya rambutnya. Rambut milik Rizi hampir sama dengan almarhum Mbah Surip atau Bob Marley. Rambutnya gimbal atau pada kalangan penggemar musik reggae yang identik dengan gaya rambut itu menyebutnya “dreadlocks”.

Rambut anak kelas tiga sekolah dasar di Desa Patakbanteng, Kecamatan Kejajar, Wonosobo memang diurai panjang. Sekolahnya tidak melarang, karena rambut gimbal yang dipelihara oleh Rizi tidaklah seperti Bob Marley atau Mbah Surip. Kedua musisi reggae sengaja membuat gaya rambutnya “dreadlocks”, namun rambut Rizi tumbuh gimbal dengan sendirinya.

Memang sebuah fenomena. Bahkan, orang tuanya Rizi pun tidak pernah tahu kalau anak sulungnya itu kemudian berambut gimbal setelah menginjak pada usia 2 tahun. “Sejak lahir sampai umur 2 tahun, rambut Rizi biasa-biasa saja. Tetapi pada umur 2 tahun, rambutnya mulai menjadi gimbal. Prosesnya cukup panjang untuk menjadi gimbal seperti ini,”kata Ahmad Said, 32, ayah Rizi sambil memperlihatkan rambut gimbal anaknya.

Awalnya, kata Said, dirinya juga tidak tahu kalau anaknya akan tumbuh rambut gimbal. Sebab, ketika Rizi menginjak usia 2 tahun, ia tiba-tiba mengalami panas tinggi disertai kejang-kejang. “Waktu itu, saya dan isteri panik. Pergi ke dokter puskesmas dan telah diberi obat. Ternyata panasnya tidak turun dan masih tetap mengalami kejang. Bahkan, kami sempat ke Kota Wonosobo untuk mencari dokter spesialis anak. Hasilnya sama saja,”jelasnya.

Yang mengherankan, lanjutnya, setiap kali badannya panas dan malam harinya kejang-kejang, keesokan harinya rambut mulai menggimbal. Begitu seterusnya. “Kira-kira untuk membuat rambut Rizi menjadi gimbal seperti ini membutuhkan waktu setahun. Waktunya memang panjang, tetapi setelah mengetahui dari para tetua di sini kalau Rizi rambutnya akan gimbal, saya tidak lagi membawanya ke dokter. Dan sekarang sudah tidak lagi panas atau kejang-kejang karena seluruhnya telah tumbuh,”kata Said.

Menurut Said, perkembangan psikologisnya sama dengan anak-anak lainnya. Malah cenderung atraktif dan pemberani. “Lihat saja, meski banyak orang datang mengerubutinya, tetapi dia tidak malu sama sekali. Bahkan, ia juga tampil berani waktu ada beberapa stasiun televisi swasta mengajaknya membuat acara,”ujar Said bangga.

Benar, polah tingkah Rizi memang cukup atraktif. Ia sama sekali tidak malu kalau ada orang menggendongnya. Bahkan, ia juga bergaya ketika diajak berfoto bersama. Diakui Said, baik di rumah, sekolah ataupun saat main, Rizi selalu tampil ceria. Dia juga tidak rendah diri memiliki rambut gimbal alami tersebut. Malah ketika orang tuanya ingin memotongnya, Rizi mengatakan,”Kalau dipotong, nanti tidak gaul.”

Tidak hanya Rizi yang mengalami fenomena gimbal seperti itu. Tetapi ratusan bahkan ribuan anak pernah mengalaminya. Sebab, hampir setiap tahun pasti ada anak yang rambutnya menjadi gimbal.

Pengalaman lain juga dialami oleh Wahyono, 30, karena anaknya, Ahmad Rizal Lutfi, 3,5, rambutnya juga gimbal. Hanya saja, gimbalnya tidak seperti Rizi. Rambut gimbalnya hanya terpusat di tengah kepala saja. Sehingga rambut lainnya masih bisa disisir. “Kalau kami coba-coba menyisir rambut yang gimbal tersebut, dipastikan akan akan sakit panas. Saya juga tidak tahu kenapa bisa seperti ini,”kata Wahyono.

Permintaan

Lalu apakah rambut gimbal akan dipelihara sampai dewasa? Sejauh ini, belum pernah ada penduduk yang membiarkan anaknya berambut gimbal sampai usia dewasa. Biasanya, sebelum lulus SD, rambutnya sudah dipotong. Namun demikian, pemotongan rambut gimbal tersebut membutuhkan prosesi khusus dan harus memenuhi permintaan anak tersebut. Satu hal yang paling penting, kesanggupan anak. Jika tidak mau, maka tidak diperbolehkan.

Lutfi yang merupakan anak Wahyono, misalnya, meminta sepasang ayam untuk dipelihara. “Jadi, sebelum nanti dipotong rambutnya, saya harus membeli sepasang ayam. Karena dia sudah minta dua ayam untuk dipelihara dan harus dikabulkan,”ujarnya.

Permintaannya dari anak-anak berambut gimbal bermacam-macam. Bahkan, kadang-kadang membuat orang-orang dewasa geleng-geleng kepala atau tertawa. Misalnya saja, ada anak yang minta bakso sebanyak 100 buah. Ada pula yang mengajukan permintaan tempe gembus sebanyak 100 buah.Ada juga yang cukup membuat orang tua harus menambung dahulu, karena anak meminta sapi.

Rizi yang berambut gimbal penuh itu juga memiliki permintaan khusus. Anak dari Said tersebut meminta pagelaran seni Barongsai dan Reog. Sebuah permintaan yang membutuhkan waktu bagi orang tuanya untuk mengumpulkan uang terlebih dahulu. “Saya masih harus menabung terlebih dahulu, karena untuk menanggap pementasan Barongsai dan Reong membutuhkan uang yang tidak sedikit. Apalagi, Rizi juga belum mau dipotong rambutnya. Jadi masih ada waktu bagi kami, orangtuanya, untuk mencari uang demi permintaan Rizi,”lanjutnya.

Tetua adat di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Mbah Naryono, 60, mengungkapkan sejak awal ia menjadi yang dipercaya untuk memimpin ruwatan dan pemotongan rambut gimbal, baru menemukan satu anak yang istimewa yakni Rizi. “Dia merupakan anak yang istimewa, karena seluruh rambutnya menjadi gimbal. Biasanya, anak yang berambut gimbal hanya sebagian saja,”ujar Naryono.

Menurut Naryono yang dulunya juga merupakan anak berambut gimbal, fenomena rambut gimbal hanya terjadi pada penduduk di lereng empat gunung. Yakni Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Prahu dan Gunung Rogojembangan. Dua gunung di antaranya yakni Prahu dan Rogojembangan berada di dataran tinggi Dieng. Keempat gunung itu masuk dalam empat wilayah administratif kabupaten yakni Banjarnegara, Wonosobo, Batang dan Kendal.

Dari cerita turun temurun di wilayah empat gunung itu, sampai kapan pun fenomena rambut gimbal pasti bakal terjadi. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, anak-anak yang rambutnya gimbal merupakan titipan Anak Bajang dari Samudra Kidul. Mereka merupakan titisan dari Eyang Agung Kolotede bagi anak laki-laki dan perempuan merupakan titisan dari Nini Dewi Roro Ronce. “Kalau ingin menghilangkan rambut gimbal harus diruwat. Mereka diminta untuk mengajukan permintaan dan harus dipenuhi oleh keluarganya. Setelah dipenuhi, mereka baru dipotong rambutnya dan rambut gimbal tidak tumbuh lagi,”ujarnya.

Jadi Wisata Budaya

Prosesi pemotongan rambut gimbal di dataran tinggi Dieng mulai dijadikan wisata budaya, karena prosesinya memang unik. “Tahun ini, ada delapan anak yang rambut gimbalnya dipotong. Delapan anak tersebut merupakan anak-anak di sekitar Dieng,”ujar Kelompok Sadar Wisata (Pokdawis) Dieng Pandhawa Banjarnegara Ali Faozi, kemarin.

Mereka sengaja dikumpulkan untuk diruwat. Permintaan mereka beragam. Misalnya ada yang minta memelihara ayam, telur sebanyak 100 butir, kepala ayam sebanyak 100 biji, kemudian ada pula yang minta tempe gembus. “Kami memenuhi permintaan mereka, apalagi mereka rata-rata berasal dari keluarga tidak mampu,”tambah Ali.

Prosesi dilaksanakan pada Sabtu (10/7) hingga kemarin. Pada Sabtu, tetua adat berziarah ke makam-makam yang berada di Komplek Candi Arjuna, Dieng. Dengan dipimpin oleh Mbah Naryono, mereka mengunjungi satu per satu makam yang berada di dalam candi untuk mengadakan ritual. Selain itu juga mengunjungi sejumlah tempat lain di antaranya adalah Sendang Maerokoco, telaga Balekambang dan Kawah Candradimuka.

Kemudian kemarin, anak-anak yang berambut gimbal diarak mulai dari sesepuh adat, kemudian mampir sebentar ke Sendang Maerokoco dan Sedang Sedayu. Di sendang yang berada di Komplek Candi Arjuna tersebut, anak-anak gembel dimandikan atau disebut dengan jamasan. Air yang dipakai diambil dari Sendang Maerokoco ditambah dengan air dari mata air Bima Lukar, Sendang Buana, Kencen dan lainnya. Yang jelas, air yang dipakai untuk jamasan berasal dari tujuh sumber mata air. Makna diambilnya air dari tujuh mata air. Dalam bahasa Jawa, tujuh disebut “pitu” atau dapat diartikan “pituduh” yang berarti pelajaran dari Yang Maha Kuasa.

Usai jamasan, dilangsungkan pemotongan rambut gimbal anak-anak yang diruwat. Baru setelah itu, makan bersama dari seluruh “ubo rampe” yang telah tersedia di tempat itu. Rambut gimbal yang telah dipotong kemudian dilarung ke Sungai Tulis yang alirannya mengalir hingga Samudra Kidul atau Samudra Indonesia.

Ali Faozi menambahkan bahwa ruwatan yang digelar tahun ini sengaja dilangsungkan berbarengan delapan anak sebagai salah satu daya tarik wisata. “Jadi, wisata ke Dieng tidak hanya menikmati Candi, telaga, dan kawah saja. Tetapi juga dapat menyaksikan bagaimana ritual pemotongan rambut gimbal anak-anak di sekitar Dieng,”kata Ali. (liliek dharmawan)


Tidak ada komentar: