Letak Desa Melung sekitar 15 kilometer (km) dari Purwokerto, ibu kota Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah (Jateng). Desa itu cukup terpencil. Berada pada ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut (mdpl) dan menjadi kampung paling ujung lereng sebelah selatan Gunung Slamet. Jalannya memang beraspal namun lebarnya hanya sekitar 2,5-3 meter (m). Hanya sesekali angkutan pedesaan (angkudes) yang lewat, sehingga kebanyakan warga memilih jalan kaki untuk menuju jalan besar kalau ingin ke kota. Jaringan telepon juga baru masuk di bagian paling depan wilayah kampung setempat.
Tetapi, kondisi geografis tidak membuat mereka gagap
teknologi. Bahkan, perangkat desa telah 8 tahun meninggalkan mesin ketik untuk
melayani warganya mengurus surat-surat. Pemerintahan desa setempat masuki era
komputerisasi. Ada lima komputer PC dan
dua laptop yang dipakai untuk melayani masyarakat yang dibeli mandiri.
Untuk mengurus surat-surat, warga tidak perlu lagi menulis
dengan tangan nama, tanggal lahir dan lainnya. Seluruh data telah masuk ke
dalam database komputer di desa
setempat. “Kalau ada yang ingin mengurus surat-surat, kami hanya minta
nomor KTP. Begitu dimasukkan akses nomor KTP, sudah akan muncul database, mulai
dari tanggal kelahiran, nama keluarga dan anak-anaknya. Karena program komputer di desa ini telah dirancang
khusus dengan berbasis data kartu
keluarga,”ungkap Kepala Desa (Kades) Melung Budi Satrio.
Tidak hanya program komputer untuk menunjang birokrasi desa
yang dikembangkan, tetapi sudah sampai pada teknologi informasi (TI). Seluruh komputer
yang ada di kantor desa setempat telah terkoneksi dengan internet. Sebetulnya,
jaringan telepon hanya sampai pada bagian depan desa. Namun, tak membuat
mereka kurang akal. Di rumah yang kebetulan adalah rumah kades,
dibuat alat agar jaringan internet bissa menjangkau kantor desa.
“Kalau saya sendiri yang memakai, tentu tidak ada gunanya
bagi desa. Makanya, kemudian dibelikan alat agar jaringannya bisa WiFi sehingga
dapat diakses oleh pengguna lainnya. Agar bisa diakses di kantor desa yang
jaraknya sekitar 0,5 kilometer (km), maka digunakan antena. Jaringan internet
itu juga ditembakkan ke SD Negeri Melung dan SMP Negeri 3 Kedungabanteng yang
letaknya sekitar 1 km dari rumah saya. Jadi, selain untuk keperluan desa,
jaringan internet juga dapat diakses dan menjadi pembelajaran bagi anak SD dan
SMP di kampung yang jauh dari kota,”ujar Budi.
Manfaatnya, lanjut Budi, mulai terasa. “Kami mulai mengenalkan
TI kepada perangkat desa. Sekarang hampir 95% sudah bisa menggunakan internet.
Mereka mengunduh berbagai pengetahuan khususnya yang terkait dengan pertanian
organik, karena warga di sini mengembangkan pertanian ramah lingkungan
tersebut. Selain itu, kami juga terus membarui lewat website yang telah kami
bikin. Dan masyarakat dapat mengakses segala bentuk informasi yang terkait
dengan Desa Melung. Jadi, warga yang berada di perantauan bisa mengikuti
perkembangan desa lewat dunia maya,”tambahnya.
Budi juga mengatakan tidak lagi menjadi “pencuri” perangkat
lunak, karena mereka menggunakan perangkat lunak terbuka atau “open source”. Kelebihan
dari “open source” salah satunya adalah tidak berbayar dan tidak lagi perlu
repot untuk membawa komputeryang rusak programnya ke kota. “Sebab, sebelum
menggunakan “open source”, setiap kali terkena virus atau rusak harus
di-install ulang yang berarti menempuh jarak 15 km. Tapi itu cerita lalu,
karena sekarang semua program bisa diakses secara pribadi dan cukup di sini
saja,”katanya.
Desa Kembar
Inisiatif penggunaan TI desa berbasis “open source” baru
sebagian diinisiasi oleh sejumlah desa. Selain Melung, desa lain yang menjadi
kembarannya adalah Desa Mandala Mekar, Kecamatan Jatiwaras, Tasikmalaya, Jawa
Barat. Secara geografis hampir sama, bahkan bisa dikatakan lebih sulit
aksesnya, karena harus melewati lekuk-lekuk jalan di pegunungan. Sebelum tahun
2010, warga yang ingin mengakses internet harus berjalan sejauh 30 km. Saat
sekarang sudah bisa di desa setempat, namun hanya di tempat-tempat tertentu
seperti areal persawahan. Namun jangan ditanya kalau soal TI, mereka sudah
mumpuni, bahkan secara rutin memperbarui
website resmi milik mereka.
Kepala Desa Mandalamekar, Yana Nopiadi, mengungkapkan TI
telah mejadikan desa mereka terkenal, bahkan di dunia internasional. “Satu
penghargaan internasional yang kami dapat adalah Seacologi Prize dari
California, AS tahun 2011 ini yang diraih oleh warga bernama Irman Meilandi.
Penghargaan itu adalah gerakan lingkungan menyelamatkan mata air yang
didokumentaasikan dan diunggah di dunia maya, sehingga orang AS pun
mengetahuinya. Kalau secara geografis desa kami sulit diitempuh, karena dari
Tasikmalaya ke desa kami membutuhkan 3-4 jam perjalanan, bahkan kalau hujan
bisa sampai 12 jam. Namun, ternyata dengan diitunjang TI, desa kami bisa
dikenal dan memperoleh penghargaan dari AS,”jelas Yana saat ditemui di
sela-sela pelatihan TI berbasis “open Soruce” untuk warga Desa Melung.
Dari sisi pembangunan, suara desa mulai didengar oleh
kabupaten. Salah satu dampak positifnya adalah pada tahun 2012 ini jalan yang
sudah rusak akan dibangun sepanjang 2,5 km berkat informasi dan usulan yang
diunggah melalui website. “Pengembangan ini juga menjadi inspirasi bagi
desa-desa lainnya di Tasikmalaya. Kami juga mampu memberi informasi mengenai
potensi-potensi di Desa Mandalamekar. Dengan adanya website itu juga memacu
kami untuk dapat menulis, meski sederhana,”tambahnya.
Kedua desa tersebut didampingi oleh BlankOn Jakarta yang
menyediakan perangkat lunak secara gratis. “Kami terus mendorong mereka untuk
memanfaatkan perangkat lunak yang gratis. Karena lebih irit, dan jangan sampai
menggunakan software bajakan sebagai bagian dari konsistensi ketaatan aturan.
Dengan adanya perangkat lunak gratis, maka sangat menghemat anggaran. Bayangkan
saja, satu PC misalnya untuk dapat meng-install lengkap program membutuhkan
dana tidak kurang dari Rp15 juta. Kalau memakai program “open source”, dana
tersebut bisa digunakan untuk keperluan lain yang lebih mendesak,”kata Direktur
Eksekutif BlankOn, Akhmat Safrudin.
Kedua desa ini mampu menunjukkan inisiasi dari bawah dengan
teknologi informasi hemat biaya. Secara geografis, kedua daerah berada di
pegunungan, tetapi tetap bisa menujukkan potensi dan prestasi desa lewat dunia
maya. (liliek dharmawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar