Menyelamatkan
generasi mendatang kok
harus pilih perempuan? Apakah tidak terlalu mengada-ada?
Mari
memulai dari penelusuran ranking human development index (HDI) yang
dirilis tahun 2013. Sejumlah negara seperti Norwegia, Jepang,
Australia, Skandinavia dan Swedia masuk dalam daftar “very high”
pembangunan manusia. Salah satu faktor utama adalah negara-negara itu
berhasil menjalankan program air susu ibu (ASI) eksklusif bagi
keturunannya. Negara setempat memiliki kebijakan yang memproteksi
bagaimana membangun generasi masa depan secara baik. Bahkan, di
Skandinavia, seorang suami yang isterinya memberi ASI eksklusif
mendapatkan cuti satu tahun dan tetap dibayar.
Pada
rilis HDI itu, Indonesia masih menempati ranking 121 atau masuk dalam
kategori “medium” pembangunan manusia. Secara kritis, sosiolog
asal Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Deshinta Dwi Asriani seperti
dikutip dari laman UGM mengungkapkan program ASI eksklusif di
Indonesia masih memposisikan perempuan sebagai obyek atas tubuhnya
sendiri. Sebagian besar merujuk pada subjek anak untuk dipenuhi
haknya mendapat ASI eksklusif. Selain perempuan yang masih
ditempatkan sebagai objek, kebijakan yang mengatur pemberian cuti
panjang maupun pemenuhan fasilitas bagi perempuan masih belum
terlaksana secara baik.
Deshinta
menganggap, masih harus ada pembenahan dalam konteks masalah
tersebut. Inilah pentingnya sentuhan perempuan dalam memproduksi
kebijakan-kebijakan yang erat kaitannya dengan masalah keperempuanan.
Pada
bagian lain, persoalan kesehatan reproduksi dan seksualitas
membutuhkan uluran tangan seorang perempuan. Sebab, sebuah produk
perundang-undangan, misalnya, akan lebih komprehensif dan memberikan
manfaat jika dihasilkan oleh kaum yang mengerti persoalan dan
mengalaminya.
Apakah
laki-laki akan mampu memproduk sebuah kebijakan perundangan yang
menyangkut masalah perempuan? Jelas bisa. Tetapi, lelaki hanya dapat
melihat fenomena tanpa pernah mengalami dan merasakan. Dengan fakta
semacam ini, tentu saja perempuan akan menjadi garda depan untuk
menghasilkan produk-produk perundangan yang peduli gender.
Belum
lagi soal proteksi terhadap buruh migran Indonesia (BMI) perempuan.
Sementara ini masih banyak kasus yang menimpa BMI. Salah satu yang
mencuat dan masih hangat adalah Satinah. Problem semacam itu bakal
terus muncul jika tidak segera ada kebijakan yang lebih protektif.
Sebab, merujuk pada kasus Satinah, pemerintah baru tahu ketika
Satinah berada di tahanan dan mendapat vonis qisas. Setelah 7 tahun
dalam bayang-bayang hukuman mati, barulah tahun 2014 kasusnya
mendapatkan titik terang, apalagi setelah masyarakat sipil melakukan
gerakan.
Tentu
saja, kasus semacam ini membutuhkan kehadiran negara dari awal untuk
melindungi warga negaranya. BBC Indonesia sempat mengangkat perbedaan
kebijakan negara antara Indonesia dan Filipina yang sama-sama
memiliki buruh migran besar di Arab Saudi. Ada perbedaan komitmen
hukum antara kedua negara.
Direktur
Eksekutif Migrant Care Anis Hidayah mengatakan Filipina sudah sejak
tahun 1995 meratifikasi konvensi buruh migran yang menjelaskan
hak-hak pekerja negara itu. Sementara Indonesia baru saja tahun 2012
silam. Sehingga dalam praktiknya, Indonesia masih tertinggal dengan
negara tetangga tersebut.
Salah
satu yang disorot mantan Atase Tenaga Kerja KBRI di Riyadh, Sukamto
Javaladi, adalah minimnya jumlah perwakilan. Filipina memiliki kantor
perwakilan di setiap ibukota provinsi yang berstatus pegawai negeri.
Sehingga mereka lebih cepat mengetahui berbagai kasus yang menimpa
buruh migran Filipina. Sejauh ini, Indonesia kerap terlambat
mengetahui.
Inilah
persoalan yang sejatinya dapat diperbaiki pada masa-masa mendatang.
Seorang anggota legislatif perempuan akan lebih peka dan memahami
masalah buruh migran perempuan, sehingga dapat memproduk sebuah
kebijakan yang lebih protektif.
Di
sisi lain, ada masalah besar dalam keluarga ketika perempuan menjadi
buruh migran. Sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bergerak
mendampingi keluarga buruh migran di Banyumas, Jawa Tengah, Seruni,
misalnya membeberkan fakta yak tak kalah memprihatinkan. Umumnya,
anak-anak buruh migran tidak mendapatkan perhatian sepenuhnya dari
orang tua akibat ditinggal ke manca negara.
Karena
itulah, Seruni mengembangkan pola asuh anak buruh migran. Salah
seorang aktivisnya, Lili Purwani, menyatakan pihaknya tengah
melakukan riset di tiga kecamatan Kabupaten Banyumas untuk membuat
pola asuh yang tepat. Agar anak-anak buruh migran tidak telantar atau
bahkan terjerumus pada pergaulan dan lingkungan yang salah.
Persoalan
yang menyangkut perempuan dan anak-anak sebagai generasi mendatang,
masih bejibun. Caleg
perempuan yang cocok untuk membenahinya. Apalagi, dalam catatan
Komnas Perempuan, masih ada 342 peraturan yang masih diskriminatif
terhadap hak-hak perempuan. Dengan sentuhan perempuan, kebijakan
mengenai anak-anak juga bakal lebih tertata. Merekalah yang nantinya
menjadi garda depan sebagai penyelamat generasi mendatang. Karena
mereka seorang ibu, yang tahu persis bagaimana menyiapkan anak-anak
cerdas bangsa ini.
Namun
demikian, sesungguhnya gerakan ini jangan mandek pada gerakan memilih
caleg perempuan, tetapi bagimana mendorong partai politik untuk
menyiapkan ruang pendidikan politik bagi perempuan. Memilih caleg
perempuan? Mari....(***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar