Senin, 08 April 2013

Perintis Pendidikan di Kampung Laut




 
Usianya telah menginjak 48 tahun. Tetapi langkah kakinya yang hanya beralaskan sandal jepit masih cepat melewati jalanan tanah yang becek dengan lebar 1 meter. Di kanan kiri jalan merupakan air payau yang ditumbuhi hutan mangrove. Ia menjinjing tas berisi alat tulis-menulis. Tak lupa, perempuan itu juga membawa payung kalau sewaktu-waktu hujan. Sebab, perjalanannya cukup jauh, sekitar 7 kilometer (km) dari rumahnya menuju sebuah SD filial di Dusun Pesuruhan, Desa Ujung Alang, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap, Jawa Tengah (Jateng) yang masih menumpang di rumah penduduk.


Saban hari sekitar jam 05.00 WIB, perempuan bernama Wartati itu sudah bangun dan menyiapkan sarapan. Dia berangkat dari rumahnya jam 06.00 maksimal pukul 06.30 WIB agar tidak terlambat sampai sekolahnya. “Di sini daerah terpencil, lingkungannya laguna Segara Anakan, sehingga tidak ada ojek apalagi angkutan umum. Untuk mengajar ke SD Negeri Ujung Alang 01, saya harus jalan kaki. Jika kondisi tidak memungkinkan, biasanya naik perahu. Sewa perahu mahal, sekali jalan Rp20 ribu,”kata Wartati.


Sebagai sebuah daerah terpencil yang dikelilingi laguna dan laut, memang hanya ada dua moda transportasi, motor dan perahu compreng. Wartati tidak memilih keduanya. Jalan kaki menjadi pilihannya. Pertimbangannya sederhana, jika naik perahu compreng, maka honor inti bulannya hanya cukup untuk 10 kali ke sekolah.Perahu compreng dipilih saat hujan deras turun. “Kalau hujan deras pada pagi hari atau siang, jalan kaki terlalu berisiko.  Kondisi jalan terlalu licin apalagi kalau datang rob ada beberapa titik jalanan yang terendam air,”ujarnya.


Wartati memulai kiprahnya di Kampung Laut berawal setelah lulus dari Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA). Dia bersama suaminya menetap di Ujung Alang tahun 1984. Waktu itu, suaminya menjadi petugas penyuluh lapangan (PPL) pertanian. Pada awal menetap di tempat tersebut, ia kaget karena meski berada di Kabupaten Cilacap, tetapi Kampung Laut daerahnya terpencil dan sulit dijangkau. Bisa dimaklumi sebab wilayah setempat merupakan daratan bentukan dari hasil sedimentasi di Segara Anakan. Kini, desa tersebut telah menyatu dengan Pulau Nusakambangan. Untuk sampai ke Kampung Laut kalau dari Cilacap, satu-satunya akses hanyalah dengan menggunakan perahu compreng dengan waktu tempuh 2  jam perjalanan.


Meski di lokasi terpencil, mau tidak mau harus betah, karena suaminya ditugaskan di tempat itu, mau tidak mau ia harus tetap bertahan dan berusaha betah. Tahun demi tahun berganti, tidak terasa 5 tahun Wartati telah tinggal di kawasan itu. Anaknya juga mulai besar dan seharusnya bersekolah di Taman Kanak-kanak (TK). Ironisnya, di sekitar itu tidak ada sekolahan. Kalau akan dititipkan kepada orang tuanya atau sekolah di Cilacap rasanya tidak mungkin. Terlalu repot.


Sebagai jalan keluarnya agar anaknya bersama anak-anak lain yang sebaya bisa bersekolah, maka dia memberanikan diri untuk terjun dalam dunia pendidikan. Apalagi ketika itu, di desa setempat  lulusan tingkat SMA hanya dirinya dan suaminya. Tekadnya membuka TK dan menjadi pengajar anak-anak direspons oleh Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial (YBKS) Surakarta. Yayasan tersebut memberikan beasiswa untuk mengikuti kursus pengajaran tingkat TK.


Berbekal pengetahuan itulah, dia kemudian membuka TK di Desa Ujung Alang. Siswanya adalah anak-anak usia sekitar 5-6 tahun di desa setempat. Dia juga harus merelakan sebagian rumahnya untuk menjadi TK. Ternyata, inisiatif yang dilakukan Wartati mendapat sambutan hangat dari masyarakat setempat. Atas kepercayaan itu, memotivasinya untuk serius mengajar.  Bahkan, setelah berjalan dan siswa harus melanjutkan ke SD, Wartati diminta warga agar membuka SD. “Saya kemudian konsultasi dengan Dinas Pendidikan Cilacap, apakah memungkinkan membuat SD rintisan untuk daerah ini, ternyata jawabannya membuat saya lega. Dinas mengizinkan,”kata perempuan yang lahir 16 Mei tersebut.


Lokasi sekolah tetap rumahnya, jadi yang dulunya TK kini berubah menjadi SD. Sarana belajar seperti mendapat bantuan dari YBKS. Siswanya cukup banyak, ada 48 anak. Awalnya, para siswa mengikuti pelajaran dengan duduk lesehan. “Beruntung kemudian, Pemkab Cilacap mulai membangun sekolah tahun 2001 di Ujung Alang tidak jauh dari rumah saya,”kisahnya.


Selama empat tahun, ia mengajar sendirian. Caranya, waktunya yang dibedakan. Untuk kelas 1 dan 2 jadwal pelajarannya jam 08.00 hingga jam 10.00 WIB, kemudian disusul kelas 3 dimulai jam 10.00 hingga jam 12.30 WIB. “Seluruh mata pelajaran dan seluruh siswa, saya yang mengajar. Apa boleh buat, karena memang tidak ada guru lainnya,”katanya.


Tahun 2005/2006, SD Negeri 01 Ujung Alang tempat ia mengajar dipindahkan ke Dusun Pesuruhan yang lokasinya sekitar 7 km dari rumahnya. Sebab, di daerah setempat banyak anak-anak yang akan bersekolah, tetapi harus ke Motehan atau ke Lempong Pucung. “Sedangkan gedung SD yang dekat dengan rumah saya dijadikan SD Negeri 03 Ujung Alang. Karena saya memang sudah telanjur mengajar di SD 01, maka ketika pindah, saya juga ikut pindah mengajarnya. Mulailah saya berjalan kaki kalau ke sekolah. Lebih baik saya yang jalan kaki daripada siswa yang harus jalan dari Pesuruhan hingga sekarang,”ujarnya.


Sebagai SD filial, SD Negeri 01 Ujung Alang hingga sekarang menumpang di rumah penduduk yang berukuran sekitar 5 x 10 meter. Karena gedung sekolah belum dibangun. Di sekolah setempat, kini hanya ada dua kelas yakni kelas 1 dan 2 dengan pengajar dua orang. Kondisi serba terbatas tidak menyurutkan siswa tetap untuk bersekolah. Motivasi siswa itulah yang juga memompa semangat bagi Wartati untuk mengabdikan dirinya sebagai guru sekolah.  Walaupun hingga kini statusnya tetap sama. Sebagai guru honorer dan non sertifikasi.


Honor Pas pasan


Wartati sadar kalau pendidikannya menjadi salah satu ganjalan untuk menjangkau karir sebagai guru. Misalnya diangkat menjadi PNS atau mendapat tunjangan sertifikasi. Tetapi kecintaannya pada dunia pendidikan membuat angan-angan muluk dibuangnya jauh-jauh.


“Saya kan hanya lulusan SPMA, jadi wajar saja kalau hanya sebagai guru honorer. Pendapatan sebagai guru honorer lumayan, Rp200 ribu per bulan. Tetapi setiap tiga bulan ada insentif dari pemkab dan pemprov. Biasanya per tiga bulan dari pemkab tambahannya Rp1,4 juta dan dari Pemprov Jateng Rp950 ribu. Kalau dirata-rata per bulan sekitar Rp950 ribu,”jelasnya.


Bagi Wartati, honor pas pasan tidak menjadi masalah, meski dia menjadi perintis pendidikan di Lempong Pucung. Bagi Wartati keterpanggilan mencerdaskan anak-anak di daerah terpencil menjadi tujuan utamanya. “Anak-anak di sini juga berhak mendapat pengajaran agar tidak ketinggalan dengan anak-anak yang ada di kota atau wilayah yang gampang dijangkau,”kata ibu dua anak tersebut.


Konsistensi dalam dunia pendidikan juga tampak pada kerelaannya menjadikan rumah pribadinya untuk tempat sekolah dari dulu hingga sekarang. “Saat ini, rumah saya digunakan tempat pendidikan anak usia dini (PAUD) bagi anak-anak di dusun ini. Makanya, di depan rumah ada tempat bermain. Meski sangat minim fasilitas, tetapi setidaknya anak-anak balita mulai diberi pendidikan. Pokoknya, jangan sampai mereka tidak mengenyam pendidikan, karena dengan bekal pendidikan, masa depan mereka bakal lebih baik,”tandasnya.(liliek dharmawan)




Tidak ada komentar: