Minggu, 14 April 2013

Negara tak Hadir untuk Tasripin dan Ketiga Adiknya...




Sore Tugu Pancoran. Iwan Fals merekam seorang anak kecil bernama Budi yang kuyup menggigil. Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu, anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu, dipaksa pecahkan karang, lemas jarimu terkepal.

Tahun berganti, kisah Budi di Tugu Pancoran kini seakan kembali pada diri Tasripin, 13, di Dusun Pesawahan, Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng). Dusunnya terpencil karena merupakan daerah paling terakhir di lereng sebelah barat daya Gunung Slamet. Jalannya hanya berupa tumpukan batu melewati hutan serta menanjak.

Sama dengan Budi, Tasripan, kini tak sempat nikmati waktu, demi ketiga adiknya yang harus ia hidupi. Di saat anak usia sebayanya belajar dan bermain di sekolah, Tasripin harus berangkat ke sawah. Dia memang sudah drop out saat kelas tiga SD karena tidak sanggup membiayai. Bahkan, hingga kini ia masih menunggak biaya pendidikan di SD kisaran Rp50 ribu hingga Rp100 ribu.

Tasripin juga masih harus berfikir untuk mengembalikan utang ke warung milik tetangganya mencapai Rp60 ribu. “Tidak apa-apa, nanti kalau sudah ada kiriman dari bapak atau saya ada kerjaan, pasti akan dibayar. Pemilik warung juga baik kok, tahu kondisi kami. Beberapa hari lalu, saya ikut kerja memanen padi, tetapi bayarannya 22 kilogram (kg) gabah, bukan uang,”kata Tasripin dengan bahasa Jawa Banyumasan.

Tak hanya dia yang sudah tidak sekolah, kedua adiknya juga mengalami nasib serupa. Dandi, 7, dan Riyanti, 6, tidak lagi menimba ilmu di sekolah. Hanya adik ragil, Daryo, 4, yang kini masih menjadi siswa PAUD di Dusun Pesawahan, tempat tinggalnya. Riyanti sebetulnya sempat masuk PAUD, tetapii lantaran diejek teman-temannya karena gatal-gatal di kepalanya, ia akhirnya mogok sekolah. Bahkan, sampai sekarang ia menggunakan jilbab penutup kepala dan tidak mau melepaskan.

Keempat bocah itu tinggal di sebuah rumah berpapan kayu dengan ukuran 5 x 6 meter (m). Hanya ada tiga ruangan, ruang tamu dengan kursi dan meja kayu lusuh, serta kamar tidur dengan satu dipan yang ditiduri mereka berempat, serta dapur. Mereka adalah anak-anak yang hidup tanpa orang tua. Ayahnya, Kuswito, 41, bersama kakak sulungnya, Natim, 21, telah berangkat kerja di perkebunan kelapa sawit di Kalimantan sejak setengah tahun lalu. Ibunya, Satinah meninggal dua tahun silam dengan usia 37 tahun karena mengalami kecelakaan tertimpa batu saat menjadi buruh penambang pasir.

“Saya sebetulnya mau sekolah, meski sudah ketinggalan dengan teman-teman lain. Namun, kalau saya sekolah, adik-adik saya nanti makan apa? Sehingga saya setiap berusaha bekerja serabutan. Kadang menunggu sawah dan diminta orang untuk menggilingkan padi. Biasanya kalau giling padi, saya ,memanggul  gabah seberat 15-20 kg dengan jalan menanjak sepanjang 1 km. Untuk menunggu sawah selama sepekan, saya diberi Rp50 ribu, kalau menggilingkan gabah paling Rp10 ribu hingga Rp20 ribu,”kata Tasripin yang didampingi ketiga adiknya.

Selama ini, kata Tasripin, bapaknya juga mengirimkan uang untuk mereka berempat. Rata-rata kirimannya Rp500 ribu hingga Rp600 ribu. “Kalau kiriman datang, langsung untuk membayar utang. Untungnya ada warung yang mau memberikan pinjaman dulu. Biasanya beras sama bumbu. Beras sepekan butuh sekitar 15 kg untuk makan dua kali sehari. Kalau uang ada, biasanya pakai sayuran. Jika tidak hanya nasi campur garam,”ungkap Tasripin yang mengenakan baju batik lusuh berikut celana yang sudah sobek.

Tasripin mengungkapkan, selain harus kerja, setiap hari dia juga harus bangun pagi. Tugas utamanya adalah memasak nasi untuk sarapan. Setelah itu, memandikan Daryo, adiknya paling kecil untuk berangkat ke PAUD. “Kalau malam biasanya ada yang rewel, bahkan menangis. Apalagi, setelah ibu meninggal dan bapak berangkat kerja ke Kalimantan. Saat ini sudah agak lumayan, tidak seperti awal-awal bapak pergi,”ungkap dia.

Tangisan pada malam-malam semacam itu, justru membuat pilu tetangganya. “Kasihan sekali mereka, masih kecil-kecil sudah harus hidup sendiri. Kadang kami trenyuh, apalagi kalau tengah malam,”ungkap tetangga  dekatnya Salimudin, 48.

Keluarga Salimudin yang membuka warung itulah yang mencukupi terlebih dahulu kebutuhan Tasripin dan adik-adiknya. “Ya, kadang mereka utang terlebih dahulu kalau kirimannya belum sampai. Ya, biasanya utang berkisar antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribu. Tidak apa-apa, kalau tidak diberi pinjaman dulu, mereka mau makan apa. Makanan terenak yang biasa mereka nikmati adalah masak mi instan dengan nasi. Jika sudah mulai kurang duitnya, memasak sayuran yang ada di sekitar rumah seperti daun singkong,”kata Salimudin.

Kisah Tasripin adalah potret buram kepedulian negara terhadap rakyatnya. Padahal, sejatinya negara telah diberi amanah untuk bertanggung jawab dan memelihara fakir miskin dan anak-anak telantar. Tetapi entah kenapa, negara tidak hadir di sana....(liliek dharmawan)

Tidak ada komentar: