Siang yang cukup terik. Debu jalanan terbang ke udara ketika
ada kendaraan lewat. Hari panas itu terasa sejuk ketika mendengar sapaan
masyarakat Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng).
Sapaan warga memang mengesankan kalau mereka terbuka dengan
siapa pun dan pengaruh apapun. Raut wajah sumringah terlihat begitu ada tamu
yang datang. Sama sekali tidak ada kesan bahwa mereka tertutup. Padahal, warga
setempat merupakan komunitas adat Bonokeling, sebuah masyarakat dengan segudang
tradisi yang tetap bisa dipertahankan dan dilestarikan hingga kini.
Meski mereka adalah komunitas adat Bonokeling, namun
warganya telah berbaur dengan masyarakat lain. Hingga kini tercatat, pengikut
kaum adat Bonokeling tidak kurang dari 5 ribu orang. Pusatnya memang berada di
Desa Pekuncen, Kecamatan Jatilawang. Warga tersebar di 23 rukun tetangga (RT)
dari 33 RT yang ada. Letak desa setempat tidaklah terpencil, hanya sekitar 3
kilometer (km) dari jalur selatan penghubung Yogyakarta-Bandung. Apalagi,
jalannya telah diaspal. Selain di Pekuncen, warga Bonokeling lainnya bermukim
di sejumlah kecamatan di Cilacap seperti Adipala, Kroya, Sidareja,
Gandrungmangu dan lainnya.
Walaupun dipisahkan oleh jarak, tetapi komunitas adat
Bonokeling terus menjalin komunikasi. Apalagi, secara berkala mereka juga
mengadakan ritual tradisi. “Biasanya, setiap selapan (40 hari) kami mengadakan
pertemuan di Bale Pasamuan. Pertemuan itu berisi mengenai berbagai macam hal,
salah satunya adalah bagaimana kaum adat Bonokeling diingatkan akan ajaran
nenak moyang,”kata Juru Kunci Komunitas Adat Bonokeling, Kartasari.
Tempat pertemuan berada di “kompleks perumahan” para pemuka
adat Bonokeling. Selain “rumah dinas” di tempat itu ada juga Bale Malang yang
merupakan tempat memasak bersama-sama. Hampir seluruh bangunan masih bercorak
arsitektur rumah Jawa kuno yakni joglo. Meski bagian penutupnya ada yang
menggunakan seng maupun genting. Hampir seluruh rumah dan bangunan tetap masih
beralaskan tanah.
Menurut Kartasari, Juru Kunci dibantu oleh para Bedogol yang
bertugas sebagai pemimpin putra wayah atau biasa disebut anak cucu. Sebutan itu
merupakan putra wayah merupakan warga komunitas adat Bonokeling. “Tugas utama
seorang Juru Kunci adalah menjaga kompleks makam Bonokeling. Selain itu juga
memimpin ritual tradisi yang digelar. Misalnya saja Unggah-unggahan, Udunan,
Sedekah Bumi, Suran dan lainnya,”jelasnya.
Tradisi
Sebagai komunitas adat, kaum Bonokeling memiliki beragam
tradisi yang tak lekang oleh zaman. Unggah unggahan merupakan tradisi paling
banyak diikuti oleh warga komunitas adat Bonokeling. Mereka datang dari
berbagai penjuru dengan jalan kaki melewati perbukitan. Prosesi yang
dilaksanakan pada hari Jumat terakhir bulan Ruwah dalam kalender Jawa. Prosesi
dalam tradisi Unggah unggahan berlangsung selama tiga hari dan melibatkan
ribuan warga Bonokeling.
Pada prosesi Unggah unggahan yang berlangsung pada bulan
Juli lalu, setidaknya ada 1.500 warga komunitas Bonokeling yang datang ke Desa
Pekuncen. Prosesi Unggah unggahan sejatinya adalah ziarah kubur di kompleks
pemakaman Bonokeling, tokoh spiritual yang merupakan cikal bakal dari kaum adat
Bonokeling. Hanya saja, tokoh tersebut sampai sekarang misteri, karena tidak
pernah ada catatan sejarah yang secara pasti mencatat muasalnya. Hanya disebutkan kalau Bonokeling merupakan
seorang tokoh dari Kadipaten Pasir Luhur yang erat hubungannya dengan Kerajaan
Padjajaran.
Di kompleks makam itulah, secara bergiliran, mereka
melakukan ritual Unggah unggahan dengan berpakaian adat Jawa kuno. Prosesi itu
ditutup dengan makan besar bersama seluruh warga komunitas Bonokeling. “Tradisi
ini memang telah berlangsung ratusan tahun. Yang jelas, sampai sekarang masih
tetap dipertahankan dan dilestarikan. Tidak hanya orang tua saja yang datang,
tetapi juga anak-anak, pemuda dan para sepuh,”ungkap salah seorang warga
Komunitas Bonokeling, Sanmiarja, 65.
Setelah ritual Unggahan, ada juga tradisi Udunan. Namun,
tradisi tersebut tidak seramai Unggah unggahan. Prosesi budaya lainnya yang
masih dilangsungkan adalah Sedekah Bumi. Tradisi ini juga dipimpin langsung
oleh Juru Kunci Kartasari. Ritual tersebut sesungguhnya adalah gelaran doa
menjelang masa tanam. Warga Bonokeling yang bermukim di Desa Pekuncen membawa
bahan makanan lengkap dengan lauk pauk dan dibawa ke balai desa setempat.
Setelah terkumpul semua, juru kunci berdoa dengan bahasa Jawa meminta kepada
Yang Maha Kuasa serta meminta restu para leluhur agar dalam masa tanam tidak
ada halangan dan bisa dipanen dengan hasil baik.
Dalam tradisi itu juga digelar acara lempar nasi yang telah
dibentuk menjadi bulatan. Lempar-lemparan nasi tersebut sebagai bentuk
kebersamaan, sehingga bagi mereka yang terkena lemparan tidak boleh marah. Nasi
yang tercecer di jalanan kemudian dikumpulkan kembali dan diberikan kepada ayam
dan unggas yang mereka pelihara.
Kebersamaan
Kebersamaan dalam kekerabatan kaum adat Bonokeling terus
membudaya hingga sekarang. Kuncinya adalah generasi tua komunitas adat
Bonokeling menularkan tradisi kepada anak cucu mereka. “Dalam setiap pertemuan,
juru kunci maupun para bedogol memberikan wejangan pentingnya menjaga
kelestarian adat,”tegas salah seorang tetua adat Sumitro.
Menurutnya, meski komunitas adat Bonekeling telah tersebar
di mana-mana, tetapi dalam setiap ritual tradisi terutama Unggah unggahan
merupakan ajang pertemuan dan interaksi kaum tersebut. “Kami dipersatukan dalam
kekerabatan Bonokeling. Masyarakat di sini memang terbuka dengan siapa saja dan
pengaruh apa pun, tetapi kalau sudah tentang tradisi, itu sangat kami pegang
erat dan tetap dilestarikan sampai kapan pun,”jelas Sumitro.
Peneliti komunitas adat Bonokeling dari Sekolah Tinggi Agama
Islam Negeri (STAIN) Purwokerto Ridwan mengungkapkan bahwa sistem kekerabatan
yang begitu erat pada komunitas Bonokeling dimulai dari sistem rekrutmen. “Jadi
sejak kecil, mereka telah didata dan didaftarkan menjadi “anak putu”
Bonokeling. Mereka yang telah direkrut nantinya akan dibina oleh tetua adat,
baik yang ada di Banyumas atau Cilacap,”jelasnya.
Dengan kekerabatan itu, muncullah daya imunitas yang kuat
terhadap pengaruh-pengaruh luar, meski sebetulnya komunitas tersebut bersifat
terbuka. “Dari sisi budaya, itu merupakan aset yang hingga kini masih dapat
bertahan terhadap gempuran zaman,”katanya.
Namun kalau dilihat dari sisi agama, agak sulit sebetulnya
mereka itu masuk agama apa. “Kalau dikatakan Islam, mereka ada juga sebagai
penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jika dikatakan Hindu atau
Budha, juga bukan. Jadi sebetulnya, dilihat dari pendekatan agama, misalnya
Islam, mereka tidak termasuk, karena juga tidak menjalankan ibadah salat lima
waktu. Yang pasti, mereka memiliki tata cara tersendiri melakukan
peribadahan,”ujar Ridwan. (liliek
dharmawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar