Sepeda kumbang melaju di jalanan yang berlubang. Dengan
cepat, Oemar Bakrie terus mengayuh agar tidak terlambat mengajar di sekolahnya.
Pengabdiannya sebagai guru telah menjadikan siswa-siswanya menjadi “orang-orang penting”. Tetapi, jangan tanya
soal pendapatannya, sebab gajinya seperti dikebiri.
Cerita itu memang hanya dalam lagu yang digubah oleh Iwan
Fals beberapa dekade lalu. Sebagian orang barangkali sudah nyinyir terhadap
cerita itu. Sebab, guru sekarang telah sejahtera. Gaji dan tunjangan
sertifikasi yang mereka peroleh membuat guru bisa mendapatkan penghasilan lebih
dari Rp5 juta setiap bulannya. Dengan hanya mengajar dari jam 07.00 WIB hingga
sekitar jam 14.00 WIB.
Barangkali benar, sudah banyak guru yang sejahtera, namun
tidak jarang yang masih memelas nasibnya. Bagai bumi dan langit, karena gap pendapatan begitu timpang. Inilah
yang dialami oleh Agung, 27, yang menjadi guru di salah satu SD Negeri di
Kecamatan Karanglewas, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng). Ia hanya diberi gaji
Rp100 ribu hingga Rp150 ribu per bulan.
Honor yang diberikan kepada Agung merupakan anggaran dari
sekolah, karena ia diangkat menjadi guru wiyata bakti (WB) berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Komite Sekolah. Sebab, sejak tahun 2005 pemerintah telah
memutuskan untuk tidak mengangkat guru honorer atau WB. “Tetapi, karena
sekolahnya butuh, maka saya diangkat dengan SK Komite Sekolah. Konsekuensinya
memang tidak digaji oleh pemerintah. Setiap bulannya hanya mendapatkan Rp100
ribu hingga Rp150 ribu,”jelasnya.
Ia masih bisa menerima, karena saat ini belum memiliki
keluarga. Untuk mencukupi kebutuhan dirinya saja, jelas sangat tidak mungkin
mengandalkan gaji dari sekolah tersebut. Makanya, ia rela untuk menjadi penjaga
warung angkringan kalau malam hari. “Warung angkringan ini milik kakak saya.
Dengan berjualan, saya bisa menambah penghasilan untuk membiayai kuliah
sarjana,”kata Agung yang baru mempunyai ijazah D2 bidang olah raga tersebut.
Meski honornya seadanya, tetapi menjadi guru adalah sebuah
panggilan. Makanya, ia tetap mengajar
walaupun gajinya untuk beli bensin motornya saja tidak cukup.
“Mudah-mudahan, nanti kalau lulus S1, ada bukaan lagi guru atau pengangkatan
guru PNS. Itu mimpi saya,”tambahnya.
Nasib lebih baik dialami oleh Deri, 31, seorang guru SMP
swasta di wilayah Purwokerto Barat, Banyumas. Sebagai seorang guru swasta,
gajinya memang berasal dari yayasan yang menaungi sekolah setempat. “Saya
setiap minggu mengajar sekitar 31 jam dengan mata pelajaran Bahasa Inggris.
Honor yang saya terima Rp400 ribu per bulan. Kalau dipikir-pikir memang tidak
cukup, namun mau bagaimana lagi. Untuk menjadi guru PNS sangat minim
kesempatannya,”jelas dia.
Ia masih tetap mengajar meski gajinya jauh dari harapan.
Sebab, dengan mengajar ada tambahan pendapatan untuk keluarganya. “Barangkali
saya masih beruntung, karena suami bekerja, sehingga dapur masih tercukupi
meski pas-pasan,”tambahnya.
Nurhalimah, 28, yang mengajar di sebuah SD Negeri Kecamatan
Patikraja, Banyumas, yang diangkat sebelum tahun 2005 sebagai guru WB, nasibnya
lebih beruntung, walaupun tetap honornya di bawah upah minimum kabupaten (UMK)
yang besarnya Rp877 ribu tahun 2013. “Saya memang mendapatkan honor dari
sekolah Rp200 ribu per bulan. Karena diangkat sebelum tahun 2004, maka saya
mendapat uang tunjangan fungsional dari pemerintah sebesar Rp300 ribu per
bulan. Tetapi, tunjangan fungsional tidak diterima setiap bulan. Biasanya ada
rapelan 3 atau 6 bulan sekali,”ujar Nurhalimah.
Sehingga, kata Nurhalimah, kalau dihitung-hitung, setiap
bulannya saya mendapatkan honor Rp5000 ribu. Gaji tersebut memang masih lebih
rendah jika dibandingkan dengan UMK Banyumas. “Tetapi mau bagaimana lagi. Saya
malu sebetulnya, karena jelas tidak bisa mencukupi keluarga. Kebetulan suami
saya juga kerja, sehingga masih tetap bisa membeli susu untuk anak
saya,”tambahnya.
Untuk memperoleh pendapatan tambahan, Nurhalimah membuka les
Bahasa Inggris untuk anak-anak. “Selepas mengajar di SD, saya memberi les untuk
anak-anak. Lumayan lah guna menambah pendapatan untuk mencukupi kebutuhan
keluarga. Kalau mau kerja lain, sepertinya tidak. Karena sudah sejak tahun
sembilan tahun saya menjadi guru dan telanjur cocok dengan profesi
ini,”jelasnya.
Untuk menambah pendapatan, ia kemudian membuka les Bahasa
Inggris untuk anak-anak. Meski hasilnya juga tidak seberapa, tetapi setidaknya
akan membantu untuk mencukupi kebutuhan keluarga. “Lumayan lah dengan membuka
les Bahasa Inggris, karena ada pemasukan untuk membeli susu anak saya,”tambah
Nurhalimah.
Para guru itu memang ibarat bumi dan langit jika
dibandingkan dengan guru PNS yang telah mendapat tunjangan sertifikasi. Namun, pengabdiannya
yang tulus tidak membuat mereka luluh hanya karena rendahnya pendapatan. (liliek dharmawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar