Senin, 13 Oktober 2014

Perjumpaan Tiga Peradaban di Atas Awan


Kabut putih tebal menyergap setiap tempat yang dilewati. Suhu udara yang
hanya 8 derajad Celcius menjadikan suasana seperti diguyur hujan. Di
mana-mana basah, udara menjadi embun. Begitulah kondisi Kompleks Candi
Arjuna, Dataran Tinggi Dieng, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Jawa Tengah
(Jateng) yang berada pada ketinggian 2.093 meter di atas permukaan laut
(mdpl).



Dingin yang menyergap di “negeri atas awan” itu mulai terasa hangat begitu
alunan musik jazz mengalun. Beberapa waktu lalu, anak-anak muda di
Kawasan Dieng sengaja menggelar musik jazz dengan tajuk Jazz di Atas Awan.
Konsep itu memang cukup unik, meski bukanlah yang pertama. Musik jazz yang
biasanya dihelat secara ekslusif, mulai ditawarkan pada penduduk di
pegunungan.



Musik itu seperti dikembalikan ke khitah sebenarnya. Jazz yang berkembang
di Amerika abad 20 sejatinya memiliki akar musik Afrika dan Eropa.
Perpaduan musik itulah yang membuat jazz menjadi universal karena mampu
menyuguhkan dialoh antarkultur.  “Konsep pagelaran jazz di Dieng
sederhana. Kami ingin mengenalkan musik kepada khalayak di Dieng. Sungguh,
luar biasa atensi masyarakat, karena umumnya mereka baru pertama kali
menyaksikan pagelaran jazz,”ujar penggagas Jazz di Atas Awan, Budi
Hermanto.



Pagelaran yang sengaja berada di depan candi membuat mata akan melihat
komposisi dahsyat. Sebuah peradaban tampaknya telah bertemu. Jazz dari
Amerika dengan memadukan musik Afrika dan Eropa bertemu dengan mahakarya
candi khas Hindu yang berakar dari India. Barangkali tak pernah terfikir
oleh Wangsa Syailendra kalau peradaban yang dibangunnya akan bertemu
dengan peradaban lainnya.






Dieng telah lebih dulu menjadi pusat peradaban pada abad 9 hingga 13.
Selama 400 tahun, diyakini para ahli sejarah dan arkeologi kalau
candi-candi Dieng yang merupakan candi tertua di Jawa sebagai mahakarya
ahli arsitektur pada saat itu. Dieng juga dijadikan sebagai pusat pemujaan
kalangan Hindu. Bahkan, arkeolog asal Universitas Gadjah Mada (UGM)
Yogyakarta Jajang Agus Sonjaya mengatakan jika Dieng menjadi salah satu
pusat pendidikan arsitektur selain sebagai pusat agama.



Jika dilihat secara seksama, pahatan-pahatan yang ada di candi Dieng
terus mengalami perkembangan. Sentuhan kultur India yang masuk ke Dieng
dapat dilihat adanya  Arca Kudu di Candi Bima. Namun demikian, pahatan
atau arsitektur yang dibangun lebih kreatif, karena merupakan hasil
pengembangan pendidikan arsitek kala itu,”jelasnya.



Candi yang ditemukan oleh tentara Inggris tahun 1814 itu, berdiri dalam
lingkungan yang pas. Bagaimana tidak, sejak komunitas Hindu meninggalkan
candi dan digantikan oleh masyarakat Muslim, tidak lantas candi
dihancurkan. Masyarakat Dieng secara bijak tidak mengganggu. Bahkan, dalam
perkembangannya menjadikan Candi Dieng sebagai aset berharga bagi
masyarakat setempat.



Candi Dieng merupakan mahakarya dari peradaban Hindu. Namun, tidak lantas
warga Muslim tidak mau menjaganya. Masyarakat di sini toleran, apalagi
saat ini hampir tidak tersisa sama sekali masyarakat Hindu yang bermukim
di Dieng. Masyarakat justru menjadikan candi sebagai kekayaaan yang tidak
seluruh daerah memilikinya,”ujar Alif Rahman, seorang tokoh pemuda Desa
Dieng Kulon, Kecamatan Batur.





Pascaperadaban Hindu, di lingkungan masyarakat Dataran Tinggi Dieng muncul
fenomena unik yang hingga kini masih terus terjadi. Yakni munculnya
anak-anak berambut gimbal. Rambut gimbal itu tumbuh dengan sendirinya,
setelah anak-anak mengalami sakit panas. Secara medik, belum pernah
dilakukan riset. Hanya saja dipastikan, jika anak-anak berambut gimbal itu
pasti muncul dari keturunan masyarakat di Dieng. Memang tidak seluruh anak
di kawasan itu berambut gimbal, hanya pada anak-anak tertentu.



Pemangku adat di Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Naryono, 63,
mengungkapkan jika rambut gimbal yang muncul pada anak-anak di Kawasan
Dieng telah ada sejak ratusan tahun silam. Anak-anak yang rambutnya gimbal
merupakan titipan Anak Bajang dari Samudra Kidul. Mereka merupakan titisan
dari Eyang Agung Kolotede bagi anak laki-laki dan perempuan merupakan
titisan dari Nini Dewi Roro Ronce.



Kalau ingin menghilangkan rambut gimbal harus diruwat. Mereka diminta
untuk mengajukan permintaan dan harus dipenuhi oleh keluarganya. Setelah
dipenuhi, mereka baru dipotong rambutnya dan rambut gimbal tidak tumbuh
lagi,”ujarnya.



Prosesi pencukuran rambut gimbal tersebut memberikan berkah bagi
masyarakat setempat, karena mampu mengundang ribuan wisatawan untuk datang
menyaksikan. Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dieng Pandawa Alif
Faozi mengungkapkan hampir setiap tahun sekali, anak-anak yang telah siap
dipotong rambutnya akan dikumpulkan. “Mereka diarak keliling desa bersama
tetua adat. Proses pemotongan dilakukan di Kompleks Candi Arjuna. Dalam
empat tahun terakhir, perhelatan itu telah dikemas menjadi wisata budaya,
Dieng Culture Festival (DCF). Orang tua yang memiliki anak dimudahkan
karena kami memfasilitasi dan prosesi itu menjadi wisata budaya karena
merupakan tontotan langka,”kata Alif.



Prosesi pemotongan rambut gimbal tersebut, sangat kental dengan nuansa
peradaban Jawa. Tidak hanya dari pakaian Kejawen yang mereka kenakan,
namun saat pemotongan rambut gimbal juga diiringi dengan tembang macapat,
Dandhanggula. Syair dari Dandhanggula itu sejatinya adalah doa permohonan
keselamatan untuk anak-anak yang diruwat.




Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Jateng Sri Ediningsih menyatakan
tidak ada masalah dengan kawasan cagar budaya digunakan untuk prosesi
pemotongan rambut gimbal. “Yang paling penting adalah masyarakat menjaga
keberadaan candi sebagai mahakarya peradaban masa lampau agar tetap bisa
dinikmati anak cucu mendatang. Termasuk ada gelaran Jazz di Atas Awan.
Karena sebetulnya perhelatan itu juga dikatakan sebagai “syiar” kekayaan
budaya besar yang pernah dimiliki bangsa ini,”ujar Sri.



Kekayaan budaya yang ada di Dieng sesungguhnya memang tidak ternilai
harganya. Dan ternyata, tak hanya mahakarya zaman Hindu yang berupa candi
atau kultur ruwatan pemotongan rambut gimbal saja. Tetapi musik jazz juga
bisa dibawa dan dinikmati masyarakat sekitar serta para wisatawan. Di
kawasan itu, tiga peradaban bertemu. Dan yang penting bukan untuk saling
berseteru. Sebaliknya, membuat pengkayaan kultur dalam membangun peradaban
masa depan. (lilik darmawan)



2 komentar:

Unknown mengatakan...

ceritane keren banget... kapan ana maning lik even kaya kie

slamet-nusakambangan.blogspot.com mengatakan...

setahun maneh ya