Tiga saudara kandung itu berjalan pulang menyusuri jalanan batu yang menanjak setelah keluar dari SMP Negeri 4 Rembang, Purbalingga, Jawa Tengah (Jateng). Rumah mereka hanya berukuran 6 x 5 meter berlantai lantai tanah dan berbilik bambu di Dusun Batur, Desa Panusupan, Kecamatan Rembang
Di dalam rumah, hanya ada tiga dipan, satu televisi dan meja
kursi yang tidak terawat. Namun, televisi 12 inchi tidak dapat lagi hidup
karena rusak. Sedangkan di dapur, tidak ada kompor. Hanya terlihat tungku dari
tumpukan batu. Kalau memasak, kayu bakar jadi andalan. Tanah tempat rumahnya
berdiri, juga bukan milik mereka. Itu adalah tanah milik desa yang harus
disewa. Sejak lama mereka menempati dengan sewa. Kini, tagihannya telah sampai
Rp4 juta.
Di rumah, ketiganya berbagi peran. Indahsari, 17, yang kini kelas
9 SMP dan Supriyani Astuti, 15, kelas 7 masuk ke dapur untuk memasak. Sedangkan
Juliah, 13, menggendong Sayang, 5, yang tengah mainan sendiri di lantai tanah
rumah mereka. Saban hari, Sayang memang masih di rumah bersama ibu mereka. Tetapi,
sejak lima tahun silam, Tarmini, 40, hanya dapat menjaga anaknya yang kecil
karena mengalami depresi. Praktis saban hari, anak-anak SMP itu berjuang untuk
menghidupi diri mereka bersama dengan adik paling bungsu.
Pembagian peran itu dilakukan sejak bapaknya, Winarto,
meninggal di usia 45 tahun pada Desember 2012 lalu. Dulu, bapaknya masih bisa
membantu mengurus adik memenuhi kebutuhan makan sehari-hari. Namun hampir empat
bulan terakhir, ketiganya banting tulang mengurus keluarga secara mandiri. “Ibu
sudah sejak lama, kira-kira lima tahun tidak bisa apa-apa. Saya juga tidak tahu
penyebabnya, karena tiba-tiba ibu diam dan sulit diajak berkomunikasi.
Kadang-kadang berbicara sendiri,”ungkap Indahsari.
Empat bulan terakhir, Indahsari berperan menjadi kepala keluarga
sekaligus berjuang untuk menyelesaikan sekolah di SMP. Kalau dibandingkan
dengan usianya sekarang, Indahsari memang terlambat pendidikannya. Seharusnya
ia sudah menginjak SLTA, tetapi karena kesulitan rumah tangga mereka, Indahsari
baru akan lulus tahun ini. Baik Indahsari maupun adiknya sempat berhenti
sekolah, tetapi setelah ada ongkos, mereka kemudian melanjutkan lagi.
Mereka masih bisa mengandalkan kakaknya, Tanto Purnomo, 23,
yang bekerja sebagai buruh bengkel di Samarinda, Kalimantan Timur. Setiap
bulan, Tanto mengirimkan uang sebesar Rp300 ribu untuk keluarga di dusun yang
berada di pegunungan Ardi Lawet yang letaknya sekitar 35 kilometer (km) dari
Purbalingga. “Kiriman sebesar Rp300 ribu tersebut kami gunakan untuk melunasi
utang setiap bulan Rp100 ribu dan sisanya untuk membayar listrik dan kebutuhan
harian. Kami harus membayar tagihan listrik sebulan Rp40 ribu. Kami juga harus
membayar sewa tanah 4 juta. Namun saat ini, kami baru mampu membayar Rp1
juta,”jelasnya.
Untuk tetap melanjutkan hidup mereka, Indah, Supri dan
Juliah sepakat bekerja. Karena masih ada tanggungan sekolah dan menunggu ibu
serta adiknya, mereka bekerja membuat bulu mata palsu di rumah mereka.
Setelah memasak yang hanya dilakukan satu kali sehari
selepas sekolah, mereka memulai aktivitas lain, membuat bulu mata palsu. “Pekerjaan
membuat bulu mata palsu saya lakukan sejak kelas 5 SD. Sebab, pada saat bapak
masih hidup, keperluan sehari-hari masih belum tercukupi sehingga saya dan
adik-adik belajar membuat bulu mata palsu,”kata Indah.
Setiap dua hari sekali, kata Indah, ia bersama adik-adiknya
mendapatkan upah sekitar Rp10 ribu sehingga setiap bulan hanya mendapatkan
Rp150 ribu. Uang tersebut digunakan untuk membeli berbagai macam kebutuhan
sehari-hari seperti beras dan sayuran. “Kalau dihitung-hitung memang tidak
cukup, makanya kadang-kadang kami juga mencucikan baju-baju milik tetangga.
Setiap mencuci baju, mendapatkan upah sekitar Rp10 ribu. Lumayan bisa untuk
makan sehari dua kali dengan sayur,”katanya.
Meski telah lelah bersekolah dan bekerja, mereka masih tetap
mampu menyempatkan diri untuk belajar saban malam. Kedisiplinan membuat mereka
berprestasi di sekolah. Bahkan Indah dan Juliah termasuk dalam ranking 10 besar
di sekolah. “Kami harus belajar agar dapat meneruskan sekolah. Mudah-mudahan
setelah lulus SMP, saya bisa melanjutkan ke jenjang SLTA. Saya ingin bersekolah
di SMK, agar bisa cepat mendapatkan kerja demi adik-adik saya,”ungkap Indah.
Mereka mengaku beruntung, karena bisa bekerja dan bersekolah. “Selama ini, sekolah memang tidak menarik biaya apapun, apalagi sekolahnya dekat dengan rumah sehingga tidak perlu ongkos angkutan. Kalau sekolah jauh, belum tentu kami sekolah,”kata Supri, adik Indah.
Dirinya juga masih ingin melanjutkan sekolah sambil mengejar
cita-cita menjadi atlet tenis meja. “Saya hanya ingin jadi atlet tenis meja.
Karena itu kesukaan saya,”ujarnya. Sedangkan Juliah, masih tetap memupuk asanya
sebagai seorang guru.
Kepala SMP Negeri 4 Rembang Sumarmo mengungkapkan meski
mereka tidak mampu dan harus bekerja mencukupi kebutuhan hidup, namun tidak
pernah terlambat mengikuti pelajaran sekolah. “Bahkan, mereka termasuk anak
yang cukup pintar di sekolah. Indah dan Juliah termasuk 10 besar di sekolah.
Sementara Supriyani juga cukup baik prestasinya, bahkan dirinya mendapatkan
beasiswa siswa miskin (BSM) sehingga bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan
sekolah dirinya. Jika ada masih ada kebutuhan sekolah lain, kami para guru
telah bersepakat untuk membantu mereka, karena mereka benar-benar tidak mampu.
Barangkali tidak seberapa, namun kami menginginkan agar anak-anak itu tetap
melanjutkan sekolah sampai selesai,”katanya.
Indah, Supriyani, dan Juliah adalah anak-anak yang tidak
pernah menyerah terhadap kondisi. Semangat mereka untuk terus bersekolah tetap
menyala, bahkan mereka tetap berani untuk bermimpi bagi masa depannya. Kini,
Indah tinggal menyelesaikan sekolahnya di SMP. Namun, terkadang dirinya agak
gamang, apakah mampu melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Mengingat di
SLTA harus membayar, sedangkan adik-adiknya juga butuh biaya. (liliek dharmawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar