HUTAN Krangean bagi Dusun Pesawahan, Desa Gununglurah,
Kecamatan Cilongok, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) sebuah daerah yang keramat.
Sudah ratusan tahun silam, masyarakat di tempat itu benar-benar menjaga hutan.
Jangankan menebang, untuk masuk ke hutan setempat harus seizin dari tetua adat
dusun tersebut.
Secara kultural, mengeramatkan daerah itu bukanlah sesuatu
hal yang menyimpang, justru sebaliknya menjadi kearifan lokal yang dilestarikan
sejak ratusan silam. Karena memang Krangean merupakan bagian tak terpisahkan
bagi mereka. Krangean merupakan sumber mata air yang tak pernah habis, bahkan
saat puncak kemarau. Airnya bening mengalir dan menyejukkan daerah itu.
Di kawasan hutan Krangean, ada lima titik mata air alami.
Tiga di antaranya dinamakan Mengaji, satu mata air diberi nama Sangkalputung
dan yang terbesar adalah Krangean. Kelima mata air itu tidak hanya memberikan pasokan untuk kebutuhan air
minum di rumah-rumah warga. Aliran airnya juga dimanfaatkan warga untuk
mengairi sawah. Bahkan, digunakan sebagai energi listrik melalui pembangkit
mikorhidro.
Sumber mata air itu debitnya tetap tinggi karena lingkungan
sekitarnya yang merupakan hutan lindung tetap tepelihara dengan baik. Pepohonan
besar seperti jenis Ingas dan Taon dengan keliling 2-4 meter tetap dijaga
supaya tidak ditebang oleh penduduk lokal maupun warga di luar dusun setempat.
“Masyarakat di sini memang mengeramatkan daerah Krangean. Jangankan menebang
pohon, untuk masuk ke daerah sumber mata air itu saja harus meminta izin,”jelas
tetua masyarakat setempat Ali Sahudin.
Masyarakat setempat bersepakat, kalau keberadaan hutan
Krangean harus terus dipelihara. Pemeliharaannya sederhana. Hanya menjaga agar
hutan tetap lestari, tidak ada penebangan. Bahkan, masyarakat setempat kalau
mencari kayu bakar tidak akan berani sampai ke daerah “keramat” tersebut.
Mereka memilih untuk mencari kayu bakar di lokasi lainnya.
“Masyarakat sadar, kalau hutan rusak, maka segalanya bakal
hancur. Hutan yang rusak, dipastikan akan membuat mata air jadi mengering. Jika
mata air mengering, jelas masyarakat bakal kesulitan air bersih. Selain itu,
dipastikan juga listrik tidak akan menyala. Sawah-sawah juga tidak dapat
menghasilkan padi. Kami tidak bisa membayangkan kalau itu terjadi,”katanya.
Jauh sebelum pemerintah membangun pembangkit listrik tenaga
mikrohidro (PLTMH) tahun 2010 lalu dengan kapasitas 25 kilowatt (KW), mereka
sebetulnya telah mampu memanfaatkan aliran Sungai Mengaji untuk menggerakan
turbin. “Puluhan tahun lalu, kami menikmati listrtik dari turbin-turbin kayu
yang dibuat masyarakat. Bahkan, sampai sekarang, masih ada warga yang
memanfaatkannya untuk menambah pasokan listrik sendiri,”jelas Kepala Dusun
Sawahan Warsito.
Ide itu muncul ketika itu, karena jaringan listrik PLN tidak
sampai ke wilayah setempat. Sebab, daerah itu memang agak sulit lokasinya,
karena berada di pegunungan dengan jalanan menanjak. Jadi di sepanjang aliran
Sungai Mengaji, berjajar turbin-turbin dari kayu. Saat sekarang memang tidak
sebanyak dulu, setelah PLTMH yang juga memanfaatkan aliran Sungai Mengaji
dibangun oleh pemerintah.
Warga setempat juga tidak egois, karena masyarakat setempat
berusaha agar aliran air dari dusun setempat turun ke bawah agar banyak daerah
yang teraliri. Sebab, aliran air dari sungai di desa tersebut dimanfaatkan oleh
petani di wilayah bawah Dusun Pesawahan. Ada ratusan bahkan ribuan hektare (ha)
sawah yang menggantungkan air dari Sungai Mengaji. “Karena itulah, masyarakat
di sini juga berusaha untuk terus mengalirkan air ke wilayah bawah. Jangan
sampai petani mengeluh karena air tidak ada,”jelas Warsito.
Kearifan lokal yang tetap dipertahankan oleh warga Dusun
Pesawahan sesungguhnya sangat penting bagi penyelamatan lingkungan. Meski mereka
hanya berpatokan pada kearifan lokal yang dilestarikan turun temurun. Kegiatan
menjaga hutan di wilayah itu menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan untuk
mengurangi pemanasan global. Hutan tropis yang bagus tentu akan menjadi benteng
yang kokoh penyerap karbon.
Di sisi lain, dengan menyelamatkan lingkungan, warga
setempat juga menuai energi terbarukan yang digadang-gadang oleh masyarakat
dunia sebagai energi masa depan. Sebab, energi terbarukan dengan memanfaatkan
aliran Sungai Mengaji tidak menghasilkan produk limbah pemanasan global. Sebuah
aksi tersembunyi yang barangkali masyarakat setempat juga tidak menyadari.
Inilah gerakan-gerakan yang bisa menjadi inspirasi
masyarakat dunia, hanya dengan mempertahankan kearifan lokal. Mereka telah
membangun masa depan dunia, dengan aksi lokal sederhana. Langkah-langlah
semacam ini, juga diinisiasi oleh lembaga-lembaga non pemerintah seperti halnya
Oxfam. Oxfam adalah konfederasi Internasional dari tujuh belas organisasi yang
bekerja bersama di 92 negara sebagai bagian dari sebuah gerakan global untuk
perubahan, membangun masa depan yang bebas dari ketidakadilan akibat
kemiskinan.
Langkah Oxfam seiring dengan upaya penyelamatan lingkungan
yang dilaksanakan oleh warga Pesawahan. Kearifan mereka tidak saja mampu
menghasilkan energi terbarukan yang secara otomatis mampu menekan konsumsi
energi fosil yang kian menipis. Dari lingkungan yang masih dipertahankan
tersebut, mereka juga tetap bisa mencukupi kebutuhan pangan secara mandiri.
Sebab, dengan mengalirnya air sepanjang tahun, warga
setempat tidak pernah mengalami kekurangan air pada masa kemarau, sehingga
setiap saat ada saja padi yang dipanen. Apalagi, mereka juga memiliki kebiasaan
untuk menyimpan padi untuk mencukupi kebutuhan sendiri.
Warga Pesawahan terus
berusaha bertahan, menyelamatkan lingkungan, menuai energi terbarukan dan stok
pangan tetap aman. (liliek dharmawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar