Sabtu, 05 April 2014

Caleg Perempuan, Garda Penyelamat Generasi Mendatang





Menyelamatkan generasi mendatang kok harus pilih perempuan? Apakah tidak terlalu mengada-ada?


Mari memulai dari penelusuran ranking human development index (HDI) yang dirilis tahun 2013. Sejumlah negara seperti Norwegia, Jepang, Australia, Skandinavia dan Swedia masuk dalam daftar “very high” pembangunan manusia. Salah satu faktor utama adalah negara-negara itu berhasil menjalankan program air susu ibu (ASI) eksklusif bagi keturunannya. Negara setempat memiliki kebijakan yang memproteksi bagaimana membangun generasi masa depan secara baik. Bahkan, di Skandinavia, seorang suami yang isterinya memberi ASI eksklusif mendapatkan cuti satu tahun dan tetap dibayar.


Pada rilis HDI itu, Indonesia masih menempati ranking 121 atau masuk dalam kategori “medium” pembangunan manusia. Secara kritis, sosiolog asal Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Deshinta Dwi Asriani seperti dikutip dari laman UGM mengungkapkan program ASI eksklusif di Indonesia masih memposisikan perempuan sebagai obyek atas tubuhnya sendiri. Sebagian besar merujuk pada subjek anak untuk dipenuhi haknya mendapat ASI eksklusif. Selain perempuan yang masih ditempatkan sebagai objek, kebijakan yang mengatur pemberian cuti panjang maupun pemenuhan fasilitas bagi perempuan masih belum terlaksana secara baik.


Deshinta menganggap, masih harus ada pembenahan dalam konteks masalah tersebut. Inilah pentingnya sentuhan perempuan dalam memproduksi kebijakan-kebijakan yang erat kaitannya dengan masalah keperempuanan.


Pada bagian lain, persoalan kesehatan reproduksi dan seksualitas membutuhkan uluran tangan seorang perempuan. Sebab, sebuah produk perundang-undangan, misalnya, akan lebih komprehensif dan memberikan manfaat jika dihasilkan oleh kaum yang mengerti persoalan dan mengalaminya.


Apakah laki-laki akan mampu memproduk sebuah kebijakan perundangan yang menyangkut masalah perempuan? Jelas bisa. Tetapi, lelaki hanya dapat melihat fenomena tanpa pernah mengalami dan merasakan. Dengan fakta semacam ini, tentu saja perempuan akan menjadi garda depan untuk menghasilkan produk-produk perundangan yang peduli gender.


Belum lagi soal proteksi terhadap buruh migran Indonesia (BMI) perempuan. Sementara ini masih banyak kasus yang menimpa BMI. Salah satu yang mencuat dan masih hangat adalah Satinah. Problem semacam itu bakal terus muncul jika tidak segera ada kebijakan yang lebih protektif. Sebab, merujuk pada kasus Satinah, pemerintah baru tahu ketika Satinah berada di tahanan dan mendapat vonis qisas. Setelah 7 tahun dalam bayang-bayang hukuman mati, barulah tahun 2014 kasusnya mendapatkan titik terang, apalagi setelah masyarakat sipil melakukan gerakan.


Tentu saja, kasus semacam ini membutuhkan kehadiran negara dari awal untuk melindungi warga negaranya. BBC Indonesia sempat mengangkat perbedaan kebijakan negara antara Indonesia dan Filipina yang sama-sama memiliki buruh migran besar di Arab Saudi. Ada perbedaan komitmen hukum antara kedua negara.


Direktur Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan Filipina sudah sejak tahun 1995 meratifikasi konvensi buruh migran yang menjelaskan hak-hak pekerja negara itu. Sementara Indonesia baru saja tahun 2012 silam. Sehingga dalam praktiknya, Indonesia masih tertinggal dengan negara tetangga tersebut.


Salah satu yang disorot mantan Atase Tenaga Kerja KBRI di Riyadh, Sukamto Javaladi, adalah minimnya jumlah perwakilan. Filipina memiliki kantor perwakilan di setiap ibukota provinsi yang berstatus pegawai negeri. Sehingga mereka lebih cepat mengetahui berbagai kasus yang menimpa buruh migran Filipina. Sejauh ini, Indonesia kerap terlambat mengetahui.


Inilah persoalan yang sejatinya dapat diperbaiki pada masa-masa mendatang. Seorang anggota legislatif perempuan akan lebih peka dan memahami masalah buruh migran perempuan, sehingga dapat memproduk sebuah kebijakan yang lebih protektif.


Di sisi lain, ada masalah besar dalam keluarga ketika perempuan menjadi buruh migran. Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak mendampingi keluarga buruh migran di Banyumas, Jawa Tengah, Seruni, misalnya membeberkan fakta yak tak kalah memprihatinkan. Umumnya, anak-anak buruh migran tidak mendapatkan perhatian sepenuhnya dari orang tua akibat ditinggal ke manca negara.


Karena itulah, Seruni mengembangkan pola asuh anak buruh migran. Salah seorang aktivisnya, Lili Purwani, menyatakan pihaknya tengah melakukan riset di tiga kecamatan Kabupaten Banyumas untuk membuat pola asuh yang tepat. Agar anak-anak buruh migran tidak telantar atau bahkan terjerumus pada pergaulan dan lingkungan yang salah.


Persoalan yang menyangkut perempuan dan anak-anak sebagai generasi mendatang, masih bejibun. Caleg perempuan yang cocok untuk membenahinya. Apalagi, dalam catatan Komnas Perempuan, masih ada 342 peraturan yang masih diskriminatif terhadap hak-hak perempuan. Dengan sentuhan perempuan, kebijakan mengenai anak-anak juga bakal lebih tertata. Merekalah yang nantinya menjadi garda depan sebagai penyelamat generasi mendatang. Karena mereka seorang ibu, yang tahu persis bagaimana menyiapkan anak-anak cerdas bangsa ini.



Namun demikian, sesungguhnya gerakan ini jangan mandek pada gerakan memilih caleg perempuan, tetapi bagimana mendorong partai politik untuk menyiapkan ruang pendidikan politik bagi perempuan. Memilih caleg perempuan? Mari....(***)



Tidak ada komentar: